Sultan Yohana
  • Catatan Lepas
  • Catatan Bola
  • Cerita Foto
  • Cerita Sangat Pendek
No Result
View All Result
  • Catatan Lepas
  • Catatan Bola
  • Cerita Foto
  • Cerita Sangat Pendek
No Result
View All Result
Sultan Yohana
No Result
View All Result
Home Cerita Foto

Kubah Telur Saudagar Timur Tengah


Sultan Yohana by Sultan Yohana
October 11, 2016
in Cerita Foto
0
Kubah Telur Saudagar Timur Tengah
0
SHARES
4
VIEWS
Share on FacebookShare on Twitter

: Dan ke Mana Masjid Beratap Tumpang yang Nyaman itu?

Ketika masih aktif menjadi wartawan, saya pernah mendapat “penugasan” khusus dari pimpinan saya, untuk mencari tahu dari mana saja dana masjid-masjid di seantero Batam? Jawabannya cukup mengejutkan saya, kebanyakan hibah datang dari negara-negara Timur Tengah. Tapi ketika itu, tentu saja saya tidak mempersoalkan. Tidak ingin berburuk sangka. Belum punya pengetahuan untuk menggatuk-nggatukkan fenomena global.

Ketika itu saya berpikir, siapa saja boleh menyumbang kebaikan. Mau orang luar negeri, mau dalam negeri, siapa pun tidak masalah menyumbang masjid. Mau kaya, mau miskin; tokh sangat mulia menyumbang masjid. Apalagi Batam dan Kepri yang memang unik, yang notabene dekat dengan Malaysia dan Singapura, dan banyak mendapat kucuran sumbangan dari masyarakat Muslim kedua negara itu. Bahkan ketika Hari Raya Qurban, banyak muslim Singapura memilih berqurban di Batam. Batam juga punya latarbelakang masyarakat dari banyak negara, majemuk, berbeda-beda latar-belakang budaya.

Tapi, buruk sangka itu tiba-tiba muncul kembali ketika saya “jalan-jalan” dari Surabaya, Pujon, Malang, sampai Blitar, awal tahun 2016 lalu.. Ada yang mengusik hati saya ketika tiap kali lewat sebuah masjid. Bathin saya, “kok nyaris semua arsitekur masjid di Jatim (di desa-desa hingga di kota-kota) seragam ya?” Masjid dengan gaya Timur Tengah, punya ruang utama penuh pilar-pilar tebal nggethebul, serta kubah lonjong telur mirip kubah masjid-masjid di Iran sana.

Sulit sekali saya menemukan masjid yang atapnya berundak atau tumpang, yang pernah menjadi ciri khas masjid-masjid di Jawa sebelumnya. Antara 15 hingga 20 tahun lalu, sangat mudah menemukan masjid di Jawa Timur yang masih beratap tumpang. Terutama di desa-desa. Di jaman-jaman sekolah, kami dulu bahkan sempat diajarkan arsitektur ini beserta makna setiap undak dari atap masjid tumpang. Setiap orang yang pernah mendapat pelajaran itu mungkin ingat, tiga undak di masjid tumpang bermakna Islam, Iman, dan Ikhsan; tiga hal yang harus dilalui seorang Muslim untuk bisa bermesraan dengan Gusti Allah yang Maha Bijaksana.

Makna Islam di tingkat pertama bawah yang lebih besar dan lebar, menandakan banyak orang yang sekedar beragama Islam. Belum tahu makna sebenarnya tentang agama yang dipeluknya, belum mampu memaknai setiap ajaran yang diwajib, disunahkan, serta kenapa larangan diterapkan.

Berikutnya, di tingkat kedua, Iman, dibutuhkan ilmu, pengetahuan, pengalaman mendalam, kebijaksanaan untuk bisa mencapai Iman. Dan terakhir, di tingkat teratas, seseorang baru bisa menjadi  Ikhsan jika sudah bisa mampu mencapai dua pertama sekaligus mengendalikan semua hawa nafsu. Serta kelapangan hati untuk memilih sesedikit mungkin mengambil hak yang seharusnya, serta sebanyak mungkin memberikan hak orang lain.

Tapi, dalam beberapa tahun saja, arsitektur masjid khas Jawa banyak yang sudah “menghilang”. Kalaupun ada masjid yang masih mempertahankan atap tumpang, di ujungnya pasti ditambahi kubah loncong telur yang justru terlihat tidak “matching“. Seolah-olah, para pengurus masjid di Jawa Timur punya pikiran seragam “kalau masjidnya ndak ada ‘kubah bulat telurnya’, ndak keren. Ketinggalan jaman. Ndak Islami.”

Masjid-masjid di Jawa Timur itu, kini banyak tergantikan dengan masjid-masjid berarsitektur “ala” Timur Tengah yang punya pilar-pilar tebal nggethebulnya yang justru lebih memakan space, dengan kubah “telurnya”. Indah memang, tapi mengingatkan saya pada penampilan “saudagar-saudagar” Arab di film-film laga yang gemar berpakaian putih-putih, bersurban tebal, jenggot panjang, dengan jidat hitam pekat menakutkan, sembari membawa golok di pinggangnya.

Saya suka masjid-masjid arsitektur lama di Jawa Timur. Yang punya atap sederhana, ruangan lebih terbuka, hingga seolah-olah masjid itu berkata pada siapa pun “ayo, mari ke sini… monggo masuk! Ini rumah Gusti Allah, rumah siapa pun orang yang ingin bermesraan dengan Gusti Allah. Mau begal atau pelajar, mau koruptor atau pelacur, mau orang kaya atau miskin papa, monggo semua masuk!”.

Ventilasi atau ruang udara di antara undak-undak di atap, memungkinkan masjid selalu terasa nyaman dan adem tanpa perlu kipas angin, apalagi AC. Pilar-pilar atau dinding yang sederhana dan terbuka, memungkinkan masjid lebih banyak menampung jamaah. Sementara teras yang selalu ada, dan biasanya berundak juga, memungkinkan setiap orang bisa kongkow-kongkow ngobrol ngalor-ngidul dengan teman, saudara, ketika sehabis sholat. Tidak seperti gaya masjid sekarang, yang meski sangat indah, tapi seolah-olah angkuh tak memberi izin kaum mursal masuk.

Bayangkan, ketika orang-orang kampung, yang kakinya kotor oleh lumpur sawah; atau dakik karena jalan berkilo-kilo keliling menjajakan barang pecah belah; kemudian berdiri di depan masjid mewah yang angkuh itu? Hmm…, kalau saya mungkin akan lebih memilih cari langgar/surau kecil saja untuk sholat.

Masjid adalah hasil budaya. Budaya adalah sari kearifan yang bersumber dari masyarakat lokal, dan berkembang untuk kebaikan masyarakat lokal. Setiap masyarakat punya budaya khas dan berbeda, dan setiap budaya tidak serta merta cocok untuk masyarakat lain. Masjid khas Jawa jelas adalah saripati dari kebaikan dan orang-orang Jawa, serta cocok untuk masyarakat Muslim Jawa. Dan, tentu saja, masjid arsitektur Timur Tengah, cocok dan menjadi pilihan terbaik bagi masyarakat Timur Tengah sana.

***Lalu apa hubungannya antara hibah dari Timur Tengah yang diterima banyak masjid di Batam dengan arsitektur masjid-masjid di Jawa Timur yang kini condong ke Timur Tengah? Sejujurnya saya tidak tahu pasti jawabannya. Tapi, setidaknya, ini memberi sedikit gambaran, ekspansi pengaruh Timur Tengah yang begitu besar masuk ke Indonesia. Yang tak terasa, karena kita adalah masyarakat yang sangat “welcome“, apalagi sebagai ketika dibumbui pesan-pesan “surga”. Namun saking massifnya ekspansi itu, hingga dalam beberapa puluh tahun saja, kita seolah lupa dan dengan mudahnya meninggalkan kebudayaan (arsitektur) asli kita.

Setelah arsitektur, saya cuma khawatir, ekspansi itu kemudian merambah hingga pada cara berpikir, dan untuk kemudian menghilangkan sifat dasar masyarakat Indonesia yang ramah, sabar, dan toleran. Menjadi seperti kafilah-kafilah Timur Tengah yang doyan perang itu. Ah…, semoga kekhawatiran saya tidak terjadi.

NB: Semua foto masjid saya ambil di Jawa Timur

Sultan Yohana

Sultan Yohana

Related Posts

Kucing-kucing Mudik
Cerita Foto

Kucing-kucing Mudik

April 7, 2025
Hitam-Putih dengan 7D2
Cerita Foto

Hitam-Putih dengan 7D2

February 1, 2025
Cerita Foto

Monyet Ekor Panjang di Sebuah Pojok Singapura

January 30, 2025
Next Post
“Mukidi” & Umpatan yang Menyenangkan

"Mukidi" & Umpatan yang Menyenangkan

Tulisan yang Lebih Bahaya

Tulisan yang Lebih Bahaya

Anak “Jaman Sekarang”

Anak "Jaman Sekarang"

Leave a Reply Cancel reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Follow Me

Rekomendasi

“Hal Kecil” yang Lebih Sulit Dilakukan

“Hal Kecil” yang Lebih Sulit Dilakukan

8 years ago
Mimpi 2/8: Cak Dar

Mimpi 2/8: Cak Dar

13 years ago
Kisah Cinta Dua Singa (4)

Kisah Cinta Dua Singa (4)

17 years ago

Welcome to Our Kampong!

14 years ago

Instagram

    The Instagram Access Token is expired, Go to the Customizer > JNews : Social, Like & View > Instagram Feed Setting, to refresh it.

Kategori

  • Batam
  • Bolaisme
  • Catatan Bola
  • Catatan Lepas
  • Catatan Publik
  • Cerita Foto
  • Cerita Sangat Pendek
  • Humaniora
  • Indonesiaku
  • Jurnalisme
  • Kultur
  • Ngalor Ngidul
  • Politisasi
  • Review
  • Sastra
  • Singapura
  • Tentang Aku
  • Video

Topics

Abdul Gofur Air minum Alas kaki Batam Bule Catatan Cerita Dollar Efisiensi Ekor panjang Fasilitas Foto Gadis China Gaji Honor Humaniora Indonesia Jatim Johor Karyawan Kedai Kucing Kurs Mahal Malang Malaysia Masjid Menteri Monyet Mudik Pengemis Photo Premanisme rasa singapura Rezeki Rupiah Sejarah Sepakbola Sepeda Singapore Singapura Taipei Taiwan Tanjungpinang Warung
No Result
View All Result

Highlights

Ketika Sedolar Nilainya Rp13.157

Aku Musti Belajar dari Nenek Pengemis itu!

Kucing-kucing Mudik

Pintarnya Johor Mendulang Untung dari Singapura

Gadis China yang Tidak pernah Pakai Alas Kaki

“Seteguk Air Dingin”: dari budaya baik bule di Singapura

Trending

Kita Adalah Orangtua Kandung Premanisme: dan dua buku yang menjelaskan fenomena premanisme
Catatan Lepas

Kita Adalah Orangtua Kandung Premanisme: dan dua buku yang menjelaskan fenomena premanisme

by Sultan Yohana
May 26, 2025
0

SAYA membaca laporan Majalah Tempo pekan ini, "Oke Gas, Hercules". Tentang premanisme, terutama tentang sepakterjang Herkules dengan...

Bolehkan Mencuri Sesuatu yang Mubadzir?

Bolehkan Mencuri Sesuatu yang Mubadzir?

May 19, 2025
Efisiensi: Ikhtiar bagaimana Singapura menjadi maju

Efisiensi: Ikhtiar bagaimana Singapura menjadi maju

May 13, 2025
Ketika Sedolar Nilainya Rp13.157

Ketika Sedolar Nilainya Rp13.157

May 3, 2025
Aku Musti Belajar dari Nenek Pengemis itu!

Aku Musti Belajar dari Nenek Pengemis itu!

April 20, 2025
Sultan Yohana

© 2023 Sultan Yohana

Kunjungi Juga

  • Tentang Saya
  • Privacy Policy
  • Kontak

Ikuti Saya

No Result
View All Result
  • Catatan Lepas
  • Catatan Bola
  • Cerita Foto
  • Cerita Sangat Pendek

© 2023 Sultan Yohana