: Dan ke Mana Masjid Beratap Tumpang yang Nyaman itu?
Ketika masih aktif menjadi wartawan, saya pernah mendapat “penugasan” khusus dari pimpinan saya, untuk mencari tahu dari mana saja dana masjid-masjid di seantero Batam? Jawabannya cukup mengejutkan saya, kebanyakan hibah datang dari negara-negara Timur Tengah. Tapi ketika itu, tentu saja saya tidak mempersoalkan. Tidak ingin berburuk sangka. Belum punya pengetahuan untuk menggatuk-nggatukkan fenomena global.
Ketika itu saya berpikir, siapa saja boleh menyumbang kebaikan. Mau orang luar negeri, mau dalam negeri, siapa pun tidak masalah menyumbang masjid. Mau kaya, mau miskin; tokh sangat mulia menyumbang masjid. Apalagi Batam dan Kepri yang memang unik, yang notabene dekat dengan Malaysia dan Singapura, dan banyak mendapat kucuran sumbangan dari masyarakat Muslim kedua negara itu. Bahkan ketika Hari Raya Qurban, banyak muslim Singapura memilih berqurban di Batam. Batam juga punya latarbelakang masyarakat dari banyak negara, majemuk, berbeda-beda latar-belakang budaya.
Tapi, buruk sangka itu tiba-tiba muncul kembali ketika saya “jalan-jalan” dari Surabaya, Pujon, Malang, sampai Blitar, awal tahun 2016 lalu.. Ada yang mengusik hati saya ketika tiap kali lewat sebuah masjid. Bathin saya, “kok nyaris semua arsitekur masjid di Jatim (di desa-desa hingga di kota-kota) seragam ya?” Masjid dengan gaya Timur Tengah, punya ruang utama penuh pilar-pilar tebal nggethebul, serta kubah lonjong telur mirip kubah masjid-masjid di Iran sana.
Sulit sekali saya menemukan masjid yang atapnya berundak atau tumpang, yang pernah menjadi ciri khas masjid-masjid di Jawa sebelumnya. Antara 15 hingga 20 tahun lalu, sangat mudah menemukan masjid di Jawa Timur yang masih beratap tumpang. Terutama di desa-desa. Di jaman-jaman sekolah, kami dulu bahkan sempat diajarkan arsitektur ini beserta makna setiap undak dari atap masjid tumpang. Setiap orang yang pernah mendapat pelajaran itu mungkin ingat, tiga undak di masjid tumpang bermakna Islam, Iman, dan Ikhsan; tiga hal yang harus dilalui seorang Muslim untuk bisa bermesraan dengan Gusti Allah yang Maha Bijaksana.
Makna Islam di tingkat pertama bawah yang lebih besar dan lebar, menandakan banyak orang yang sekedar beragama Islam. Belum tahu makna sebenarnya tentang agama yang dipeluknya, belum mampu memaknai setiap ajaran yang diwajib, disunahkan, serta kenapa larangan diterapkan.
Berikutnya, di tingkat kedua, Iman, dibutuhkan ilmu, pengetahuan, pengalaman mendalam, kebijaksanaan untuk bisa mencapai Iman. Dan terakhir, di tingkat teratas, seseorang baru bisa menjadi Ikhsan jika sudah bisa mampu mencapai dua pertama sekaligus mengendalikan semua hawa nafsu. Serta kelapangan hati untuk memilih sesedikit mungkin mengambil hak yang seharusnya, serta sebanyak mungkin memberikan hak orang lain.
Tapi, dalam beberapa tahun saja, arsitektur masjid khas Jawa banyak yang sudah “menghilang”. Kalaupun ada masjid yang masih mempertahankan atap tumpang, di ujungnya pasti ditambahi kubah loncong telur yang justru terlihat tidak “matching“. Seolah-olah, para pengurus masjid di Jawa Timur punya pikiran seragam “kalau masjidnya ndak ada ‘kubah bulat telurnya’, ndak keren. Ketinggalan jaman. Ndak Islami.”
Masjid-masjid di Jawa Timur itu, kini banyak tergantikan dengan masjid-masjid berarsitektur “ala” Timur Tengah yang punya pilar-pilar tebal nggethebulnya yang justru lebih memakan space, dengan kubah “telurnya”. Indah memang, tapi mengingatkan saya pada penampilan “saudagar-saudagar” Arab di film-film laga yang gemar berpakaian putih-putih, bersurban tebal, jenggot panjang, dengan jidat hitam pekat menakutkan, sembari membawa golok di pinggangnya.
Saya suka masjid-masjid arsitektur lama di Jawa Timur. Yang punya atap sederhana, ruangan lebih terbuka, hingga seolah-olah masjid itu berkata pada siapa pun “ayo, mari ke sini… monggo masuk! Ini rumah Gusti Allah, rumah siapa pun orang yang ingin bermesraan dengan Gusti Allah. Mau begal atau pelajar, mau koruptor atau pelacur, mau orang kaya atau miskin papa, monggo semua masuk!”.
Ventilasi atau ruang udara di antara undak-undak di atap, memungkinkan masjid selalu terasa nyaman dan adem tanpa perlu kipas angin, apalagi AC. Pilar-pilar atau dinding yang sederhana dan terbuka, memungkinkan masjid lebih banyak menampung jamaah. Sementara teras yang selalu ada, dan biasanya berundak juga, memungkinkan setiap orang bisa kongkow-kongkow ngobrol ngalor-ngidul dengan teman, saudara, ketika sehabis sholat. Tidak seperti gaya masjid sekarang, yang meski sangat indah, tapi seolah-olah angkuh tak memberi izin kaum mursal masuk.
Bayangkan, ketika orang-orang kampung, yang kakinya kotor oleh lumpur sawah; atau dakik karena jalan berkilo-kilo keliling menjajakan barang pecah belah; kemudian berdiri di depan masjid mewah yang angkuh itu? Hmm…, kalau saya mungkin akan lebih memilih cari langgar/surau kecil saja untuk sholat.
Masjid adalah hasil budaya. Budaya adalah sari kearifan yang bersumber dari masyarakat lokal, dan berkembang untuk kebaikan masyarakat lokal. Setiap masyarakat punya budaya khas dan berbeda, dan setiap budaya tidak serta merta cocok untuk masyarakat lain. Masjid khas Jawa jelas adalah saripati dari kebaikan dan orang-orang Jawa, serta cocok untuk masyarakat Muslim Jawa. Dan, tentu saja, masjid arsitektur Timur Tengah, cocok dan menjadi pilihan terbaik bagi masyarakat Timur Tengah sana.
***Lalu apa hubungannya antara hibah dari Timur Tengah yang diterima banyak masjid di Batam dengan arsitektur masjid-masjid di Jawa Timur yang kini condong ke Timur Tengah? Sejujurnya saya tidak tahu pasti jawabannya. Tapi, setidaknya, ini memberi sedikit gambaran, ekspansi pengaruh Timur Tengah yang begitu besar masuk ke Indonesia. Yang tak terasa, karena kita adalah masyarakat yang sangat “welcome“, apalagi sebagai ketika dibumbui pesan-pesan “surga”. Namun saking massifnya ekspansi itu, hingga dalam beberapa puluh tahun saja, kita seolah lupa dan dengan mudahnya meninggalkan kebudayaan (arsitektur) asli kita.
Setelah arsitektur, saya cuma khawatir, ekspansi itu kemudian merambah hingga pada cara berpikir, dan untuk kemudian menghilangkan sifat dasar masyarakat Indonesia yang ramah, sabar, dan toleran. Menjadi seperti kafilah-kafilah Timur Tengah yang doyan perang itu. Ah…, semoga kekhawatiran saya tidak terjadi.
NB: Semua foto masjid saya ambil di Jawa Timur