SAYA melongo! Ketika melihat di layar tivi milik money changer langganan saya di Megamall. Kurs jual rupiah ke dolar yang dipampang di layar tivi hari Rabu sore akhir September 2013 itu, menembus angka Rp8.800 per satu dolar Singapura. “Gak salah kursnya?” tanya saya pada si pegawai money changer. Si pegawai, perempuan berjilbab, hanya cengar-cengir saja. Tahu, bahwa pertanyaan saya tak perlu dijawab.
“Tadi pagi malah lebih ngeri Bang, tembus 8.900,” kata si pegawai.
Tukar, tidak, tukar, tidak… saya sempat dibuat bimbang apakah mau menukar atau tidak jika melihat nilai tukar rupiah setinggi itu. Seingat saya, nilai tukar kali ini yang tertinggi semenjak krisis moneter 1998 silam. Mungkin saya salah, tapi setidaknya, sejak saya menetap di Batam sepuluh tahun silam, seingat saya ini kali lah nilai tukar yang tertinggi yang saya rasakan.
Kebimbangan untuk menukar, juga muncul karena kenaikan nilai dolar yang tiba-tiba. Sehari sebelumnya, saat saya sempat hendak menukar, kurs jual masih di angka Rp8.300. Itu pun saya anggap sudah kemahalan. Ketika itu saya ogah menukar, dan berharap esok harinya akan turun. Tapi harapan itu justru memukul saya. Bukannya turun, malaha naik dengan gilanya, menjadi Rp8.800.
Tukar, tidak, tukar, tidak… kembali saya bimbang.
Saya sebetulnya punya alternatif lain yang lebih spekulatif ketimbang langsung menukar dolar di money changer. Yakni mengambil langsung tunai dari ATM OCBC di Singapura. Saya kebetulan nasabah OCBC NISP, juga nasabah beberapa bank seperti BCA, BRI, serta BNI. Dari seluruh ATM bank yang saya miliki, OCBC lah yang paling “bersahabat”. Terkadang, bahkan, kurs jual yang saya dapat lebih baik ketimbang ketika saya langsung menukar rupiah di money changer.
Tapi ya itu, spekulasinya tinggi. Tak jarang OCBC di Singapura terlambat menaikkan kurs jual mereka, hingga ketika saya menarik dolar di ATM di Singapura, kursnya bagus sekali. Tapi begitu mereka melakukan penyesuaian, kurs jual yang mereka tetapkan nyaris sama dengan kurs jual di money changer di Batam. Atau sedikit lebih jelek. Jika sudah demikian, saya akan menyesal kenapa tidak menukar di money changer langganan saya.
Akhirnya, Rabu sore itu, saya menukar di money changer. Walau tidak terlalu banyak. Hanya cukup untuk ongkos bekal pulang ke Singapura. Sambil nggerundel di dalam hati, saya serahkan lembaran-lembaran rupiah ke si pegawai manis yang sejak tadi selalu mesam-mesem melihat kegundahan saya. “Kok sikit Bang?” Saya bilang padanya, masih ada sisa dolar seminggu lalu.
***
Gonjang-ganjing jatuhnya rupiah atas dolar, mungkin tidak terlalu dirasa oleh kebanyakan orang di Indonesia. Tapi bagi saya, terasa sekali. Saya bekerja di Batam, dibayar dengan gaji standar Batam, namun keluarga saya di Singapura. Seluruh kebutuhan keluarga harus “diselesaikan” dengan dolar.
Nasib… nasib…
Untuk masyarakat Kepri, khususnya Batam, kenaikan kurs rupiah terhadap dolar pasti sangat memberatkan. Daerah ini, yang berbatasan langsung dengan Singapura dan Malaysia, dan cukup tergantung dengan negeri tetangga. Banyak komiditi dan kebutuhan pokok yang didatangkan dari luar negeri.
Batam yang didominasi industri elektronik, juga bakal terguncang seguncang-guncangnya. Ada kemungkinan bakal ada PHK. Industri yang satu ini, jelas sangat merugi dengan naiknya kurs dolar. Kontrak yang biasa ditandatangani antara pemesan dan pabrikan, biasanya dilakukan jauh hari sebelumnya. Juga ditetapkan berapa kurs rupiah yang mereka sepakati saat kontrak ditandatangani. Kini, ketika tiba-tiba dolar naik, belanja bahan baku mereka otomatis melonjak. Sementara pembayaran dari si pemesan, sudah tersepakati dengan kurs saat kontrak ditandatangani.
Bayangkan, berapa banyak industri elektronik di Batam yang bakal “menderita” dengan kenaikan kurs dolar yang gila seperti sekarang ini. Berapa banyak pula karyawan yang bakal terancam PHK. Menganggur. Yang susah makan. Hingga kemudian memicu aneka kejahatan di Batam.
Usul saya, untuk calon-calon wakil rakyat yang kini sudah mulai menghambur-hamburkan uang untuk pasang baliho dan pencitraan. Sebaiknya mulai berpikir bikin posko-posko “korban” kenaikan kurs dolar. Dijamin, pasti cara demikian bakal menarik perhatian lebih besar, hingga lebih dicintai masyarakat. Ketimbang pasang foto di baliho yang tak dipedulikan masyarakat itu.
(sultan yohana)