Duaribu empatbelas: sudah di depan mata. Dan, semua orang tiba-tiba berubah menjadi ramah. Menjadi merakyat. Menjadi bijaksana. Religius. Dan suka menebar-nebar senyum (andai yang ditebar langsung uang tunai, hehe). Tiba-tiba semua orang terlihat peduli, mau mendengarkan keluh kesah rakyat. 2014 memang akan ada pesta rakyat. Pemilu legeslatif di seantero Indonesia.
Sekarang masih 2013, dan orang-orang yang berubah menjadi ramah dan merakyat itu tentu saja orang-orang yang tahun depan bakal mencalonkan diri sebagai wakil rakyat. Saat ini, lihatlah baleho-baleho seantero jalan raya Batam. Tiba-tiba saja perempatan jalan dipenuhi baleho-baleho super besar. Gambarnya macam-macam. Banyak yang tak masuk akal.
Ada yang tiba-tiba gemar berkopyah sambil menyampirkan surban di leher – padahal sebagai wartawan, saya seringkali tahu mereka gemar nyekik botol miras. Ada pula yang berjas rapi lengkap dengan kopyah mirip tokoh revolusi. Yang calon wanita, beberapa memilih berkerudung sambil menyungging senyum paling manis yang mereka punya. Lebih gila lagi, ada calon wakil rakyat dari daerah pemilihan lain, yang justru memilih memasang balihonya di Batam.
Ajaib, bukan?!
Ada pula calon wakil rakyat yang tiba-tiba gemar menenteng sepeda onthel. Seolah memberi pesan bahwa dirinya merakyat dengan selalu memakai transportasi bebas polusi itu. Transportasinya rakyat kecil, rakyat miskin.
Padahal kalau calon wakil rakyat itu mau berpikir sehat sedikit, jangankan bagi yang bersepeda onthel, bahkan jalan raya di Batam sangat-sangat tidak aman untuk pemakai motor, mobil, juga pejalan kaki. Bersepeda onthel memang baik dan menyehatkan. Tapi, selama jalan raya tidak aman bagi mereka, serta ugal-ugalannya pemakai kendaraan bermotor lain, dijamin tak akan banyak orang yang mau bersepeda onthel untuk akfitivas sehari-hari mereka. Sebagai editor berita-berita kriminal, nyaris tiap hari pewarta-pewarta saya nyetor berita tentang ganasnya jalan di Batam: tewas tabrakan karena jalan berlubang, lampu penerangan mati, atau ketidakdisiplinan pengguna jalan.
Di Batam, hanya orang kaya yang memakai sepeda onthel untuk hobi mereka blusak-blusuk di hutan belantara. Sepeda onthel yang harganya bisa seharga satu rumah sederhana. Si calon itu pun, cuma di ujung kampanye saja memakai sepeda onthel. Selebihnya, mobil dinas yang ke mana-mana membawanya pergi.
Di Singapura sepeda onthel subur dipergunakan. Karena memang ada jalur khusus, dan aman bagi mereka. Ada tempat parkir khusus untuk sepeda onthel. Jika calon wakil rakyat yang memakai sepeda onthel untuk kampanye itu mau berpikir sejenak, mungkin ia akan lebih memilih mendahulukan mengkampanyekan keamanan jalan raya ketimbang harus mempertaruhkan nyawa mengajak orang bersepeda di jalan penuh bahaya.
***
Seperti lapak-lapak pedagang kakilima, jalan-jalan seantero Batam menjadi ajang cari muka calon-calon wakil rakyat yang akan ikut Pemilu tahun depan. Mereka menjual gambar-gambar ramah mereka kepada pemakai jalan. Amburadulnya penataan baliho-baliho kampanye terselubung itu, seolah “memaksa” setiap orang yang lewat untuk memperhatikan foto-foto mereka. Ini jelas kian mengundang bahaya. Konsentrasi pemakai kendaraan bisa pecah gara-gara sibuk memperhatikan baliho-baliho orang-orang “ramah” itu. Seharusnya ada aturan yang baik dalam penataan baliho-baliho itu. Tidak seenak udelnya saja dipasang di mana saja.
Bahkan belum menjadi wakil rakyat saja, mereka sudah “merampok” hak publik warga.
Jalan raya adalah area publik. Karena area publik itulah setiap orang yang memanfaatkannya dikenai pajak. Tapi yang demikian, tak lantas melupakan hak masyarakat untuk tidak diganggu oleh baliho-baliho calon wakil rakyat yang justru lebih merusak pemandangan kota itu. Sekali lagi, calon-calon wakil rakyat itu berhak memasang foto-foto mereka, juga karena negara mendapat pemasukan dari pajaknya. Tapi juga ada tidak bisa semena-mena.
Contohlah Singapura. Jika Anda berkeliling jalanan Singapura, tak akan Anda jumpai jejeran baliho calon wakil rakyat atau partai politik yang memenuhi sepajang jalan. Ada tempat khusus bagi para politikus untuk memasang foto mereka, juga gambar partai mereka. Bahkan saat pemilihan umum saja, alat-alat kampanye dibuat portable, mudah dipasang dan dibersihkan, dan tidak bisa ditempel di mana-mana. Di Singapura, jika misalnya kemarin kampanye, hari ini tempat-tempat kampanye itu sudah bersih dari atribut-atribut alat kampanye. Pohon-pohon tidak boleh dipaku untuk ditempeli alat kampanye. Juga sarana-sarana publik bebas dari stiker-stiker kampanye yang sulit dibersihkan itu.
Di Batam, bahkan bekas kampanye lima tahun silam hingga kini masih banyak yang mengotori sarana publik, ehhh…. tahun depan sudah kembali dikotori. Mereka yang berpesta, kita yang sengsara.
Diterbitkan untuk DIA, 24 Februari 2013