Sambil mencomot dua botol bensin di rak kayu ala kadarnya, saya iseng bertanya pada Budhe pemilik warung di Simpang Helm, Batamcentre; “Mboten wangsul mudik, Budhe?” tanya saya dalam bahasa Jawa. “Opo…, mudik?” Budhe balik tanya sembari matanya sedikit membelalak kepada saya. Matanya membelalak bukan karena marah, tapi seolah-olah hendak memberitahukan pada saya kesulitannya; bahwa “jangan diolok-oloklah orang kecil seperti saya yang tak mampu untuk pulang mudik.”
Tentu saja pertanyaan yang saya lontarkan tadi tak bermaksud mengolok-olok Budhe penjual bensin itu. Pertanyaan yang standar, sekedar basa-basi dari sesama perantau asal Jawa yang memang selalu merindukan pulang kampung, apalagi saat Lebaran seperti sekarang. Tanpa saya duga, Budhe justru menjadikan kalimat basa-basi saya sebagai “pintu” untuk sambat, mengeluh, setiap kali Lebaran harga apa saja melambung tinggi. Apa saja, mulai dari sembako, baju, apalagi tiket untuk pulang. Budhe mengaku berasal dari Jawa Tengah. Sementara suaminya, berasal dari provinsi sebelah, Jawa Timur. “Tiket berangkat saja seorang, mas… sudah dua jutaan,” begitu keluhan Budhe yang sempat saya rekam.
Ya, bagi perantau seperti kami, persoalan utama sejak dahulu kala saat ingin mudik menjelang Lebaran memang soal harga tiket yang naiknya gila-gilaan. Jika misalnya tiket dari Batam ke Solo, kota di mana Budhe tinggal Rp2 juta seorang, minimal Budhe harus mengeluarkan uang Rp8 juta jika dia dan suaminya yang akan mudik. Rp8 juta itu, hanya untuk tiket pesawat hingga Solo saja. Belum lain-lainnya, misalnya tiket ke Jawa Timur, beli oleh-oleh, ongkos hidup selama mudik, bagi-bagi angpau kepada keponakan-keponakan, hingga beli oleh-oleh lagi saat balik kembali ke Batam. Apalagi lagi jika mudiknya harus bawa beberapa anggota keluarga lainnya, seperti anak. Ah…, pantas Budhe melotot saat saya tanya soal mudik tadi. Begitu menggunungnya ongkos untuk mudik, hingga orang-orang kecil seperti kami, harus berpikir keras untuk bisa mudik Lebaran. Bisa-bisa, sekali mudik, utang yang harus dibayar baru lunas setahun kemudian.
Saya sendiri, hingga kini, masih belum bisa mengerti dengan fenomena kenaikan gila-gilaan tiket pesawat terbang setiap menjelang Lebaran. Dari tahun ke tahun, persoalan ini terus saja menimpa para perantau. Sudah menjadi rahasia umum, calo-calo tiket yang menyaru sebagai agen tiket perjalanan, kongkalikong dengan pihak maskapai untuk membuat tiket “menghilang” terlebih dahulu, untuk kemudian tiba-tiba “muncul” lagi menjelang Lebaran dengan harga gila-gilaan. Pemerintah seolah-olah tak berdaya, dan tutup mata dengan perilaku agen-agen tiket yang sudah seperti calo resmi, menahan dan menaikkan harga secara luar biasa, tanpa melakukan apa pun.
Peraturan Menteri Perhubungan nomor PM2/2014 yang ditandatangani oleh Menteri Perhubungan EE. Mangindaan yang dikeluarkan pada 10 Februari 2014, tentang aturan kenaikan tarif tuslah sepertinya “omong kosong” yang benar-benar tak dipedulikan oleh semua pihak. Jika kemudian peraturan nomor PM2/2014 itu ikut ditandatangani oleh Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia, Amir Syamsudin, kita bisa kita artikan: menaikkan harga gila-gilaan tarif transportasi saat Lebaran, adalah sebuah pelanggaran HAM. Catat, melanggar HAM adalah sebuah tindakan anti-manusiawi yang pelanggarnya bisa disebut “bukan manusia”. Calon presiden Prabowo saja, sempat mendapat persoalan besar gara-gara isu pelanggaran HAM ini, dan akhirnya kalah di pemilihan presiden lalu.
Saya setuju calo maupun agen tiket yang menaikkan harga tiket saat Lebaran dengan gila-gilaan adalah pelanggar HAM yang harus dibasmi. Rakyat kecil seperti Budhe, yang seharusnya punya hak untuk pulang mudik menengok sanak-saudaranya, bisa jadi melupakan mimpi atau hak mereka gara-gara tiket yang kelewat mahal. Melupakan hak mereka untuk berkumpul kembali dengan keluarga di kampung. Kenaikan harga tiket gila-gilaan, juga pada akhirnya membuka peluang orang-orang yang nekat untuk melakukan banyak hal yang bisa membahayakan keselamatannya, juga keselamatan orang lain. Mudik dengan menumpang transporasi umum ilegal, atau mudik dengan kendaraan bermotor tak standar dan harus menempuh perjalanan berhari-hari; keduanya adalah salah satu cara pemudik ingin mendapatkan hak berkumpul dengan keluarga mereka di kampung. Banyaknya kecelakaan saat mudik yang kebanyakan diderita oleh pemudik “kelas teri”, adalah bukti nyata bagaimana orang-orang kecil jadi korban mahalnya tiket Lebaran, dan terpaksa kehilangan nyawa gara-gara ingin pulang kampung. Dan ironisnya, pemerintah seperti enggan berbuat banyak terhadap fenomena yang sudah puluhan tahun terjadi ini. Bagi orang-orang yang “tega” menaikkan tiket gila-gilaan, saya sendiri tak paham, apakah makna puasa Ramadan yang mereka jalani sebulan penuh, tidak membekas dan mempengaruhi hati mereka? Puasa Ramadan seharusnya mampu memberikan pesan, agar mereka bisa menahan diri dan tidak berbuat angkara pada orang-orang kecil seperti Budhe, yang harus banting-tulang mencari uang untuk sekedar membeli tiket.
Jika menaati Peraturan nomor PM2/2014 soal kenaikan harga, tiket pesawat dari Surabaya ke Batam hanya akan naik maksimal 167.000. Jika diambil harga termahal di hari biasa tiket Surabaya-Batam Rp1 juta, harga tiket setelah tuslah paling mahal sekitar Rp1,2 juta saja sekali jalan. Itupun jika mengambil harga termahal. Jika harga termurah yang diambil, rata-rata tiket Surabaya-Batam berkisar di angka Rp750 ribu. Jika menaati peraturan pemerintah, warga kecil seperti Budhe penjual bensin, mungkin bisa mudik tahun ini.
***
Lebaran kali ini pula, saya membelikan tiket mudik untuk adik saya lewat Singapura. Menumpang Jetstar, adik saya berangkat ke Surabaya pada tanggal 27 Juli, dan pulang kembali lewat Singapura pada 31 Juli. Ongkos yang dikenakan pun sangat wajar. Hanya 220 dolar Singapura bersih (hitung sendiri jika dirupiahkan dengan kurs Rp9200), untuk tiket pulang-pergi. Harga yang mungkin, jika dirincikan, sesuai tuslah yang diberikan pemerintah Indonesia. Di Singapura memang tidak berlaku atau sangat sedikit agen layanan penjualan tiket sebagaimana di Batam yang menjamur hingga ke perumahan-perumahan. Di Singapura, agen-agen biasanya menjual paket wisata yang di dalamnya lengkap dengan tiket dan akomodasi. Permainan “simpan tiket” hingga detik-detik terakhir pun tidak berlaku di Singapura Mengingat calon penumpang bisa langsung membeli tiket sendiri lewat on-line, jauh-jauh hari sebelum jadwal keberangkatan. Pihak maskapai sendiri pun, tak bakal berani menaikkan tiket gila-gilaan, mengingat kompetisi yang sangat ketat dengan maskapai-maskapai lainnya. Di Singapura, justru terjadi hal sebaliknya, “perang tarif” yang justru menguntungkan masyarakat karena mereka punya banyak pilihan dan bisa mendapatkan tiket termurah.