Hening merayapi hari, saat Senin (8/9/2014) sore itu, tiba-tiba… gruduk… gruduk… gruduk…, suara gemeresek yang keras begitu mengagetkan saya. Terang saya kaget, ketika itu seorang diri saya di tengah hutan, dan konsentrasi betul-betul tertuju pada kamera yang sedang membidik seekor tupai hutan yang sedang ngemil buah kering. Celingak-celinguk memperhatikan sekeliling, sekitar sepuluh meter di samping saya, dua bayangan besar tengah berlari menjauhi posisi saya. Pepohonan bergerak tak beraturan. Sekelebat, indera penglihatan saya menangkap dua babi hutan yang lari tergesa-gesa masuk ke dalam hutan. Udara di dalam hutan yang semula begitu segar dan jernih, seketika terasa lebus dan berkabut; bercampur dengan bau dua babi hutan yang lari tunggang-langgang tadi, serta debu yang ditinggalkannya di udara.
Setelah suasana berangsur tenang, saya kembali menerusi kegiatan saya mencari satwa-satwa liar yang bisa saya jadikan obyek bidikan foto. Menyusuri jalan setapak dari kayu yang disusun begitu rapi dan aman, saya seorang diri masuk ke dalam hutan Lower Peirce Reservoir, salah satu hutan konservasi untuk menopang danau penyimpanan air. Hutannnya begitu rapatnya. Hanya jalan kayu setapak sajalah akses masuk ke dalam hutan. Sesekali saya berhenti, ketika bertemu obyek foto yang menarik hati. Menjepretnya, untuk kemudian kembali menyusuri jalan setapak dari kayu yang tak jarang kanan-kirinya tersedia informasi tentang nama pepohonan dan hewan yang bisa ditemui di sekitar situ.
Tupai mungkin hewan biasa yang mudah ditemui. Berang-berang, juga babi hutan yang tadi saya temui, menunjukkan bahwa hutan yang saya masuki masih cukup perawan. Belum lagi aneka macam hewan lainnya yang sepertinya bebas merdeka hidup sejahtera di habitatnya. Biawak dengan seenaknya berjemur di mana-mana, begitu juga kura-kura dan penyu yang terkadang terlihat sedang mendarat di pinggir danau. Aneka burung langka, yang kerap saya temukan di pasar-pasar burung di Batam dengan harga mahal juga kerap terlihat. Kepodang, sirku (burung kecil kebiru-biruan yang kicau suaranya panjang dan sekilas terdengar siiiiiiirrrkuuuuu…, dan gemar nangkring di pohon yang tinggi), kacer, perkutut, elang, bahkan saya sempat melihat dua ekor ayam hutan tengah bercanda di atas ketinggian pepohonan. Pemandangan dan sausana yang saya gambarkan ini mungkin adalah hal biasa bagi penduduk di daerah-daerah pedalaman, atau penduduk yang rumahnya dekat hutan.
Tapi ini, di Singapura. Yang sepelemparan batu dari hutan berisi babi hutan, berdiri rumah-rumah pemukiman yang begitu padatnya. Dengan mobil-mobil mewah di garasi rumah mereka. Saat saya hendak masuk hutan tadi, sederet ruko tua yang difungsikan sebagai restoran, ramai dikunjungi konsumennya. Sebuah restoran khas India, dengan sajian prata yang terlihat menggiurkan, terlihat yang paling ramai. Pun demikian lalu-lalang kendaraan bermotor di jalan raya yang tepat berada di samping hutan. Warga setempat, juga memanfaatkan trek kayu yang panjangnya beratus-ratus meter – bahkan bisa kilo-kilometer karena trek di satu hutan lindung berhubungan dengan hutan lindung lainnya – sebagai tempat jongging maupun sekedar refreshing membawa anak-anak mereka mengenal hutan. Beberapa kali, saya berpapasan dengan warga yang tengah jongging; atau orangtua yang tengah mengajak anak-anaknya belajar seputar apa saja yang bisa ditemui di hutan. Sepanjang pekan kemarin, memang anak-anak sekolah di Singapura libur.
Harmoni! Itulah kata yang mungkin paling pas untuk menggambarkan semua situasi yang coba saya diskripsikan di atas. Harmoni antara alam dengan manusia. Hutan, sebagai faktor penting penopang kehidupan manusia, dibiarkan sealami mungkin dan dijaga agar fungsi-fungsinya bisa “melindungi” manusia yang ada di sekitarnya. Juga memberi manfaat berupa produksi oksigen, menyerap karbon, dan sejumlah manfaat lainnya yang tak kalah pentingnya. Namun sebagai kota megapolitan, Singapura yang memang punya masalah keterbatasan lahan, warganya membutuhkan tempat beraktifitas yang memadai. Melulu beraktifitas di mal-mal yang banyak berdiri di Singapura, tentu bukan hal yang sehat dan membahagiakan.
Hutan kemudian dilirik. Hutan kemudian didesain untuk tempat beraktifitas, sekaligus dijaga kelesetariannya. Hutan juga dijadikan tempat belajar secara langsung oleh Singapura. Yang kemudian terjadi adalah, babi hutan masih bisa terlihat “nongkrong” di dekat restoran prata yang ramai dikunjungi konsumennya. Warga setempat bisa memanfaatkan hutan sebagai tempat berolahraga, sekaligus belajar mengenal alam. Sementara alam sendiri, diberi kesempatan untuk mengurusi keseimbangannya sendiri.
Dengan luas wilayah yang tak lebih luas dari Batam, Singapura justru menjaga begitu ketatnya hutan yang mereka miliki. Bukit Timah Nature Reserve misalnya, hutan lindung seluas 165 kilometer persegi ini dikenal sebagai hutan yang masih asri, namun masyarakat bisa beraktifitas di dalamnya dengan menyenangkan. Menyusuri trek berkilo-kilometer di dalam hutan, sembari menikmati candaan monyet dan kicau burung liar yang ditemui. Anda pernah dengar tentang Bukit Timah? Selain dikenal dengan hutan lindungnya, Bukit Timah dikenal sebagai kawasan pemukiman paling elit di Singapura. Para pejabat dan orang super kaya biasa tinggal di daerah ini.
Dengan luas 716.1 kilometer persegi, dan kepadatan penduduk yang mencapai 5.354 orang per kilometer persegi, Singapura masih menyisakan 4,4 persen hutan yang bisa dikategorikan benar-benar perawan, 41,9 persen hutan lindung (hutan yang saya kunjungi Senin lalu, masuk kategori ini). Prosentasi yang cukup mengejutkan, mengingat kepadatan penduduk di Singapura, adalah yang tertinggi kedua di dunia, dan hanya kalah dengan Monako.
***
Batam, dan juga daerah-daerah di Kepulauan Riau perlu menekankan fungsi “harmoni” dalam setiap pembangunannya. Banjir yang kian parah di Batam dan daerah-daerah seperti Tanjungpinang, seperti sesuatu yang susah untuk dipercayai, mengingat kota-kota ini berbatasan langsung dengan laut, dan persoalan banjir seperti ini seharusnya tak terjadi jika kota ditata dengan benar. Di Singapura, jalanan tergenang selutut pun, bisa menjadi isu dan pembicaraan besar oleh warganya, yang membuat pemerintah di sana dibuat kebingungan segera mencari tahu cara terbaik untuk mengatasi genangan (orang Singapura menyebut genangan juga banjir, sementara orang Batam menyebut banjir kalau sudah bisa dipakai berenang).
Bahkan di beberapa tempat, banjir bisa setinggi dada orang dewasa. Longsor pun kerap terjadi. Pemukiman terus saja dibangun, meski banyak perumahan baru yang kosong isinya dan sekedar ditempeli tulisan “dijual” di depan rumah mereka. Pembangunan itu terus dilakukan untuk memenuhi hasrat orang-orang kaya di Batam, yang bingung untuk apa membelanjakan/menginvestasikan uang mereka, hingga kemudian akhirnya memilih membeli rumah/ruko untuk investasi mereka. Kesenjangan ekonomi warga Batam/kepri yang begitu tinggi. Itu terlihat dari banyaknya mobil mewah berseliweran, namun buruhnya mendapat upah yang sangat kecil.
UMK Batam misalnya, tahun 2014 ditetapkan sebesar Rp2.4 juta, namun Anda harus merogoh kocek rata-rata Rp20 ribu untuk sekali makan. Itulah kenapa, di Batam, jika Anda memperhatikan, ada begitu banyak perumahan/ruko kosong, namun rumah liar (ruli), tumbuh sangat subur, bahkan di dalam hutan-hutan lindung. Selikas, jika Anda keliling Batam, Batam mungkin kota dengan hutan kota yang asri. Namun di dalam hutan itu, bukan berisi pohon dan hewan-hewan liar: melainkan ratusan ribu warga yang bertempat tinggal di dalam hutan dengan mendirikan rumah-rumah liar.
Bahkan hingga ke daerah pelosok seperti Barelang, hutan terus dijamah dan dijarah. Pepohonan ditebang, usaha-usaha didirikan. Ilegal maupun tidak, itu bukan persoalan besar bagi mereka.
Di Batam dan ibukota Kepri Tanjungpinang, izin pendirian mal-mal juga terus diberikan, meski kota seperti terlihat tak lagi bisa menampung pusat-pusat keramaian. Simaklah koran-koran yang beredar di Batam, nyaris tiap hari ada saja ucapan selamat atas pembukaan kawasan belanja baru atau mall, juga perumahan baru yang baru dibangun. Ketersediaan listrik dan air bersih yang tak mencukupi karena pertumbuhannya kalah jauh dari pertumbuhan pembangunan perumahan dan mall, kemudian menyisakan persoalan baru: listrik kerap mati, kualitas air jelek: dan masyarakat (terutama kelas menengah atas) terus-menerus komplain tak berkesudahan.
Setiap pemerintah yang berkuasa, tak peduli dengan semua situasi ini, dan seakan-akan tak mau membuang-buang waktu untuk terus saja membuat kerusakan, dengan memberikan izin berbagai macam pembangunan mal atau pemukiman yang sebetulnya tidak dibutuhkan masyarakat. “Harmoni” kemudian dilupakan. Hewan-hewan liar seperti kebingungan, hendak pergi ke mana mereka, karena pemukiman penduduk terus menggerus tempat tinggal mereka.
Kekhawatiran saya cuma satu. Jika “harmoni” antara alam dan manusia tak lagi jadi perhatian serius, alam akan murka. Dan, sepanjang sejarah kehidupan manusia, dari jaman para Nabi hingga sekarang, kita semua sudah belajar, bagaimana hebatnya kerusakan yang diakibatkan oleh kemurkaan alam. Yang dahsyatnya, tak perlu saya tulisakan lagi di sini.