:Buruh! Berdemo yang cerdas!
Saya menunggu detik-detik di mana Aris Hardi Halim hendak bersuara merespon usulan saya. Sesaat, semua diam, hampir semua padangan mata yang hadir di ruang rapat redaksi Posmetro Batam tertuju pada sosok segar Wakil Ketua I DPRD Batam itu. “Susah melaksanakannya.” Akhirnya, seperti ini kalimat yang keluar dari politikus Partai Keadilan Sejahtera (PKS) tersebut. Ekspresinya, ketika menjawab: datar, apa adanya, lemah. Wajahnya yang bundar, dengan pipi segar berisi, seolah tidak berusaha untuk memberikan jawaban terbaik yang seharusnya dia punya. Jawaban yang sudah bisa tertabak sebelumnya.
etika itu, menjelang pemilu legeslatif 2014. Aris beserta tiga ajudannya datang mengunjungi kantor Posmetro. Kami kemudian menggelar diskusi sederhana. Membahas masalah sepele hingga serius yang selama ini ada di Batam. Diskusi sampai pada persoalan kenaikan sembako yang tiap tahun selalu menjadi masalah di Batam, juga Kepri. Seiring dengan tuntutan para buruh meminta kenaikan upah minimum kota (UMK), yang saban tahun selalu menjadi hiruk-pikuk kota Industri ini.
Demonstrasi buruh menuntut kenaikan UMK, serta naiknya sembako; keduanya seperti “saudara kandung” yang saban akhir tahun selalu jadi persoalan tak pernah bisa dipisahkan satu sama lainnya. Upah minimum di Batam memang selalu bermasalah. Jika dibandingkan “apple to apple” dengan UMK di kota lain di Indonesia, sepertinya UMK Batam memang terkesan besar. Tahun 2014, Gubernur Kepulauan Riau M. Sani menetapkan UMK Batam sebesar Rp2.422.092. Di Jakarta misalnya, di periode yang sama UMKnya hanya Rp 2.440.000 juta. Di kampung saya, Malang, Jatim, UMK malah cuma Rp1.587.000.
Tapi, bukan persoalan besarnya UMK yang kemudian membuat para buruh bersedia hingga berbulan-bulan demonstrasi, yang terkadang sampai terjadi rusuh seperti tahun 2012 silam. Tahun 2012 itu, bakar-bakaran terjadi; pos-pos polisi seantero Batam dibakar. Sebagai pembalasan setelah aparat keamanan membakar motor pendemo.
Ya, bukan hanya persoalan besar kecilnya UMK yang tiap tahun “menyapa” warga Batam. Melainkan besarnya kebutuhan hidup di Batam yang jauh melampaui kota-kota lain di Indonesia, bahkan mungkin di Jakarta. Sepiring nasi plus teh o-peng (es teh) di warung-warung pinggir jalan di Batam, rata-rata dijual seharga Rp20 ribu. Di warung ala kadarnya di mall, harga seporsi sama bahkan bisa melambung hingga Rp35 ribu.
Belum lagi harga perumahan yang gila-gilaan, transportasi yang buruk dan sangat mahal (di Tanjungpinang, ongkos taksi untuk jarak 40 kilometer bahkan mencapai Rp350 ribu), biaya sekolah yang mengerikan (SPP memang gratis, tapi uang komite besarnya naudzubillah), serta desain kota yang kapitalis, hingga secara tidak sadar memungkinkan masyarakatnya sangat konsumtif (lebih banyak mall ketimbang sarana publik). Saya sendiri pernah membuat hitung-hitungan sederhana, seseorang tak bakal bisa hidup LAYAK di Batam tanpa meminta bantuan siapa-siapa jika gaji kita tak lebih dari Rp5 juta.
Di Batam, juga Kepri, kenaikan sembako memang meresahkan. Bahkan kenaikan UMK masih sebatas isu saja, para pengusaha/importir sembako seolah-olah menyambutnya dengan gembira, lebih dulu menaikkan dagangan mereka. Batam, juga Kepri yang sebagian besar wilayahnya berupa pesisir, serta lebih dekat dengan negeri tetangga, memang menggantungkan sebagian kebutuhan sembakonya dari impor luar negeri atau dearah lain di Indonesia. Momen kenaikan UMK seolah-olah menyenangkan para pengusaha/importir sembako itu. Dari situ, mereka bisa menangguk untung dengan cepat.
Tapi hal itu adalah wajar. Di manapun di dunia, pedagang selalu mencari celah dan momentum untuk menangguk untung sebesar-besarnya. Apalagi di jaman kapitalisme telah menjadi “agama” baru yang dianut sebagian besar masyarakat dunia. Jangankan kenaikan UMK, isu politik sepele saja, kerapkali dijadikan alat untuk menaik-turunkan nilai tukar uang. Nilai saham bisa tiba-tiba jatuh drastis bukan saja karena kinerja buruk-baiknya perusahaan, melainkan isu yang sering dihembuskan pemain saham.
Kapital, kapitalis, kapitalisme; adalah bentuk lain dari keserakahan yang dilegalkan. Tontonlah film dokumenter The Love Story of Capitalism karya si “publik enemy number one” di USA, Michael Moore! Di sana Anda akan menemukan betapa kejamnya kapitalisme menyakiti rakyat negeri yang selama ini bangga disebut sebagai “bapaknya kapitalis,” USA. Bahkan kepada mereka-mereka yang disebut “pahlawan Amerika”. Kuba, negeri yang hampir setengah abad terakhir dipersonifikasikan Amerika sebagai negeri komunis tak berdemokrasi, dengan rakyatnya susah dan kerap menderita: di film itu, justru dimunculkan fakta rakyat Kuba hidup lebih bahagia, lebih sehat sejahtera.
Indonesia? Adalah surga dari surganya pelaku kapitalis. Hukum yang bisa dibeli, aturan yang bisa dimainkan, pejabat yang bisa disogok, pengawasan (baca media) yang bisa disuap, adalah tempat di mana kapitalis hidup bahagia. Lihatlah bagaimana tanah-tanah disulap dengan cepat menjadi mal maupun perumahan; meski rakyat setempat tidak membutuhkan. Tengok pula investor-investor berdatangan, membeli keindahan Indonesia, atau sekedar mengeruk kekayaan untuk keserakahan mereka. Rakyat Indonesia hanya diberi sisa, dininabobokan dengan lowongan kerja yang bergaji tak seberapa. Mereka kemudian pergi dengan mewariskan kerusakan pada anak-cucu kita.
Batam, juga Kepri, adalah model kecil dari betapa menguasainya kapitalis hingga sendi paling dasar dari kemasyarakatan rakyat. Di sini, ketika Anda punya uang, semuanya akan gampang. Sangat gampang! Batam misalnya. Bukan pemerintah yang merancang dan mendesain kota ini untuk dijadikan kota yang bagaimana: melainkan pemilik modal lah yang melakukan itu semua. Pemerintah kota saya ibaratkan seperti raja kecil yang manja, bertubuh gemuk dan suka merengek, kekakak-kanakan, yang jika keinginannya dituruti, akan senang dan lupa atas tugasnya sebagai pengatur daerah. Rakyat dibiarkan banting-tulang ngurus diri mereka sendiri. Bahkan kalau bisa, rakyat harus setor upeti kepada pemerintah.
Bukti sederhana Batam adalah surganya kapitalis, Anda bisa melongok harga-harga kebutuhan bahan pokok di Batam. Sekilo mangga misalnya, harga hampir sama – bahkan kadang lebih mahal – dengan harga di Singapura. Sepiring sajian ayam di KFC Megamall Batamcentre, harganya tak beda dengan KFC di Singapura. Sepiring nasi ayam di pujasera Mitra Mall, sama dengan sepiring nasi ayam di tempat saya tinggal sekarang: Ang Mo Kio, Singapura. Sementara gaji rata-rata karyawan di Singapura, sepuluh kali lebih besar ketimbang gaji karyawan di Batam.
Kenapa bisa begitu? Karena kapitalis, dengan keserakahan mereka yang merancang dan membentuk kota Batam. Sementara pemerintah tak bisa – atau mungkin tak mau – membuat aturan yang membatasi keserakahan mereka. Seberapa besar dikabulkannya tuntutan UMK, tak akan berarti apa-apa, jika kenaikannya sebanding dengan kenaikan harga sembako dan kebutuhan masyarakat lainnya. Di sini, rakyat yang bukan buruh, adalah pihak yang paling dirugikan. Paling dibuat sengsara.
***
Lalu, apa hubungannya dengan kapitalisme, demo minta kenaikan UMK yang tiap tahun terjadi di Batam/Kepri, serta “minimarket negara” ala Singapura? Ketika diskusi kami dengan Aris Hardi Halim, saya memberi satu usul sederhana agar kenaikan sembako di Batam tiap tahun tidak terjadi, dan bisa dikendalikan. “Pak, perusahaan BUMD yang selama ini ndak pernah untung dan selalu membebani APBD, mungkin bisa buka minimarket milik negara seperti Singapura!” kira-kira begitu usul saya. BUMD di Batam dan Kepri, nyaris tak terdengar kiprah mereka, dan yang muncul di berita tiap tahun cuma ini: rugi dan minta suntikan dana APBD.
Anda yang pernah tinggal di Singapura, pasti sangat akrab dengan NTUC-Fair Price. Pusat belanja paling beken, yang notabene milik Pemerintah Singapura. Tanyalah setiap ibu-ibu di Singapura, apa saja isi dompet mereka? Satu jawabannya bisa saya pastikan, “kartu member NTUC”. Singapura memang sangat cerdik, dan mereka tak mau face to face melawan kapitalisme di negeri mereka sendiri dengan menolak kehadiran mereka. Mereka memberi izin perusahaan-perusahaan ritel raksasa seperti Carreffour, Giant, Hypermarket, Cold Storage, 7/11, untuk beroperasi. Tapi Pemerintah Singapura juga tak mau kalah, dan mendirikan NTUC-Fair Price sebagai perusahaan ritel. Salah satu fungsinya adalah untuk mengendalikan harga.
Tidak seperti Carreffour atau Hypermarket yang kebanyakan berskala besar, NTUC-Fair Price justru membuat penetrasi pasar lewat minimarket-minimarket kecil namun tersebar begitu banyak di seantero Singapura. Memang sih, banyak di antara mereka yang kemudian meraksasa, menjadi NTUC-Fair Price berskala raksasa yang tak kalah besar dari Hypermarket. Namun satu-satunya yang tetap dipertahankan NTUC-Fair Price, adalah harga standar barang-barang kebutuhan sehari-hari yang mereka jual tidak lebih mahal dari harga pasaran. Bahkan bisa dikatakan lebih murah, dan di hari-hari tertentu, banyak diskon yang diperuntukkan untuk warga khusus, seperti warga lanjut usia Singapura. Sebagian keuntungan NTUC-Fair Price juga masuk kas negara.
Indonesia memang punya Bulog. Pemerintah juga kadang menggelar operasi pasar. Tapi pihak kapitalis juga tak kalah pintar, dengan menimpan/menimbun barang, atau sekedar membanjiri pasar dengan barang tertentu untuk meraih untung sebesar-besarnya. Bulog, terbukti gagal membuat stabilitas harga kebutuhan rakyat Indonesia.
Logikanya sederhana: dengan NTUC-Fair Price yang mematok harga wajar, pusat-pusat belanja yang dikuasai oleh para kapital tak akan berani menaikkan harga sembarangan jika tak ingin ditinggal konsumennya. Apa pun jenis barang tersebut. Mulai dari sembako hingga celana dalam. Dari sikat gigi sampai barang elektronik. Di sinilah kemudian berlaku stabilisasi harga secara natural, wajar, dan semua pihak gembira.
Saya masih ingat, 11 tahun silam, ketika makan yong tau foo di pujasera Banquet di Pelabuhan Harbour Front, seporsi full dihargai sekitar 3 dolar 70 sen. Saat ini di tempat yang sama (meski restorannya berganti nama menjadi Bagus), seporsi yong tau foo hanya berharga 4 dolar 50 sen. Hitung sendiri berapa kenaikannya selama 11 tahun, dan bandingkan dengan kenaikan harga makanan di Batam!
Kepada Aris Hardi Halim saya beralasan, ide membuat “minimarket pemerintah” adalah sebuah hal sederhana yang sangat bisa dilakukan oleh siapa pun. Fenomena maraknya minimarket di Batam, menjadi bukti, bahwa membuat minimarket adalah sesuatu yang mudah. Tak perlu berskala besar, mungkin cukup dengan menyewa dua atau tiga ruko untuk dijadikan minimarket. Dikelola dengan semangat mengendalikan harga, untuk membuat semua orang gembira. Jika kemudian “minimarket pemerintah” itu berkembang pesat hingga ke sudut-sudut kota di Batam, bukan tak mungkin akan menjadi perusahaan hebat, dan mendatangkan keuntungan untuk kesejahteraan rakyat.
Namun Aris mengaku, mewujudkan ide itu susah. Ia beralasan, siapa yang memasok barang-barangnya? Pertanyaan yang membuat saya sedih. Ketika kuliah, sempat membuka toko kelontong di rumah. Dengan modal cuma Rp2 juta, usaha saya memang tidak terlalu maju, namun bertahan cukup lama dan mampu menutupi ongkos kuliah saya. Untuk, persoalan siapa pemasok barang? Akan datang dengan sendirinya ratusan orang/perusahaan marketing yang mau memasok barang ke minimkarket Anda tanpa perlu Anda bangkit dari tempat duduk Anda. Yang diperlukan hanya satu: jujur dan semangat untuk mensejahterakan rakyat.
Jika demikian? Apa untungnya buruh berdemonstrasi, tiap tahun menuntut kenaikan UMK jika kebutuhan pokok ikut naik? Demo tetap diperlukan, tapi harus tepat sasaran! Demolah para mafia-mafia yang gemar menaikkan sembako itu! Atau wakil rakyat yang tak mau berusaha mensejahterakan Anda! Selamat berdemo!
(sultan yohana)
Foto adalah salah satu toko NTUC-Fair Price di sebuah SPBU di Singapura.