Sekitar dua tahun silam, saya sempat cukup lama redheng-redheng (baca “dh”-nya kudu kayak baca huruf hijaiyah “thot”, ujung lidah digigit), ngalor-ngidul nenteng Panasonic GX1 plus lensa Lumix 20mm F1.7. Bukan karena demam mirrorless, tapi ini semata barang dagangan. Entah kenapa, ketika itu si GX1 ini kok membuat saya jatuh cinta, melupakan cinta lainnya pada kamera Leica pertama saya; D-Lux 4 yang ketika itu baru saja laku (jadi penghobi foto sekaligus pedagang kamera seken memang enak, gonta-ganti kamera terus). Panasonic GX1 dengan segala kecanggihannya, seolah membuat memotret semudah memainkan HP. Fokus dengan layar sentuh yang praktis, sangat membantu saya yang ketika itu memang sudah mulai punya masalah dengan mata.
Oh ya, karena D-Lux 4 lah saya akhirnya bisa melupakan Nikon D50, satu-satunya DSLR yang pernah saya beli dalam keadaan baru, dan ngutang lagi. D50 ini, seharusnya tidak saya jual, seharusnya saya simpan saja untuk kenangan. Mengingat kamera ini sudah begitu berjasa bagi saya. Selain untuk membantu kerja ke-wartawan saya, D50 ini, kata orang Jawa: ngrejekeni. Banyak kontes foto saya menangi dengan kamera ini. D50 juga sempat saya jadikan kamera untuk terima foto pernikahan. Meskipun dengan kemampuan saya yang terbatas, serta alat yang cuma lensa kit 18-55mm.
Bukan hanya tentang kecanggihan dan kepraktisan GX1. Foto yang dihasilkan juga – menurut saya – sangat ciamik. Apalagi saat dipasangkan dengan Panasonic 20mm. Penyesalan sebelumnya setelah “kehilangan” D-lux 4 bisa terhapuskan, bahkan mungkin terlupakan dengan performa GX1, terutama lensa 20mm-nya. Lensa ini mampu menghasilkan foto yang tajam, bokeh yang lembut dan tidak provokatif, serta terpenting adalah tone warna yang kuat, berkarakter, serta cenderung gelap. Ibarat film, hasilnya sealiran dengan film-film Christopher Nolan, terutama di trilogy Batman-nya yang beken itu.
Di antara banyak mirrorless yang pernah saya pakai/coba, saya memang cenderung menyukai hasil dari Panasonic atau Olympus. Keduanya seperti mengekor karakter Leica: bahwa foto tidak harus indah saja, melainkan berkarakter kuat. Bahkan untuk foto-foto obyek ala kadarnya yang ada di sekitar kita, kamera-kamera ini mampu memberikan hasil foto yang berkarakter. Bukankah Panasonic sendiri, kini telah bekerja-sama dengan Leica untuk menghasilkan kamera maupun lensa-lensa yang menawan.
Saya kurang setuju menyebut foto-foto hasil dari kamera Leica; indah. Saya pikir Canon-lah “rajanya” penghasil foto-foto indah dan mengesankan. Nikon? Jika ada satu kata yang bisa mewakilkan, mungkin kata “realis” yang cocok untuk hasil-hasil Nikon. Fujifilm? Mirip-mirip Canon; indah, menawan, dengan nuansa glam/our yang tipis namun gurih. Sementara Sony, nyaris semua hasil dari kamera ini kinclong, ngejreng, serta provokatif. Ibarat permen lolipop, semua bocah pasti suka Sony.
Di antara semua merek itu, tentu susah menyebut mana yang TERBAIK. Karena selera lah yang pada akhirnya berbicara. Anda yang doyan tempet penyet, pasti susah menerima menu salmon asap plus kaviar yang sekalipun harganya selangit, namun gagal membuat lidah Anda bergoyang. Pereview favorit saya, Steve Huff pernah mengatakan, “setiap kamera, setiap lensa, punya karakter khas”. Kemudian, tinggal tergantung bagaimana Anda bisa menemukan dan mengeksplorasi karakter tersebut. Saya suka melihat foto-foto menawan – yang tentunya sudah lewat meja seleksi editorial yang sangat ketat – di Majalah National Geographic, dan selanjutnya mencari tahu kamera apa yang dipakai oleh fotografernya. Kadang temuan saya mencengangkan: kamera-kamera yang mereka pakai tidaklah sekeren foto yang mereka hasilkan. Tapi demikianlah fotografer yang sudah menemukan karakter, dengan kamera apa saja, foto yang dihasilkan akan TERASA.
Sepekan lalu, saya dapat lagi Panasonic 20mm F1.7, dan kali ini mencobanya dengan Olympus OMD E-M5. Berkeliling di sekitaran City Hall, Singapura, Anda yang penggemar “fotografi jalanan”, harus menyimpan lensa ini di tas kameranya. Ringan, mungil, dan hasilnya, saya mengibaratkan seperti mentega lembut dan gurih di dalam roti panggang, yang kemepyur saat terkunyah. Hampir semua foto yang dihasilkan Panasonic 20mm tak perlu dikoreksi tone atau kepekatannya. Tajamnya bahkan sangat terasa di bukaan terbesar F1,7. Saya memang enggan mencoba hingga bukaan terkecil, karena karakter lensa-lensa seperti ini, lebih cocok untuk “fotografi jalanan”, yang bahkan fotografernya jarang mengubah diafragma lensanya di atas F3.5.
Dari banyak lensa untuk mirrorles, terutama yang format micro 4/3, menurut saya, lensa inilah lensa termurah yang paling mendekati karakter Leica. Saya sempat mencoba Pana Leica 25mm dan 45mm untuk mirrorless. Hasil 20mm tak jauh beda, tapi dengan harga yang hampir setengahnya, mungkin panasonic 20mm bisa menjadi pilihan terbaik pengguna kamera micro 4/3.
(SY)