: Dan sepenggal kisah “kesaktian” para kyai
Jika Anda, yang lahir dan besar di lingkungan komunitas Nahdlotul Ulama, mungkin Anda akrab dengan kisah-kisah “kesaktian” para kyai NU. Dari yang sekedar bisa berada di dua tempat berbeda dalam satu waktu, hingga kemampuan kanuragan lainnya yang belum jelas ihwal kebenarannya. Satu lagi “kesaktian” para kyai NU yang kerap kami dengar saat kecil; tentang betapa nakalnya (bahkan menjurus ke “keterlaluan”) anak-anak kyai ketika masih muda, namun di saat dewasa mereka tetap menjelma menjadi “orang besar”. Banyak orang meyakini, hal itu bisa terjadi karena “saktinya” para kyai tersebut.
Maka dari itu, ketika saya kecil antara tahun 80 hingga 90an awal, dan kerap didzolimi oleh anak-anak kyai itu, banyak orang menganggap, “itu hal biasa. Sudah, diterima saja. Nanti kalau besar mereka akan jadi orang baik sendiri”. Saya yang korban, bukannya dibela, dan ini sangat menjengkelkan.
Kampung saya, Singosari, Malang, memang gudangnya kyai-kyai NU. Masyarakatnya juga sebagian besar jamaah NU. Di Singasari pula, partai PPP (di jaman Orba) dan PKB akan dengan mudah memenangkan pemilihan umum. Saat taman kanak-kanak dan madrasah, ibu memilihkan menyekolahkan saya di sekolah di bawah naungan NU. Banyak anak kyai setempat kemudian menjadi kawan saya.
Di TK misalnya, saya ingat anak seorang kyai, “Mamak” kami menyebutnya, kerap ke sekolah dengan membawa aneka senjata mainan. Mamak ini, nakal sekali, juga bodoh dalam semua mata pelajaran. Saya tahu, karena selain menjadi kawan TK, kami juga satu kelas di madrasah yang sama. Saya yang kecil, kurus, dan terlihat lemah, kerap dibully Mamak. Ditembaki atau sekedar ditendang-tendang. Saya bukannya takut berkelahi dengan Mamak, dan kerap melawan meski dengan setengah hati. Tapi yang saya takutkan adalah “statusnya yang anak kyai”. Takut kualat.
“Maqom” anak kyai setara atau mirip dengan anak yatim yang ditinggal mati orangtua mereka (anak hasil perceraian kerap dianggap tidak yatim, meski kerap menghadapi kondisi yang hidup serupa). Anak kyai dan anak yatim biasanya “diizinkan” untuk nakal. Minimal dimaklumi kenakalan mereka.
Saya masih sangat ingat, ketika seorang kawan saya, almarhum Aris, mati-matian berkelahi melawan Mamak, karena membela saya. Aris sendiri, sama dengan saya, seorang pelajar miskin dan tak punya nasab yang bisa dibanggakan. Kebetulan juga, kami punya kesamaan nasib: sama-sama anak seorang janda. Kedua ibu kami juga berteman akrab. Aris adalah anak jenius yang bahkan tak perlu belajar sekalipun, dia bisa dengan mudah mendapat ranking di sekolah. Saya dulu sangat “iri” dengan kecerdasan alamiahnya. Juga bakatnya yang mahir apa saja, mulai main bola hingga adu kelereng. Sayang dia anak miskin dan kurang beruntung, dan tak punya fasilitas baik untuk belajar. Kelak, Aris menjadi salah satu kawan terbaik saya, dalam “kejahatan” maupun kebaikan.
Aris tewas ditembak polisi, dan Mamak sendiri meneruskan mengurusi pesantren bapaknya.
Saya punya pengalaman khusus tentang “kesaktian” kyai atas nasib anak mereka. Saya punya kenalan seorang anak “kyai tradisional” asal Nganjuk, Jawa Timur. Sepupu saya yang punya kekerabatan dengannya lewat jalinan pernikahan, memperkenalkan saya dengan anak kyai yang ketika itu bisa saya sebut sangat dzolim. Tidak hanya dzolim atas diri sendiri, tapi pada lingkungan sekitarnya dia juga merusak. Mabuk mungkin hal biasa bagi kami ketika muda.
Tapi senakal-nakalnya orang di lingkungan kami, mengkonsumsi daging anjing, madon (berzina) dengan pelacur, adalah hal-hal yang tidak bisa diterima oleh pemuda seusia saya ketika itu. Ia juga kerap mengajak santri-santri bapaknya untuk ikut-ikutan mabuk.
Tentang daging anjing itu, pernah satu kali kami mendem di satu warung dekat Lokalisasi Guyangan, Nganjuk. Saat asyik minum, tiba-tiba seorang menyodori tambur berupa daging goreng yang dibungkus plastik. Kilatan minyaknya, terlihat enak dan pas sekali untuk disantap di acara itu. Tapi saya curiga ketika melihat tulangnya yang berbeda, pendek-pendek dan agak mrongkol. Saat saya tanya, si kawan anak kyai bilang sambil bercanda, “itu daging rusa”. Tapi untungnya, seorang membisiki saya, bahwa itu daging anjing. Kepala saya yang kliyeng-kliyeng oleh miras murahan, tiba-tiba waras lagi saking jijiknya dengar daging anjing. Bukan soal halal tidak halal, tapi menyantap dagig anjing, bagi saya, jauh dari kata beradab, sama seperti memakan kucing dan hewan-hewan sejenisnya. Setidaknya demikian budaya Jawa Timuran yang diajarkan kepada kami.
Tapi belakangan, saya mendengar kawan saya, anak kyai itu, menjadi baik. Menjadi penerus bapaknya, mengurusi pesantren, dan tidak lagi mau bersentuhan dengan yang dzolim-dzolim. Namun demikian, mungkin dari pengalamannya bergaul dengan banyak pendosa, dia menjadi seorang egaliter. Tidak suka mengkafir-kafirkan orang. Sama seperti kebanyakan kyai NU yang lebih memilih ngemong atau menjadi teman umatnya, alih-alih memposisikan diri sebagai “ulama”.
Semula saya percaya, fenomena “anak kyai nakal menjadi baik” itu karena kesaktian bapaknya. Tapi kok, lama-lama saya renungkan, jadi ndak masuk. Lalu saya teringat pelajaran dari almarhum guru Qur’an Hadist saya di madrasah, Pak Manan. Guru saya satu ini adalah sedikit dari guru sepuh yang juga berstatus kyai yang pernah mengajar ibu saya di sekolah yang sama. Saya beruntung menjadi murid beliau.
Kyai Manan (begitu kami memanggilnya di luar sekolah) juga terkenal “sakti”. Beliau juga kepala sekolah dan seorang guru yang sangat sederhana. Seumur hidupnya, belia ke sekolah hanya dengan sepeda onthel tua. Meski anak buahnya ketika itu sudah banyak yang sekolah dengan membawa motor, bahkan mobil.
Pak Manan, seperti kebanyakan guru sepuh lainnya, saat mengajar gemar menyampaikan pelajaran secara spontan lewat kisah-kisah tauladan. Suatu kali beliau berkisah tentang hidup sederhana para kyai besar di lingkungan NU. Salah satunya tentang bagaimana para kyai itu begitu ketat menafkahi keluarganya dengan hanya memilihkan nafkah yang benar-benar halal. Hal-hal yang berbau “abu-abu” kerap dihindari. Bahkan banyak dari kyai itu, melarang keluarga mereka menjadi PNS, karena menganggap salah satu sumber dari gaji PNS adalah dari kaum miskin yang tak seharusnya dibayarkan pada mereka. Saking ketatnya menyaring yang halal dan yang tidak, kyai-kyai yang dianggap “sakti” itu biasanya hidup sangat sederhana. Halal saja bahkan dianggap tidak cukup; nafkah harus didapat secara bermartabat. Tidak minta atau mendapat dari belas kasihan, apalagi menyebar proposal minta bantuan.
Saya jadi menemukan korelasi atau hubungan antara “kesaktian” para kyai dan kenapa anak-anak mereka yang nakal kerap menjadi hebat ketika dewasa. Berpegang pada pencarian nafkah yang benar-benar halal, seseorang tidak hanya dituntut jujur dan bekerja keras dalam mencari nafkah. Mereka juga terbiasa memberikan kepada orang lain hak-hak mereka. Kehidupan yang kemudian menuntun mereka begitu dekat dengan Tuhan.
Pertannyaan utamanya, apa yang tidak bisa dilakukan oleh orang-orang terdekat Tuhan? Bahkan ketika mereka memanjatkan doa agar anak keturunan mereka menjadi orang baik, saya yakin Tuhan akan mengabulkan doa kyai-kyai sederhana ini. Doa yang kemudian menjadi “penjaga” anak keturunan mereka untuk terus menjadi baik. Menjadi mulia. Sekaligus menjadi terhormat di mata manusia dan Tuhannya.
Saya percaya, kawan saya yang asal Nganjuk itu kini menjadi baik, bukan karena “kesaktian” bapaknya yang kyai. Tapi karena doa dari seorang yang dekat dengan Tuhan. Doa dari seorang yang bisa menjaga darah diri dan kelurganya, agar terus dialiri nafkah halal.
Nafkah menjadi darah, dan darah yang baik yang kemudian membentuk manusia yang baik. Itu mungkin kenapa, banyak kepala daerah, juga politikus jaman sekarang ini, yang anak-anak mereka hidup tidak baik. Mungkin karena “sumber darah” mereka berasal dari nafkah yang buruk.
Oh ya, jika Anda tak keberatan, mohon kirimkan Al-fatihah untuk almarhum kawan saya, Aris Munandar, dan juga Pak Manan. Terutama kawan-kawan yang mengenal keduanya.
Terimakasih!
Tulian ini juga bisa dibaca di FB: sultanyohe@yahoo.com