TIBA-TIBA saja, saya memikirkan pensiun. Semuda ini? Hehe. Ini aneh, bahkan bagi saya sendiri yang selama ini memegang prinsip “lha wong cacing saja dijamin rejekinya oleh Gusti Allah, masak saya yang nanti jadi kakek-kakek lansia, tidak…” Dengan prinsip itu pula, sejauh ini, saya tidak pernah takut tak punya uang, tidak pernah takut tak bisa makan, apalagi cuma sekedar takut miskin.
Saya berkeyakinan, sepanjang saya menjalin hubungan baik pada Gusti Allah, baik-baik pula lah hidup saya. Tokh selama ini saya telah membuktikan hubungan itu. Gusti Allah memang tidak membuat saya kaya secara harta. Bahkan untuk standar dan hasrat masyarakat Singapura, saya – secara opini pribadi – mungkin bisa dikatakan sebagai “kaum dhuafa”-nya Singapura. Tapi siapa peduli! Saya tidak pernah merepotkan atau minta siapa-siapa. Apa saja yang saya inginkan, entah itu mudah atau sulit, semuanya bisa terwujudkan.
Tapi, soal pensiun, tiba-tiba saja itu muncul mengganggu pikiran saya. Akhir-akhir ini. Mungkin itu karena apa yang saya lihat tiap hari. Melihat sebagian lansia Singapura, yang di usia senja mereka masih bekerja keras, membanting tulang mereka sekeras-kerasnya. Agar bisa meneruskan hidup mereka di Singapura yang mahal ini.
Secara psikologis, pemandangan itu cukup menggangu. Mempengaruhi saya. Saya membayangkan, kelak, jika saya seperti para lansia itu, saya harus mencuri-curi waktu kerja hanya untuk sekedar salat. Saya membayangkan, kelak, jika saya seperti mereka, tiap hari saya selalu was-was, tak punya uang, harus menunggui kiriman bulanan anak-anak!
Tidak! Saya tidak boleh dalam kondisi demikian! Saya harus punya uang pensiunan sendiri. Agar kelak ketika lansia, saya bisa mandiri. Bebas merdeka beribadah. Tidak ditanggung anak-anak. Tapi bagaimana? Lha wong saya bukan PNS? Warisan tidak punya. Kerja cuma serabutan; kadang jadi pencuci piring, kadang disuruh bantu motret orang.
Hmmm, tiba-tiba teringat, saya punya simpanan wajib yang tak bisa diambil. Simpanan ketika saya bekerja sebagai karyawan dulu. Simpanan yang nyaris terlupakan. Nama simpanannya Central Provident Fund (CPF). Sebagai pemegang status permanent residence Singapura, saat berstatus karyawan; setiap gaji bulanan yang saya terima, pemerintah memotong 20 persen untuk disimpan di akun CPF saya. Perusahaan kemudian menambahi 18 persen lagi. Jadi, dalam sebulan, saya menyimpan 38 persen gaji bulanan saya.
Saat saya buka CPF, isinya tak banyak. Hehe. Mungkin karena saya hanya bertahan kerja selama satu tahun lebih dikit. Tapi jauh lebih besar lah dari duit tunjangan hari tua BPJS yang saya terima selama hampir 10 tahun kerja di Batam. Uang di CPF itu tidak bisa diambil, kecuali saat saya di usia pensiun nanti, atau untuk membeli rumah.
Rumah di Singapura sudah ada. Milik sendiri. Urusan sekolah anak-anak pun sudah tersedia. Meskipun, di Singapura, ada budaya anak-anak kuliah tidak mengandalkan uang orangtua. Lepas politeknik (setingkat SMA/STM), umumnya generasi muda Singapura akan kerja sambil kuliah. Pelan-pelan hingga gelar tertinggi yang mereka inginkan. Giliran uang pensiun yang harus saya pikirkan. Bagaimana ini?
Saya berdiskusi dengan istri. Ia kemudian menyarankan untuk mengisi CPF saya secara mandiri. Tokh mudah, cukup mentop-up lewat HP. Tiap hari, bisa 10 atau 20 dolar! Semampu saya. Okelah, pikir saya. Saya ikuti sarannya. Setidaknya tiap hari menabung sebesar biaya makan yang saya keluarkan dalam sehari jika seandainya saya makan di luar. Tak terasa, dua bulan terakhir hal itu berjalan dengan rutin.
Berat? Ternyata tidak! Tokh semampu saya saja. Apalagi ketika teringat niat untuk bisa “tumukninah” beribadah saat tua kelak, itu malah justru membuat semuanya berjalan ringan. Menyenangkan. Saya berhitung, jika saya bisa rutin tiap hari menabung hingga 20 tahun lagi, 40 tahun ke depan keuangan saya akan baik-baik saja. Berarti, hingga usia 85 tahun, keuangan saya aman-aman saja. Saya bisa terus menjalani hobi motret sambil main bola. Itu jika kaki-kaki ini masih kuat.
Hehehe.
Seperti itulah, negara dan sebagian besar orang Singapura merencanakan pensiun mereka. Tidak peduli PNS atau bukan. Menyisihkan sedikit demi sedikit penghasilan mereka, untuk ditabung di CPF. Seperti itulah sebagian besar orang Singapura merencanakan hari tua yang damai mereka. Bukan korupsi sebesar-besarnya saat masih menjabat, agar bisa disimpan untuk hari tua. Yang begitu itu, namanya cari sengsara.
Uang curian, disimpan di manapun, pasti akan ketahuan juga.
(*)
Gambar : © moneyweb