: Kenapa Engkau Bersama Si Miskin Saja?
Sejak merantau 15 tahun silam, jika ndak salah ingat, baru empat kali saya Berlebaran di kampung. Biaya mudik yang melangit, adalah alasan utama saya tidak bisa selalu Berlebaran di kampung. Tapi, setelah perlahan ekonomi membaik, kini justru waktu yang tidak mau bersahabat. Tahun ini, Alhamdulillah… saya bisa Berlebaran di rumah. Meski cuma punya waktu satu hari di Lebaran “dhweeerrrrnya“, karena Lebaran kedua harus segera angkat kaki lagi. Kembali ke kesibukan di Singapura.
Karena cuma punya waktu satu hari di Lebaran “dhweeerrrrnya” itu, saya benar-benar harus memanfaatkannya. Saya keliling ke tetangga-tetangga terdekat, orang-orang paling tua di kampung, serta saudara-saudara paling intim. Sebetulnya, sebagian lagi, saudara atau rekan yang rumahnya agak jauh, sudah saya kunjungi beberapa hari sebelum Lebaran. Ini untuk mengantisipasi jika tak ada waktu saat “dhweeerrrrnya“.
Banyak yang dikunjungi, banyak pula saya mendapat cerita. Ada dua “garis besar” yang saya tangkap atas cerita-cerita dari kawan dan kerabat yang saya kunjungi itu. Pertama, ada begitu banyak RASA SYUKUR, ramah tamah tanpa basa-basi, kegembiraan, KEIKHLASAN, ketika saya mengunjungi saudara atau rekan yang saya anggap ekonomi mereka lemah/miskin. Ada doa-doa yang dipanjatkan janda-janda tua pada saya. Ada begitu banyak kejutan menyenangkan dari orang-orang “lemah” ini.
Saya menikmati benar, misalnya ketika saya berkunjung ke kawan lama yang dulu pemabok dan kini mengaku tidak lagi suka minum. Bagaimana dia dengan bahasa penuh syukur mengisahkan pengalaman istrinya melahirkan dengan cara cesar. Sebuah kisah yang, jika terjadi pada orang-orang kaya atau terpelajar, mungkin “sejuta umpatan” akan keluar karena dianggap dokter/bidannya yang salah. Tapi, kawan saya justru memilih berkali-kali mengucap “alhamdulillah…” karena ketidaktahuan dan keluguannya.
Satu lagi, ketika saya mengunjungi kawan kecil, yang dulu hobinya suka nyolong ayam, sampai pernah diarak keliling kampung ketika ditangkap. Dengan gembira, dia menceritakan tentang anak semata wayangnya, tentang kegiatan-kegiatannya yang kini dipenuhi dengan kegiatan ruhaniyah. Lagi-lagi, nada bahasanya dipenuhi dengan ungkapan RASA SYUKUR, serta bagaimana ikhlasnya mereka menghadapi hidup yang berat ini. Tak pernah sekalipun “kawan-kawan miskin” saya ini bertanya pada saya, “rumahnya harga berapa? Mobilnya apa? Berapa penghasilannya?” Dan pertanyaan materialistik sejenisnya.
***Kedua;
Hal yang berbeda ketika saya berkunjung ke saudara atau bertemu kawan yang saya anggap cukup berada secara ekonomi. Cerita-cerita atau obrolan selalu didominasi oleh urusan-urusan materialistik semata. Tentang “perkelahian” dengan sesama saudara karena pereebutan harga waris. Atau cerita tentang rumahnya yang megah. Tentang anak-anak mereka yang sudah lulus kuliah dan mendapat kerja mentereng. Tentang mobil-mobil yang mereka punya, tak ketinggalan mereka ungkapkan. Mereka juga tak malu-malu mereka bertanya tentang penghasilan saya, bahkan hingga mengorek-ngorek penghasilan istri? Hal yang selalu membuat saya tidak nyaman untuk menjawabnya. “Rasa syukur” yang kadang mereka ungkapkan, saya rasakan sebagai suatu kamuflase untuk menutupi kesombongan yang mereka peragakan.
Lama saya berpikir atas dua fenomena yang saya temui di Lebaran kemarin. Sampai-sampai saya “berburuk sangka” pada Gusti Allah, “kenapa Engkau cuma bersama orang-orang miskin dan bodoh, ya Gusti? Kenapa Engkau tidak muncul di rumah-rumah orang-orang kaya yang saya kunjungi? Kenapa sepenuh-penuhnya rasa syukur, keikhlasan, kegembiraaan, datang dari orang-orang miskin?”
Lalu saya ingat dengan wasiat Rasulullah SAW, untuk sekalu dekat dengan orang-orang miskin. Mungkin karena di rumah orang-orang miskin itu, Gusti Allah tak malu-malu menunjukkan kebesarannya. Seperti wasiat untuk sering mengunjungi kuburan, agar kita senantiasa ingat pada kematian.