Perempuan itu tergolek kaku beku. Pada meja triplek melamin putih sepanjang tiga kali satu meter persegi. Namun tidak mati. Degup jantung dan tarikan nafasnya masih terdengar dari tempat duduk saya, sekitar tiga meter dari tempatnya berada.
Botol besar bir, gelas yang menyisakan sedikit busa, dan serakan kwaci yang sulit dipisahkan lagi, mana yang berisi mana tinggal kulitnya saja, terhampar di sisi kiri tubuh perempuan itu. Seorang lelaki muda, bukan pacar atau kenalan, bukan teman maupun kawan, duduk tepekur, sebangku dengannya. Merokok dan menatap kosong layar televisi yang saya yakin, sama sekali tidak ia nikmati. Dia, lelaki itu, tampaknya tak perduli apa-apa.
Ramadan, malam ke 21.
Tubuh perempuan itu tergolek kaku beku. Namun tidak mati. Sesekali geliatnya hadir. Sisa-sisa eksistensi. Namun, sepertinya ia tak bisa apa-apa selain tergolek kaku membeku. Di antara dentuman house music dari sound system murahan sebuah arena hiburan jalanan. Di sudut Nagoya yang diguyur hujan semalaman.
Perempuan itu, tubuh muda yang sia-sia. Yang kemolekannya hanya untuk dimakan malam. Ramadan, sebuah yang suci, tak mampu berbuat apa-apa untuk menghentikan penderitaannya.
Sebelum tergolek kaku membeku, perempuan itu sempat berbagi cerita pada saya. Yang selanjutnya saya bagikan kepada Anda semua. Tentu saja disertai dengan gerakan, gemulaian, dan tarian menggelinjang. Ia merayu saya. Sebentuk servis ekstra yang maaf, saya tidak bisa melakukannya untuk Anda.
”Di kampung, Ramadan setua ini, biasanya aku sudah khatam tiga-empat kali Al Qalam,” Dia menyeringai. Menyodorkan gelas berisi bir ke mulutnya. Dan, ditenggaknya sekaligus bersama busa-busa sekalian. ”Dulu, Ramadan yang ganjil seperti sekarang ini, yang ada di kepala kami hanyalah malam Lailatul Qadar. Tidak yang lain.”
Dia menghentikan sejenak ceritanya. Disambarnya rokok putih saya, diambilnya sebatang, dan sebelum sempat ia meminta menyulutkan api, saya sudah melakukannya.
“Bagaimana dengan puasamu?” Dia bertanya.
“Saya akan melakukannya jika sudah enggan berprasangka lagi!” Dia terlihat biasa dengan jawaban saya.
“Masih menulis cerita-ceritamu?” Saya tak bisa menebak, kenapa dia berbelok tema, membicarakan adalahcerita.
“Saya akan menghentikannya jika saya sudah bisa berpuasa.”
Jawaban terakhir saya, ternyata membuat dia terguncang oleh tawa. Kencang dan menggetarkan. Mengalahkan ingar-bingar dentuman house music dari sound system murahan sebuah arena hiburan jalanan. Gigi-giginya yang putih dan tertata rapi, mengundang birahi. Saya jatuh cinta pada bau nafasnya.
Perempuan itu, kemudian, bangkit dari samping duduk saya. Menyambar microphon dari tangan seorang lelaki pengunjung lain, dan sedetik kemudian sudah berdansa cha-cha-cha di tengah arena. Sambil mendendangkan lagu paling sedih sedunia.
Ramadan malam ke-21 semakin larut. Silih berganti pengunjung datang dan keluar. Silih berganti pula tubuh perempuan itu terpaksa larut dalam dendangan. Menghentak, menanjak, lembut penuh belaian, atau terkadang tiba-tiba penuh ingar-bingar umpatan. Nafasnya tersengal-sengal ketika duduk kembali di sebelah saya.
”Ramadan setua ini, dulu, rumah kami sudah berseri dengan cat baru. Meski hanya berupa lamuran kapur pasi. Bapak kebagian tugas meracik dan mengapur dinding luar dan teras. Adik lelakiku bagian rumah dalam, sedangkan aku, hanya diperkenankan mengecat kamar tidurku.”
”Padahal aku ingin sekali bersimbah peluh memainkan kuas-kuas jerami di antara lubang-lubang ventilasi ruang tamu. Kata emak, pasti kerjaku akan berantakan. Karena memang bukan bagian seorang perempuan,” selesai berkata demikian, dia tertawa cerah. Sekilas saya perhatikan, ada kebanggan pada wajah putih kemrusuh miliknya. ”Kini, lelaki-lelaki nakal lah yang melumuriku dengan keringat baunya.” Dia masih mempertahankan tawanya.
”Lebaran tidak balik?” Saya bertanya.
”Utang saya masih tersisa dua tahun dari sekarang.”
”Berarti, dua kali Ramadan lagi tidak bisa dirayakan bersama bapak, emak, dan adik lelakimu?”
”Juga tidak bisa melumuri kamar pribadiku dengan cat kapur racikan bapak.” Sesaat wajahnya pasi. Disambarnya gelas berisi bir di depannya. Dan ditenggaknya hingga tak tandas.
Di jalanan, hujan enggan berhenti. Malam yang sunyi hanya menyisakan mobil-mobil yang dipacu dengan kecepatan tinggi. Sesekali tampak seliweran pengendara motor yang melindungi tubuh mereka dengan mantel tahan hujan. Juga memacu diri dengan cepat. Seakan enggan ketinggalan dengan Ramadan malam ke 21.
Dentuman house music dari sound system murahan sebuah arena hiburan jalanan masih saja terus bergejolak. Tidak peduli dengan malam yang basah atau sisa-sisa Ramadan.
Ketika saya kembali kepada perempuan itu, ternyata ia sudah tergolek kaku beku. Pada meja triplek melamin putih sepanjang tiga kali satu meter persegi. Namun tidak mati. Karena degup jantung dan tarikan nafasnya masih terdengar dari tempat duduk saya, sekitar tiga meter dari tempatnya berada.
Tiba-tiba saya teringat, ketika menerima telepon dari Ibu pada Ramadan pertama lalu. Ibu bertanya: Jauhkah tempat mengajimu, Ton? Tiba-tiba saya ingin lagi mengaji dengannya.*
Oh ya, Ton-ton adalah panggilan kesayangan ibu untuk saya.
*) Penggalan sajak HAH, “Abah, Mama, Elus Kepalaku Seperti Dulu”. Selengkapnya nikmati di www.sejutapuisi.blogspot.com
Batam, Ramadan malam ke 21