“Oalah, dunia…dunia…” Lho? Tiba-tiba saja rekan saya mengeluarkan lolongan tertahan yang mirip gerundelan itu. Di tengah menikmati hangatnya soto Medan, tentu saja saya terperanjat. Seksama, saya perhatikan dia, dia malah cengengesan sambil menunjuk segerumbul rombongan yang baru saja masuk ke warung ini.
”Adakah yang menarik dari gerombolan itu?” Saya bertanya dalam hati. Sebelum akhirnya mendapati lelaki kecil, kurus, kampungan, dengan kemeja batik warna emas kedodoran dan pantolan hitam yang juga tampak satu ukuran lebih besar dari tubuhnya muncul.
Lelaki itu, tampak begitu menggelikan.
Terlebih ketika di keliling lelaki yang saya yakin, tidak pernah sekalipun menyentuh majalah mode, gerumbulan laki-laki berbaju kekar dengan otot-ototnya yang sepertinya dibiarkan bertonjolan. Seakan sejumput lalat pun tak mereka relakan untuk bersentuhan dengan lelaki paling norak sedunia itu.
Alamak…, nah, ini mungkin yang membuat rekan saya mengeluarkan lolongan tertahannya. Di gengaman tangan kanan lelaki berkemeja emas itu, ada seonggok HP sebesar kepala anjing.
Bener lho! Itu HP, bukan laptop atau mini tivi yang bisa ditenteng-tenteng ke mana-mana. Tak percaya? Nah…tut…tut..tuttttt…, HP di gengaman lelaki itu berbunyi. Dan….
”Hallo? Ya, Waduh…, jangan gitulah bos! Semua kan bisa kita bicarakan… Oke, kapan kita bisa ketemu? Sekarang saya masih sibuk nih, kelaparan nih! Nyidam Soto Medan!” Dan, setelah percakapan usai, HP sebesar kepala anjing itu dimatikan. Untuk kemudian kembali tertenteng dalam genggaman jemari-jemari hitam yang juga…walah…masing-masing sebesar pisang raja.
”Saya naksir HP-nya, orangnya, buang saja ke tong sampah,” ini suara rekan saya. Sedikit sarkastik memang nadanya. Tapi, saya tak sepenuhnya menyalahkan rekan saya. Saya yakin, setiap orang bakal bergerundel macam rekan saya. Bahkan mungkin menceletuk hal yang saya.
”Jam tangannya juga bagus. Asli Rolex nampaknya,” saya mencoba mengekelakari rekan saya.
Lelaki dengan HP sebesar kepala anjing itu kemudian mengambil duduk tepat bersebelah-menyebelah dengan meja saya. Sebelum ia menghujamkan pantatnya pada kursi plastik biru, buru-buru seorang anak buahnya–mungkin– menyeret kursi itu. Mengelapnya dengan saputangan yang–lagi-lagi dengan buru-buru– diambil dari saku celananya. Sebelum kemudian mempersilahkan lelaki itu untuk mendudukinya.
Wow….
”Bos besar!” rekan saya tampaknya tanggap.
”Atau bos baru besar, mungkin? Atau calon bos? Atau bisa jadi mantan bos?” ralat saya.
”Mantan bos? Tak akan! Jika iya, nasibnya pasti sudah berada di tong sampah!” Ah, tampaknya kawan saya ini suka benar dengan kata tong sampah.
Dan, setelah kesemua gerombolan itu duduk manis mengitari meja, lelaki dengan HP sebesar kepala anjing itu pun dengan lantangnya memanggil penjual. ”Campur ya! Minumnya teh botol dingin! Kalian, terserah pesen apa saja!” Kalimat yang terakhir itu, ditujukan pada anggota gerombolannya.
Kemudian, berebutlah gerombolan anak buah lelaki dengan HP sebesar kepala anjing itu, saling meneriakkan pesanan mereka. Gaduh dan memaksakan. Namun, penjual itu, dengan senyumnya yang selalu tertambat di kedua bibirnya, mencoba melayani dengan gegap gempita.
Kemudian, dengan segenap sukacita, setelah seluruh pesanannya terhidang, berlombalah, mereka, saling menyuapkan hidangan ke dalam mulutnya masing-masing. Lelaki itu, saya lihat, adalah yang paling lahap. Kunyahannya menghasilkan kecipak suara. Cpak…cpak…cpak…..
Dan, ketika mereka tengah lahap melibas hidangan mereka, tiba-tiba HP sebesar kepala anjing itu menggonggong. Tut…tut…tut…
Spontan disambarnya HP yang semula diletakkan di samping piring si lelaki itu. Dibukanya dan segera disambutnya suara dari seberang sana. Masih dengan mulut penuh makanan.
”Hallo…, ya? Sebentar lagi deh! Tanggung nih…lagi makan. Apa? Anjing benar si anu! Tidak bisa! Pokoknya proyek itu harus aku yang memenangkan! Kalau tidak biar aku kirim anjing-anjingku untuk menggititnya,” Dan, ditutupnya HP sebesar kepala anjing itu dengan kasar. Sebelum akhirnya dilemparkannya ke lantai.
Olala…aneh bin ajaib. HP itu bukannya hancur berkeping-keping ketika bersentuhan dengan lantai keramik putih itu. Justru berubah wujud menjadi sebenar-benarnya anjing dengan kepala HP. Kemudian, anjing itu, berlari, seperti sudah terkomando, melesat lari pergi. ”Ayo Kikik, buat jera si anu yang coba mengganggu proyekku!” teriak lelaki paling norak sedunia itu. Kepada anjing berkepala HP itu.
Saya dan rekan saya hanya terbengong melihat kejadian luar biasa itu. ”Olala..dunia…dunia,” serentak kami melolong demikian.
Batam, Minggu ketiga November