Suatu kali, di pagi menjelang siang, saya bermimpi. Ya! Berbeda dengan kebanyakan orang, saya selalu ditemani mimpi di waktu yang itu. Kerja malam dan baru bisa rebahan di awal hari, penyebab mimpi-mimpi saya selalu datang saat sebagian besar orang justru berebut menggantikan mimpi menjadi sesuatu yang nyata.
Namun saya menikmatinya.
”Please, jangan panggil saya teroris! Please, jika memang perbuatan kami sanggup merengguh mimpi-mimpi bahagia banyak orang tak berdosa, tapi jangan sebut saya teroris! Terlebih keluarga-keluarga kami!”
Lho?
Kutipan di atas, sebuah pernyataan, atau mungkin
permintaan, bahkan bisa dibilang permohonan, seonggok kepala yang tiba-tiba menyeruak di antara mimpi saya. Memang, sehari sebelumnya, saya download gambar kepala itu dari site perusahaan induk kami. Mungkin kepala itu protes, ketika beritanya saya naikkan dengan segaris besar judul ”Riwayat Seorang Teroris”
”Bukankah memang demikian adanya? Apa yang Anda lakukan menciptakan teror-teror mengerikan? Memberangus nyawa-nyawa tak berdosa? Bahkan yang lebih parah, menjadikan negeri yang miskin ini semakin miskin saja karena ketiadaakepercayaan kapital mengusung modalnya ke sini? Itu kalau saya tidak salah!” Saya mencoba memberi argumen. Tentu saja kepada seonggok kepala itu.
”Saya adalah korban! Bukan terpidana! Apalagi teroris!” jawabnya tegas.
”Tidak bisa! Bukankah polisi sudah membuktikan, bahwa Anda sebenar-benarnya teroris? Bahkan kalau tidak salah, polisi Australia dan CIA, sampai datang segala untuk ikut campur membuktikan kebenaran itu?”
”Kebenaran yang bagaimana?” Potongnya cepat.
”Bahwa sampeyan teroris?”
”Bohong!”
”Lho?”
”Saya adalah korban! Yang teroris adalah kalian! Benar saya lah yang membunuh diri sendiri dengan meledakkan bom-bom itu. Tapi saya adalah korban! Anda sebut apa orang-orang yang terang-terangan menyunat uang kesejahteraan rakyat? Menyunat anggaran pendidikan yang seharusnya bisa lebih murah, bahkan gratis sekalipun? Bos-bos perusahaan yang menyunat uang karyawannya hanya untuk dihabiskan di meja judi Genting Malaysia? Hong Kong? Atau Las Vegas? Teroriskah mereka? Yang terhormat penguasa-penguasa negeri ini yang bisanya cuma ngurus pungli? Bukankah mereka sebenar-benarnya teroris? Saya hanyalah seonggok korban!”
”Lho, bung! Saya kira pembicaraan kita sudah kelewat melenceng?” Cegah saya, tentu saja masih kepada seonggok kepala itu. Yang menyeruak di antara mimpi saya di pagi menjelang siang.
”Saya tanya balik! Anda sebut apa orang-orang yang benar-benar telah merusak negeri ini dengan keserakahannya?” Kata seonggok kepala itu lagi.
”….Nggak tau!” Jawab saya sekenanya.
”Teroriskah mereka Anda namai?”
”Babi ngepet, mungkin, atau lebih tepatnya setan gundul!” Saya coba mencairkan suasana.
”Tapi tidak teroris, kan?” Kepala itu kelihatannya tetap saja pasang muka serius.
”Memang!”
”Nah! Kalau begitu, Sekali lagi jangan panggil saya teroris! Terlebih keluarga-keluarga saya yang tak tahu apa-apa.”
”Tapi polisi sudah membuktikan, Anda seorang teroris!”
”Apa peduli saya dengan sebutan yang disematkan polisi?”
”Saya kan cuma meneruskan sebutan itu!”
”Kalau begitu, hentikan!”
”Lho? Memangnya Anda apa saya? Bos saya? Bapak saya? Kok pakai main perintah segala?”
”Saya teroris! Tahukan Anda! Saya teroris!”
Dan, sebelum saya meneruskan percakapan saya dengan seonggok kepala itu, kawan satu kos saya datang. Bunyi pintu kos yang ia buka, cukup berhasil menyadarkan saya dari mimpi di pagi menjelang siang itu. Ah, insomnia saya pasti kumat lagi. Sedangkan stok obat tidur sudah habis dua hari yang lalu.
Batam, November Minggu keempat.