: Ide tulisan ini muncul, setiap kali datang ke supermarket di Singapura, sayur-mayur/buah sebagian besar dari Australia/Thailand. Sedih sekali rasanya, jika mengingat sewaktu kecil, saya gemar memungut cipluk’an dari pematang sawah.
Satu pertanyaan pembuka, negara mana di dunia yang punya sumber daya melimpah dan kaya raya? Negara-negara di Afrika? Porak-poranda. Bahkan hingga kini, kita bisa sangat mudah menyaksikan di tivi, anak-anak di Afrika yang masih dibekap kelaparan. Padahal sumber daya alam mereka melimpah ruah.
Timur Tengah? Hanya negara yang mengekor Barat saja yang “selamat”. Sisanya, coba perhatikan, sama porak-porandanya. Perang tak kunjung habis, pembunuhan tak pernah berhenti, kerusuhan tak selesai-selesai. Iraq, Iran, Suriah, Libya?
Dan Indonesia, sebetulnya telah memulai langkah menuju kehancuran, saat Professor Insinyur DR. H. Bacharuddin Jusuf Habibie bermimpi, bangsa Indonesia bisa membuat pesawat terbang. Tulisan pribadi saya ini bukan bermaksud mengulas Habibie secara pribadi! Tapi mengingatkan pada kita semua, kehancuran Indonesia sudah di depan mata. Jika kita gagal memilih presiden yang tepat, 9 Juli 2014 mendatang.
Saya kutipkan sedikit latarbelakang Habibie yang pernah dianggap manusia paling pintar se-Indonesia ini. Di Wikipedia, dia disebut sebagai anak dari Alwi Abdul Jalil Habibie dan R.A. Tuti Marini Puspowardojo, pasangan berada. Untuk bisa sekolah di Institut Tekhnologi Bandung di tahun 50-an, selain dibutuhkan otak encer, juga kemampuan finansial yang mumpuni. Sebagai gambaran, ibu saya yang bersekolah di akhir tahun 60an, hanya sanggup menyelesaikan madrasahnya karena tak ada biaya. Sesudah itu, dia harus bekerja apa saja, untuk membantu nenek saya yang janda.
Kebisaan kuliah di ITB saja, kita bisa membayangkan bahwa Habibie, sejak remaja sudah hidup berkecukupan. Dilanjutkan kemudian dengan sekolah di Jerman untuk mengambil jurusan spesialis konstruksi pesawat terbang. Masa-masa mudanya dihabiskan banyak di depan buku, di kelas belajar, hingga kemudian nasib baiknya membawanya ke negara industri terkemuka dunia: Jerman Barat. Alhasil, saya yakin, sejak remaja, Habibie tak pernah akrab dengan dunia pertanian, dunia sawah, dunia kebun, dunia yang ketika itu justru menjadi ladang penghidupan 90 persen masyarakat Indonesia ketika itu. Ia sukses berkarier di Jerman hingga tahun 1973, negeri yang beken dengan industri beratnya itu.
Anda yang hidup di kota, susah untuk bisa MENTERJEMAHKAN desa!
Anda yang selalu berkecukupan, susah untuk MERASAKAN kemiskinan!
Anda yang tak pernah bermain dengan lumpur, SUSAH bisa menikmati hitamnya lumpur!
Jika Anda kini seusia saya, antara 30 hingga 40an tahun, Anda pasti tahu seberapa hebat doktrin Orde Baru menyelinap di kepala. Dari SD hingga SMA, pelajaran-pelajaran di sekolah tak pernah luput dari campur-tangan pemerintah.
Nama Habibie salah satunya, menjadi “pelajaran” wajib yang harus didapatkan pelajar. Saya, ketika itu, membayangkan Habibie sebagai orang terhebat di Indonesia. Orang paling jenius, paling bisa melakukan apa-apa. Habibie yang dipercaya sebagai Menteri Negara Riset dan Tekhnologi dari tahun 1978 hingga 1998, di benak saya yang periode itu dihabiskan di sekolah, adalah kebanggaan Indonesia. Dan saya yakin, bahkan sampai sekarangpun banyak orang Indonesia masih menganggap Habibie demikian. Faktor Habibie pula, Indonesia pada tahun 1976 mendirikan PT. Dirgantara Indonesia (DI). Perusahaan industri pesawat terbang yang pertama dan satu-satunya di Asia Tenggara.Hingga kini!
Dalam perjalanannya, kita semua tahu, PT. DI justru tidak bisa dibanggakan, dan hanya bisa menyedot anggaran pemerintah tanpa memberi banyak kontribusi bagi negara. Habibie yang sepanjang usianya, menggeluti dunia intelektual, serta pekerjaan mapan, adalah FAKTOR utama PT DI didirikan. Soeharto bermimpi, Indonesia bisa menyaingi Amerika Serikat dengan Boeingnya, atau Prancis dengan Airbusnya. Mimpi yang sangat mahal dan sangat BODOH.
Sementara Kementrian Riset dan Tekhnologi sepanjang 20 tahun terus berkutat, bagaimana menciptakan pesawat terbang; pertanian Indonesia dianaktirikan. Riset-riset tentang pertanian tidak mendapat porsi paling besar, meskipun 90 persen penduduk Indonesia adalah petani. Nama Habibie, terus saja “diolah” sedemikian rupa, untuk bisa menghasilkan pesawat, satu PENANDA yang dipercaya pemerintah ketika itu, agar Indonesia bisa disejajarkan dengan negara maju lainnya. Saya percaya, Habibie adalah ALAT semata. Namun seorang JENIUS, seharusnya tahu apa yang paling dibutuhkan masyarakat Indonesia, dan ogah diperalat.
Sementara itu, Thailand memilih pertanian.
Malaysia asyik mengembangkan perkebunan mereka.
Singapura memilih ngurusi bisnis jasa.
Australia, yang negerinya lebih banyak gurun ketimbang sawah menghijau, bahkan sama sekali tak mimpi bisa membuat pesawat terbang.
Tanah Indonesia sangat subur, dan dengan kesuburannya itu, memang tak butuh banyak usaha untuk sekedar menghasilkan pangan yang mencukupi. TAPI ITU DULU! Industrialisasi di Indonesia menggelora, seiring demikian, hedonisme tumbuh subur. Sumber daya alam kemudian banyak ditemukan, dan pemodal asing seperti antri menunggu bisa mengeksploitasi sumber daya Indonesia.
Petani, sekali lagi seolah dilupakan jaman. Diurus ala kadarnya. Dihibur dengan acara KELOMPENCAPIR! Atau dicekoki dengan aneka pupuk non-organik yang pelan-pelan justru membuat tanah mereka kering kerontang.
Sementara hedonisme, seperti kanker yang terus menggerogoti tubuh. Menyebar hingga jauh ke pelosok-pelosok tanah air. Petani-petani yang punya sifat dasar PENYABAR, karena butuh menunggu lama untuk bisa memanen hasil tanaman, mulai digerogoti hedonisme. Kendaraan bermotor, alat elektronik, kemudian menjadi barang-barang impian yang ada di benak setiap orang. Termasuk petani. Dunia pertanian yang tak banyak berkembang, berbanding TERBALIK dengan nafsu para petani untuk bisa memiliki barang impian. Satu-satunya cara mewujudkannya, mereka kemudian nekat menjual tanah mereka. MENJADI BURUH DARI TANAH MEREKA SENDIRI.
Saya masih ingat seorang kawan kampung saya di Singosari, Malang, yang putus sekolah, karena orangtuanya yang petani, hanya punya beberapa petak sawah. Soal makan memang tidak pernah jadi masalah, apalagi untuk orang-orang desa seperti kami. Ada beras di dapur, semuanya sudah terselesaikan. Lauk bisa seadanya, sayur liar tinggal petik di pematang sawah. Bumbu? Ahh, tak ada ceritanya orang desa tidak punya bumbu dapur di rumah mereka. Jika ada petani tetangga yang panen bawang atau brambang (bawang merah), seisi kampung biasanya ikut merasakan.
Kawan saya itu, suka main game dingdong. Nongkrong di pasar, dan pada akhirnya timbul keinginan punya motor. Orangtuanya jelas-jelas tidak mampu membelikan motor, sementara dia enggan bekerja untuk mengkridit motor. Pada titik tertentu, saya terperanjat ketika orangtuanya memilih menjual tanah untuk dibelikan motor bagi kawan saya. Si orangtua berharap, anaknya bisa membantu cari uang dengan ngojek. “Awakku wes tuwek Le, sawah ora kenek diharapno, cekne ngojek wae si A...” kata-kata orangtua kawan saya itu, sampai sekarang masih saya ingat.
Orangtua kawan saya memang masih berprofesi sebagai petani. Namun tidak lagi menggarap tanah sendiri. Ia menjadi buruh di bekas tanahnya sendiri, juga tanah dari juragan-juragan tanah yang kebanyakan dari Surabaya dan Jakarta. Pada kelanjutannya, si kawan lebih banyak ugal-ugalan ketimbang ngojek mencari uang. Motor rusak, tak ada uang untuk memperbaiki. Terakhir, saya dengar kabarnya, dia masuk penjara gara-gara ikut berdagang narkoba.
Ada jutaan keluarga petani seperti kawan saya ini di Indonesia. Ketika tanah tak lagi bisa diharapkan, mereka kemudian berbondong-bondong datang ke kota. Ketika industri menawarkan gaji seadanya, mereka kemudian melakukan segala macam cara untuk memenuhi mimpi-mimpinya. Merampok, mencuri, merusak hutan, menjadi calo, menjadi TKI (seperti saya), menambang liar, dan aneka macam profesi yang kian menyuburkan kerusakan alam Indonesia.
Sementara di sisi lain, kegagalan negara mencari sumber pendapatan, memaksa mereka MENJUAL alam Indonesia pada investor mana saja yang mau. Tidak peduli investor licik, nakal, kurang ajar, pokoknya mereka datang membawa uang.
Alam DIPERKOSA ramai-ramai. Oleh negara, rakyat, serta investor asing.
Dan kini, 2014 ini, PEMERKOSAAN itu terus saja menggila. Sumber-sumber daya alam terus dicari dan dieksploitasi. Hutan-hutan dibabat. Laut-laut dijarah. Negara-negara kaya seolah-olah berlomba meminang Indonesia yang menggoda, agar bisa ikut MEMPERKOSA. Sementara, negara yang butuh terus uang tunai tanpa banyak berusaha (seperti kawan saya yang pengojek tadi), kian mengobral Indonesia. Indonesia, jika tahun ini kembali gagal MEMILIH
presiden yang tepat, dikhawatirkan akan bernasib seperti negara-negara Afrika atau Timur Tengah. Yang punya sumber daya melimpah, namun justru menjadi bencana.
Jika Habibie seorang jenius, dia pasti tahu bahwa yang dibutuhkan Indonesia sejak awal adalah pertanian yang hebat. Jika dulu Habibie memilih mengembangkan tekhnologi pertanian ketimbang mengurusi mimpi Soeharto membuat pesawat terbang, mungkin nasib kawan saya tak akan mampir di penjara. Mungkin rakyat-rakyat di Indonesia tak perlu menjual sawah untuk sekedar membeli motor atau mobil. Mungin nasib petani bisa seperti di lirik lagunya Slank, “Pak Tani”:
….
Petani bajak sawah pake traktor
Kerja rutin kontrol sawah
Numpak harley ngitung laba panen pake komputer
Ngirim order beras pake helikopter
…..
Saya, Anda semua, 9 Juli 2014 nanti, bakal memilih presiden. Susah memang memilih, mengingat kandidat yang kini tersedia, tidak ada satupun yang pernah merasakan jadi orang desa, atau pernah bergelimang lumpur sawah. Tapi setidaknya, kita semua bisa memperkirakan: seorang pedagang, selalu mencari peluang untuk berjualan apa saja demi keuntungan, termasuk menjual negara.
Sialnya, semua kandidat presiden punya rekam jejak “pedagang” semua.
Saya rindu, punya presiden yang seorang petani. Agar kelak, ketika belanja di supermarket di Singapura yang dipenuhi hasil pertanian dari Indonesia, saya bisa menunjukkan pada dua anak saya yang warga Singapura, bahwa tanah bapaknya sesubur cerita nenek moyang di buku-buku legenda.
*) Foto-foto saya ambil pada 4 September 2010, di Singosari, Malang, Jatim.