Sebulan terakhir ini, saya punya kegemaran baru: memperhatikan wajah siapa pun orang di depan saya. Entah memperhatikan wajah orang-orang yang saya kenal dan saya ajak bicara, atau sekedar melototi wajah-wajah orang yang sekilas lewat di depan saya. Ketika di kantor, diam-diam saya kerap menghitung berapa kerutan di wajah kawan-kawan, di mana saja ada codetnya, atau seberapa besar lubang hidungnya. Dengan sejumlah tanda itu, kemudian saya mengkonfirmasi kebenaran analisa dari buku yang saat ini tengah getol saya pelajari, berjudul Membaca Wajah Ala China karya Jean Haner, orientalis Barat yang tergila-gila budaya Tionghoa.
Saat membaca wajah kawan-kawan kantor, analisa memang langsung menemukan konfirmasi. Sebagai kawan kantor yang sudah bertahun-tahun bersama, sedikit banyak saya sudah mengenal sifat dan karakter mereka. Misalnya ketika Harner mendeskripsikan tanda-tanda apa yang biasa ada pada wajah orang yang pelit, saya bisa langsung menemukan tanda-tanda itu di wajah teman-teman yang terkenal pelit di kantor. Atau wajah seperti apa yang pada masa remaja mereka memperoleh perlakuan buruk atau tidak bahagia! Hasilnya luar biasa! Nyaris semua tanda yang dikemukakan Harner menemui kebenaran.
Bagaimana pula Harner memberi peringatan – tentunya lewat tanda di wajah – harus hati-hati dengan wajah penjilat. Orang seperti ini, bagi orang yang dijilat dan ini biasanya bos, justru berpotensi merusak kariernya. Para penjilat biasanya tipikal orang-orang yang bermulut manis, suka menyenangkan si bos, bahkan tak segan-segan memberi hadiah bagi orang yang dijilatnya. Namun tipikal orang seperti ini, biasanya tak mau kerja keras, tidak kreatif, serta energinya
habis untuk mengamankan posisinya. Omzet perusahaan tentu bakal turun karena si penjilat tak becus bekerja. Pada akhirnya, – selain jabatan si penjilat sendiri – tentu si bos yang ikut mempertanggungjawabkan ketidakberkembangan perusahaannya pada pemilik perusahaan atau pemegang saham.
Tanpa kerja keras, jabatan yang diberikan si bos pada si penjilat tentu tak bermanfaat apa-apa pada perusahaan. Jika sudah demikian, si bos lah yang justru kena masalah. Si bos rapor-nya jelek, si bos pula yang kemudian gajinya tak naik, bahkan mungkin tak naik jabatan atau ditendang keluar. Jadi, bagi Anda yang jadi bos, bergaul dengan penjilat mungkin akan mendapat sesuatu “manis” di awal, tapi akan tersengat racun mematikan di belakang nanti. Bos yang pintar dan peduli dengan kariernya, tentu saja bos yang tak bisa dijilat!
Kebiasaan mengulik-ulik wajah orang terus saya lakukan juga ketika di Singapura. Ketika harus bertemu dengan kawan-kawan sesama penghobi fotografi di sana, atau sekedar tukar-menukar informasi soal kamera dengan mereka. Di MRT atau bus, saya kerap menebak-nebak sifat orang di depan saya. Pria di depan ini, yang wajahnya punya elemen logam, sepertinya peduli betul dengan detil: hingga meski pakainnya terkesan urakan, tapi serasi dalam paduan warna dan potongannya. Atau si wanita itu, yang wajahnya punya elemen air, kerjanya pasti pelan dan senang memanjakan diri.
Saya kok jadi seperti paranormal?! Tapi sungguh, permainan otak yang ini sangat menyenangkan!
Tapi Harner, dalam bukunya, tak lantas memvonis seorang yang dianugerahi wajah model A, terus punya sifat A juga! Ilmu membaca wajah yang diperkenalkan para tabib jaman Dinasti China ini justru memberi sisi positif, bahwa seorang yang punya wajah model A dengan sejumlah sifat negatifnya, bisa mengubah kebiasaan jelek mereka jika menyadari sifat negatifnya. Saya beberapa kali membuktikan hal ini ketika harus berhubungan dengan orang Singapura. Salah satunya, jangan pernah membuat janji tiba-tiba atau terlambat jika berjanji dengan orang-orang Singapura!
Waktu adalah salah satu hal terpenting bagi warga negara semaju Singapura. Apa pun bentuk dan elemen di wajah mereka. Satu lagi pelajaran berharga dari mereka, bahwa orang-orang Singapura sudah merencanakan kegiatan mereka jauh-jauh hari sebelum mereka melakukannya. Libur tahun depan dihabiskan di mana, pulang kerja nanti makan apa, baju apa yang dipakai hari Rabu; semua sudah mereka rencanakan. Dan ketika Anda tiba-tiba mengganggu rencana mereka, meski itu menguntungkan, jangan kira mereka akan tiba-tiba bersedia mengubahnya.
Saya cukup aktif di bursa jual-beli online di Singapura sebagai salah satu cara mudah berbelanja. Negeri dengan pemakaian internet hingga 90 persen seperti Singapura, toko online atau jual-beli di dunia maya memang sangat umum. Tiap rumahtangga bahkan tak jarang kerap menjual atau membeli barang milik mereka.
Kita bisa menjual dan membeli apa pun dari rumah tanpa harus repot ke mal. Kebiasaan jual-beli online seperti ini, menempatkan Singapura sebagai negara cukup terpercaya di dunia maya. Beda dengan Indonesia yang masuk kategori “peringatan”. Di situs jual-beli beken semacam E-bay misalnya, sering kali kita melihat pembeli menulis peringatan di dagangannya yang berbunyi, “penawar terbuka untuk semua negara kecuali Indonesia…”
Saya tak tahu kenapa, tapi yang saya dengar, banyak penipu online yang berbasis di Indonesia. Entah mereka memang orang Indonesia, atau sekedar memakai Indonesia sebagai sarang mereka menipu. Hingga kemudian nama Indonesia jadi cemar di dunia jual-beli maya.
Kembali ke Rasa Singapura. Dengan orang Singapura, Anda tidak bisa menelepon langsung, dan minta ketemu. Meski Anda membawa segepok uang untuk membeli dagangan mereka. Ada negosiasi berbelit: apakah mereka punya waktu? Apakah mereka tidak punya rencana lain? Terutama ketika Anda bernegosiasi dengan orang yang memang kerjaan utamanya bukan sebagai pedagang online. Dan jika mereka sudah bersedia ketemu, jangan pernah Anda terlambat atau tidak datang. Mereka akan sulit memaafkan untuk kemudian mempercayai Anda kembali.
Dari pengalaman saya berhubungan langsung – jual beli – dengan ratusan orang Singapura, ada karakter serupa yang rata-rata dimiliki warga Singapura. Entah itu mereka yang punya elemen wajah air, besi, api, tanah, maupun logam, mereka rata-rata disiplin, tepat waktu, dan peduli janji. Stigma orang Melayu yang kerja nyante dan pemalas, tidak berlaku di Singapura. Mereka juga harus sama kerja kerasnya dengan etnis lainnya. Mereka juga harus bisa disiplin untuk bisa hidup sesuai standar Singapura. Memang, sistem yang dibangun di negeri kota itu, mau tak mau membuat setiap warganya bekerja dengan disiplin dan tepat waktu.
Sistem itu, kemudian membenarkan analisa Jean Haner bahwa Anda yang punya wajah dengan karakter tertentu, bisa berubah asalkan Anda punya kekuatan untuk mengubahnya. Tuhan tidak menciptakan takdir seseorang menjadi baik, jahat, buruk, penjilat, atau tukang telat! Tapi kitalah yang punya pilihan mau jadi seperti apa kita nantinya.
Seperti apa bentuk wajah Anda? Ah, jangan terlalu diambil hati. Karena tanda itu tidak akan berarti apa-apa jika Anda ingin mengubah diri sendiri.
Diterbitkan di DIA, Minggu, 16 Oktober 2011.