Oleh Ben Anderson
(Diterjemahkan oleh Ksatria Tulus Wigati, saya kutipkan dari milis Jurnalisme)
[1]
Beberapa minggu belakangan ini saya mendapat pengalaman menyenangkan membaca sebagian besar volume-volume yang diterbitkan tahunan oleh Yayasan Nippon. Hampir semua tulisan di situ membuka wawasan, bukan hanya karena memang berkualitas, tapi juga cakupannya yang luas, dan kandungan informasi mengenai orang-orang yang peduli soal kebijakan negara. Meski begitu, tulisan-tulisan tersebut memunculkan kecemasan, mungkin karena saya menghabiskan bertahun-tahun sebagai apa yang disebut sebagai ilmuwan politik.
[2]
Pada dasawarsa 1998-2008 telah terjadi perubahan cepat, bukan hanya di negara-negara penerima program Yayasan Nippon, tapi juga di seluruh dunia. Perubahan ini ditutup dengan krisis ekonomi yang paling kolosal dan global sejak Resesi Dunia 1930-an, serta krisis finansial regional 1997-1998. Secara politis, dasawarsa ini diawali dengan letupan politik reformis yang mengagumkan, tapi berakhir secara mengecewakan dengan semakin menguatnya oligarki di Indonesia, Filipina, dan Malaysia. Di negara-negara ini, tingkat ketimpangan ekonomi meningkat tajam, hak-hak asasi manusia dilanggar terus menerus, dan kontrol negara terhadap media massa semakin menggurita.
[3]
Yang mengejutkan saya ketika membaca makalah-makalah dalam volume-volume terbitan Yayasan Nippon ini adalah bahwa semua kekacauan di atas relatif tidak terekspos.Misalnya Thailand, yang sekarang berada dalam krisis politik jangka panjang, negeri di mana gejala-gejala kekacauan sudah terlihat pada awal 2000-an. Tapi makalah-makalah tentang Thailand hampir tidak pernah menyebut Thaksin Shinawatra, problem monarki, atau perlawanan sengit wilayah Selatan Jauh yang Muslim dan berbahasa Melayu. Di dalamnya tidak ada peringatan akan datangnya gerakan Kaos Merah yang kita baca hampir tiap hari di koran. Orang bisa membaca berita di koran tentang Filipina tanpa menyadari bahwa kepemimpinan Gloria Macapagal Arroyo sudah ruwet — dan sebagainya. Mengapa demikian?
[4]
Orang dapat menjelaskannya dari kemerosotan jangka panjang kaum intelektual publik tradisional, yakni mereka yang memiliki pembaca atau audiens masyarakat luas. Pada 1960-an dan 1970-an intelektual publik yang paling berpengaruh di Filipina adalah Renato Constantino, yang menulis banyak studi sejarah dengan karakter kiri-nasionalis, dan yang mati-matian memusuhi apa yang dia sebut “mentalitas kaum terjajah” yang masih bercokol di tengah saudara-saudaranya. Dia tidak sendiri. Misalnya, orang Amerika Protestan William Henry Scott juga menulis buku-buku berpengaruh mengenai sejarah awal Filipina, juga mengenai kaum teraniaya minoritas pagan di Luzon Cordelerra. Mereka berdua bukanlah akademisi atau wartawan profesional.
[5]
Hari ini hampir tidak ada orang-orang berwibawa seperti mereka. Tak seorang Indonesiapun yang mampu berkarya sehebat almarhum Pramoedya Ananta Toer, yang tak pernah lulus SMA, tapi menulis banyak karya luar biasa yang terdiri atas novel dan cerpen, untuk masyarakat umum, meskipun dia bertahun-tahun hidup dipenjara. Hingga kini Pram belum ada penggantinya. Di Thailand, Sulak Sivarak selama berpuluh-puluh tahun adalah kritikus sosial politik yang paling kuat di sana, dan berkali-kali dituduh menghina kerajaan. Dia tidak punya gelar akademik, dan dia bukan wartawan. Tapi saat ini dia sudah masuk usia 70-an, dan belum ada penerus yang terlihat. Malaysia punya satu orang seperti itu, yang masih sangat muda, satiris, editor, sutradara film terkemuka, dan esais: Amir Muhammad. Lagi-lagi, bukan seorang akademisi, wartawan, atau pegawai negeri. Tapi, dia sendirian juga.
[6]
Anda pasti paham bahwa saya sedang menekankan tiadanya jabatan akademik. Hal ini membawa saya ke satu dari dua perubahan mendalam yang membuat intelektual publik sulit bertahan: yakni profesionalisasi universitas, mengikuti contoh Amerika, yang meniru Jerman pada abad 19. Profesionalisasi ini pada mulanya dibangun di atas pengkotakan disiplin ilmu; dengan kata lain, fragmentasi ilmu dan bidang studi menurut logika pembagian kerja.
[7]
Profesionalisasi memang mencegah sejarawan untuk tertarik antropologi dan pakar ekonomi untuk tertarik sosiologi; tapi ini juga berarti bahwa kesuksesan di dunia akademik lebih banyak ditentukan oleh tokoh-tokoh senior di suatu bidang ilmu. Selain itu, profesionalisasi mendorong munculnya jargon-jargon teknis yang hanya dimengerti oleh orang-orang dari disiplin akademik yang sama. Ini artinya, semakin banyak akademisi yang menulis untuk sesama mereka, diterbitkan di “jurnal profesional”, dan di penerbit-penerbit kampus. Masyarakat umum semakin disisihkan oleh kecenderungan ini. Menulis buku untuk masyarakat umum biasanya dianggap dangkal dan tidak ilmiah. Tulisan non-akademik semakin lama semakin direndahkan.
[8]
Meski demikian, Amerika unik dalam beberapa hal. Pertama, tidak seperti banyak negara, Amerika tidak punya universitas negeri yang bertaraf nasional. Hampir semua universitas bergengsi adalah swasta. Kedua, negeri ini mendirikan universitas untuk merespon permintaan rakyat ketika gelar universitas dianggap sebagai prasyarat untuk pekerjaan-pekerjaan di dalam dan di luar universitas. Ketiga, negeri ini punya tradisi panjang dalam memusuhi para intelektual universitas secara umum, artinya hanya segelintir saja profesor yang punya koneksi bagus dengan elite politik atau media massa.
[9]
Meski begitu, Amerika menjadi model sejak 1950-an dan seterusnya, mengingat posisi hegemonik globalnya selama dan setelah Perang Dingin. Puluhan ribu anak muda dari negara-negara yang disebut Dunia Bebas diundang ke Amerika untuk memperoleh gelar pasca sarjana, dan didanai besar-besaran oleh yayasan-yayasan swasta dan lembaga negara. Ketika kembali ke negerinya, mereka harus mengikuti contoh guru-guru mereka dan menemukan kembali kehidupan universitas, seringkali dengan bantuan finansial dan politis yang besar dari Amerika. Tapi tugas ini hanya dijalankan separuh, mengingat karakter masyarakat asal para pemuda tersebut.
[10]
Di Asia Tenggara, misalnya, universitas-universitas terbaik biasanya dimiliki oleh negara, dan para stafnya adalah pegawai negeri. Ada tradisi tua menghormati pembelajaran, berdasarkan tata sosial pra-kolonial dan masa kolonial. Penghormatan terhadap pembelajaran ini dibentengi oleh afiliasi kepada negara. Para profesor punya akses ke elite politik dan media massa dengan cara yang hampir tak terpikirkan di AS. Di sisi lain, status sosial mereka tidak diimbangi dengan dukungan finansial yang cukup.
[11]
Di AS, para profesor digaji sangat tinggi, kebanyakan profesor senior berpenghasilan $100.000 plus setahun. Di Asia Tenggara, sebaliknya, professor digaji dengan buruk, sehingga mereka terpaksa mengerjakan proyek-proyek riset sia-sia milik pemerintah, bekerja sampingan di universitas lain, jadi makelar real estate, dan pelbagai peluang media massa, seperti menjadi kolumnis koran, selebriti TV dan sebagainya. Mahasiswanya seringkali ditelantarkan atau diabaikan, atau diperlakukan secara birokratis. Banyak sekali akademisi berkualitas yang memilih untuk tidak mengajar sama sekali, tapi menetap di institut riset yang biasanya tidak produktif. Itulah kenapa banyak sekali di antara mahasiswa cemerlang adalah para otodidak dan memandang rendah para guru formal mereka.
[12]
Dengan keadaan seperti itu, banyak akademisi secara pragmatis menggabungkan diri dengan elite politik. Alternatifnya, mereka bersaing habis-habisan untuk memperoleh grant penelitian yang disediakan oleh lembaga-lembaga dari negara-negara makmur yang memiliki agenda tersendiri. Kecenderungan ini memiliki kelemahan. Saya masih teringat seorang perempuan yang luar biasa berdedikasi yang mengurusi grant Toyota Foundation untuk para akademisi di Asia Tenggara. Dia bilang dia sangat terkejut ketika mengetahui bahwa para akademisi Filipina yang menghadir konferensi-konferensi yang disponsori Toyota Foundation, bukan hanya menuntut agar biaya mereka diganti, tapi bahkan minta bayaran tunai atas keikutsertaan mereka. Pembayaran tunai ini biasanya dipakai untuk berbelanja gila-gilaan.
[13]
Bekerja sampingan untuk media massa memiliki problemnya sendiri. Acara TV memberi bayaran tinggi, tapi tak ada yang diberi waktu lebih dari lima menit, yang tidak cukup untuk menjelaskan sesuatu yang penting. Menulis kolom setidaknya mendorong akademisi untuk menulis bagi masyarakat umum, tapi cendekiawan yang serius tidak akan membuat kolom mingguan tanpa mengulang-ulang apa yang sudah ditulisnya, membicarakan dirinya sendiri, dan mematuhi instruksi editor dan pemilik koran. Mereka menjadi karyawan — dari negara, lembaga asing, atau pengusaha koran, dan manajer TV. Tidak heran jika mereka punya waktu sedikit untuk riset, menulis buku berbobot, atau secara serius mengritik sesuatu. Mereka juga terisolasi.
[14]
Perkenankan saya memberi contoh ekstrem. Beberapa tahun yang lalu, saya memberi kuliah di sebuah universitas bergengsi di Bangkok di depan 300-an profesor dan mahasiswa. Pada ceramah ini, saya berbicara panjang lebar mengenai seorang jenius tulen yang pernah dilahirkan Thailand sejak 1960-an — sutradara film terkemuka Apichatpong Weerasethakul, yang memenangkan dua piala di Cannes dalam waktu 3 tahun, dan memenangkan banyak penghargaan di dunia perfilman. Akhirnya, saya minta mereka yang pernah dengar nama Apichatpong untuk unjuk tangan. Sekitar 10 orang angkat tangan, semuanya mahasiswa. Berapa banyak yang sudah menonton filmnya? Sekitar enam, lagi-lagi semuanya mahasiswa. Saya tiba-tiba menyadari kebodohan sunyi para profesor di situ, yang hanya menonton film Hollywood, dan arogansi mereka: sutradara tidak punya gelar universitas!
[15]
Hampir tidak ada jembatan antara para profesor dan sutradara, novelis, dan pelukis, dan lain-lain. Tak heran jika sutradara dan novelis merendahkan para profesor. Hanya mahasiswa yang tidak profesional saja yang terhubung dengan dua dunia ini. Semua ini mengungkap sebagian alasan kenapa sulit menemukan intelektual publik di universitas, meskipun selalu ada pengecualian. Profesionalisasi, status pegawai negeri, kedekatan dengan elite yang berkuasa, pendapatan rendah, cinta duniawi, kebencian kepada mahasiswa, semua itu punya peran (dalam meniadakan intelektual publik, -Wigati).
[16]
Tapi orang tidak bisa menyalahkan universitas tanpa mempertimbangkan lingkungannya. Sekarang saya tiba pada perubahan besar kedua yang mempengaruhi keberadaan intelektual publik. Yakni, perubahan budaya kaum elite nasional dan bagaimana mereka menggunakan kekuasaan negara. Hal pertama yang perlu diperhatikan adalah menguatnya tren di kalangan elite ini untuk mengirim anak-anak mereka ke apa yang disebut sekolah internasional di dalam negeri, kemudian selanjutnya mengirim anak mereka ke perguruan tinggi luar negeri, terutama ke US dan UK, juga ke Jepang, Perancis, Australia, Singapura, dan lain-lain. Pemandangan seperti ini jelas-jelas mencerminkan ketidakpedulian, kalau bukan hinaan, kepada lembaga pendidikan dalam negeri sendiri. Maka, kaum elite mencemaskan intervensi politik dalam kehidupan kampus. Pada gilirannya, hanya gelar dari universitas luar negeri yang punya gengsi.
[17]
Situasi ini kebalikan dari apa yang terjadi pada hari-hari awal kemerdekaan ketika semua orang bangga dengan sekolahnya, dan guru pada umumnya masih dihormati. Apa yang dipelajari anak-anak elite ini, kalaupun mereka memang belajar? Pastinya gelar mereka banyak yang bersifat profesional komersial: manajemen bisnis, marketing, ekonomi, teknik, IT, dst, bukan sejarah, sastra, antropologi, atau psikologi. Disiplin-disiplin terakhir ini sering dilihat “percuma”, dan tidak relevan untuk “anak kita”, yang nanti akan mengganti posisi orangtua mereka dalam sistem politik di mana nepotisme dikembangbiakkan tanpa malu-malu.
[18]
Anekdot: Ketika terakhir kali berbicara dengan Amir Muhammad, dia bilang ke saya bahwa perusahan penerbitan kecil miliknya baru saja mencetak kumpulan cerpen karangan para penulis gay dan lesbian. Karena tahu hukuman berat bagi hubungan seksual ‘abnormal’ di Malaysia, saya bertanya apa dia takut ditindas. “Tidak sama sekali,” katanya, tertawa, “Para penguasa di sini tidak membaca buku, hanya dokumen rekomendasi setebal 2 halaman dan koran harian. Lagi pula, bukunya dalam bahasa Inggris yang tidak begitu mereka kuasai.”
[19]
Hal serupa terjadi pada masa kediktatoran Suharto. Pada 1978 ada protes mahasiswa di seluruh Indonesia menentang rejim ini, yang kemudian cepat dipadamkan. Para pemimpin intelektualnya umumnya para pemuda yang belajar di Institut Teknologi Bandung yang prestisius. Tapi selama demonstrasi 1998 melawan Suharto, dua puluh tahun kemudian, institut ini impoten, dan diam saja. Kenapa? Alasannya sederhana. Suharto, yang menginginkan pembangunan tanpa gangguan, mempekerjakan sejumlah besar alumni ITB, yang biasanya juga dikirim ke luar negeri untuk studi pasca-sarjana, untuk mengisi departemen-departemen bidang teknologi, yang kemudian terkenal karena nepotis dan korupnya. Diktator Suharto tahu bahwa orang-orang ini bukanlah ancaman bagi dia. Orang-orang ini tidak lagi punya basis politik atau basis moral pada masyarakat Indonesia. Mahasiswa yang menggantikan peran mereka datang dari universitas-universitas ‘kelas dua’ yang seringkali berorientasi relijius, dan swasta.
[20]
Lain ceritanya dengan negara. Ketika aplikasi untuk visa riset tahun 1961, saya harus menunggu 9 bulan sebelum visa keluar. Alasan utamanya adalah kemalasan birokrasi, tapi juga ada ketakutan wajar bahwa peneliti asing, apalagi dari AS, bisa jadi agen rahasia CIA. Di bawah Suharto, yang merupakan kesayangan AS, ada perubahan-perubahan yang memperburuk situasi.
[21]
Ambisi rejim Suharto adalah memiliki kendali penuh atas mahasiswa asing, dengan melarang mereka mempelajari apa pun yang dianggap ‘sensitif’. Kontrol ini dipegang oleh intelijen negara dengan memperalat Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), tangan birokratis negara yang diisi para peneliti unggul yang jarang mengajar dan jarang berhubungan dengan mahasiswa. Teknik manajemen seperti ini menyebar ke Malaysia dan Thailand, dan kurang lebih ke Filipina juga. Hak veto aparat intelijen di negara-negara ini sedemikian dominan sehingga mahasiswa asing yang mengajukan visa riset terpaksa melakukan penelitian yang tidak menyinggung pemerintah atau belajar berbohong dengan rapi.
[22]
Kebanyakan mahasiswa asing ini dibiayai oleh yayasan swasta atau oleh pemerintah asing. Lembaga-lembaga ini – dari Amerika, Jepang, Belanda, Inggris, Perancis, Kanada, dll – memiliki tujuan jangka panjang tersembunyi, dan lusinan atau bahkan ratusan mahasiswa mengandalkan dukungan finansial mereka. Pemerintah asing, dengan multi kepentingan di Indonesia dan Malaysia misalnya, harus memikirkan cara supaya tidak membuat marah negara tuan rumah. Lembaga-lembaga swasta menghadapi problem yang sama, bagaimana memunculkan riset yang bagus tanpa menyinggung aparat negara. Jika mereka terlalu berani, mereka bisa dilarang, proyek mereka ditutup, hubungan mereka dengan departemen luar negeri, departemen pendidikan, dan terutama dengan aparat intelijen, menjadi rumit. Di bawah tekanan seperti ini, bisa dimengerti jika lembaga-lembaga ini terpaksa jadi hati-hati dan konservatif. Jadi Anda bisa memahami kenapa program-program bagus mereka jarang yang memihak intelektual publik, melainkan terfokus pada proyek-proyek teknokratis dan berskala kecil yang tidak menimbulkan masalah – bukan hanya untuk mereka sendiri tapi juga untuk para pemuda yang mereka sponsori dan biayai.
[23]
Ada kelompok-kelompok veto yang kuat di dalam – atau berafiliasi dengan – negara, yang mesti diperhatikan. Saya akan beri satu contoh dari tiap negara Asia Tenggara yang terlibat dalam program gallant Yayasan Nippon. Di Indonesia, kelompok veto terpenting adalah militer dan politisi Muslim. Saya tidak menemukan satupun buku bagus mengenai militer Indonesia (pada level nasional) yang diterbitkan setidaknya 30 tahun terakhir oleh ilmuwan Indonesia maupun asing. Buku-buku terbaik diterbitkan oleh NGO — Amnesty International, Indonesia Watch, dan NGO-NGO kecil lokal, tapi buku-buku ini tidak sistematis dan biasanya terfokus pada pelanggaran HAM pada berbagai level dan di berbagai tempat. Tapi, mustahil melakukan penelitian tentang kerajaan besar bisnis militer, yang resmi maupun bawah tanah. Mungkin Anda berpikir bahwa menarik sekali jika meneliti situasi aneh di mana 90% warganya secara resmi Muslim, tapi perolehan suara gabungan partai-partai Islam selama 10 tahun terakhir tidak pernah mencapai separuh angka ini. Atau: pada saat pengaruh Islam jelas-jelas meningkat selama dekade terakhir, kenapa reputasi politisi Muslim berada di titik rendah? Sepi.
[24]
Di Filipina kelompok-veto terkuat adalah Gereja Katolik, yang selalu berhasil menghalangi undang-undang perceraian yang lebih adil, dan menimbulkan kasus pisah ranjang tak terhingga jumlahnya, mengorbankan wanita dan anak-anak. Kelompok ini juga menghalangi pemasyarakatan distribusi alat kontrasepsi, yang tidak hanya menimbulkan ledakan penduduk di negeri yang sudah miskin dan mengalami emigrasi, tapi juga mengganggu perang melawan AIDS. Total asset dan anggaran internal Gereja Katolik selalu dirahasiakan. Saya belum menemukan buku yang secara sistematis menelusuri kepentingan dan kebijakan Gereja beserta konsekuensi sosial dan ekonominya.
[25]
Di Malaysia, kelompok-veto yang terpenting adalah oligarki dari dalam UMNO, yang memegang tampuk kekuasaan tanpa henti selama setengah abad. Selama bertahun-tahun mereka menggunakan undang-undang kejam ISA, warisan pemerintah kolonial Inggris yang kemudian dikembangkan untuk membungkam pemberontak, kritikus, dan pembangkang. Semuanya ditujukan untuk melanggengkan kedamaian sosial, kesatuan nasional, dan hubungan hangat antar-etnis. Benar bahwa UMNO hari ini mengalami kemunduran akibat perubahan sosial mendalam dan meluas, kepemimpinan medioker, dan korup, dan kejenuhan semata. Benar juga bahwa ada NGO-NGO enerjik yang mengurusi lingkungan dan melawan diskriminasi rasial, terutama terhadap mayoritas India yang menderita — dan seterusnya. Tapi, belum ada serangan frontal terhadap korupsi, inkompetensi, kemunafikan, dan perilaku diskriminatif para elite UMNO itu sendiri, meskipun para cendekiawan perlahan-lahan mulai berani.
[26]
Akhirnya, Thailand. Satu-satunya buku tentang monarki adalah yang ditulis Paul Handley “The King Who Never Smiles”. Handley mantan wartawan yang bertugas di Bangkok, yang sekarang dilarang masuk negeri itu. Ketika kabar tersiar bahwa Yale University Press akan menerbitkan buku ini, pengadilan berdaya upaya menghentikan penerbitan ini — dan sia-sia. Tentu saja, buku ini diterjemahkan diam-diam ke bahasa Thai dan beredar di Internet, melampaui lembaga sensor elektronik negara itu. Tapi efek lebih dalam terlihat jelas di dunia akademik intelektual.
[27]
Satu contoh kecil tapi penting adalah narasi sejarah yang panjang dan terbingkai rapi di Museum Nasional Thailand dari asal muasal 800 tahun yang lalu hingga sekarang. Yang benar-benar aneh adalah bahwa pameran permanen ini hanya menyebut empat orang, dan semuanya bangsawan yang dikagumi. Tidak ada satupun yang penulis, jenderal, dokter, penyair, ilmuwan, rahib, hakim, filsuf, filantropis atau pelukis, apalagi wanita. Pameran seperti itu tak terbayangkan ada di Indonesia, Filipina, atau bahkan Malaysia. Hal serupa dapat ditemui, meskipun dalam bentuk lebih canggih, di bidang-bidang akademik seperti sejarah seni rupa, sejarah, sastra nasional, ilmu politik, etnologi, dan sebagainya. Tentu saja ada beberapa “pemberontak”, termasuk beberapa profesor yang terlalu tua untuk pensiun. Tapi gambaran umumnya jauh dari menggembirakan.
[28]
Setelah mengajukan argumen saya – yang tentunya dimaksudkan sebagai provokasi – bahwa akibat profesionalisasi dan komersialisasi universitas, meningkatnya kekuasaan birokrasi negara dan lembaga sensor, serta kecenderungan oligarkis dalam kepemimpinan nation-state, maka ruang bagi intelektual publik sangat terbatas, setidaknya saat ini. Tapi perkenankan saya menyimpulkan dengan beberapa patah kata mengenai buku dan kenapa buku tetap sangat penting bagi intelektual publik.
[29]
Koran dengan kolomnya adalah sangat fana, hilang oleh berita esok hari. Televisi bisa memiliki momen yang hidup, tapi tak seorangpun menonton program-program tahun lalu. Film bisa jadi media yang bagus, tapi biasanya hanya ditonton sekali atau dua kali, kecuali oleh spesialis. Internet memiliki momentum emansipatoris, tapi traffic-nya sangat ramai, dan pesan-pesan di blogosphere, Facebook, dan lain-lain berumur pendek – dimaksudkan untuk saat itu juga. Buku yang bagus bisa dibaca berkali-kali dan bisa bertahan, dihidupkan kembali, selama periode yang panjang. Orang masih bisa membaca Lady Murasaki sebagai hiburan dan pelajaran, seperti karya Jose Rizal, Milton, Hafiz, Voltaire, dan sebagainya. Buku-buku itu menampung semua yang rumit dan kompleks. Buku-buku itu dibaca sendirian di dalam pikiran manusia. Dan buku-buku itu tidak punya pembaca – yang-ditentukan sejak awal, setiap orang bisa belajar darinya.
[30]
Di sinilah saya ingin mengatakan bahwa pengembangan jaringan, yang dipromosikan oleh Yayasan Nippon, meskipun sangat bagus dan bernilai, tetap bermakna kelompok-kelompok yang mengerti satu sama lain dan memikirkan persoalan yang serupa. Tapi ini tidak sama dengan, setidaknya menurut saya, kontribusi intelektual publik yang pada dasarnya berbicara kepada siapapun dan semua orang. Intelektual publik, semoga, memiliki pembaca yang bukan hanya kenalan dekat. Tapi tiap masyarakat membutuhkan keduanya.
Versi bahasa Inggris artikel ini dapat dilihat di http://indonesiabuku.com/?p=6520