: Silahkan menikmati foto-foto sederhana saya.
Dari salah satu kamar di lantai tiga Hotel Imperial yang kami sewa, hampir separo panorama kota Kluang, Johor, Malaysia, tertangkap mata. Sore itu, 10 Desember 2014, hujan baru saja turun mengguyur; aroma tanah bercampur udara basah, tercium tajam saat jendela kamar hotel saya buka. Kluang, seperti umumnya kota-kota kecil di Malaysia: di sana-sini ruko tua berlantai tak lebih dari tiga yang bersenggama dengan bangunan-bangunan era kolonial. Serta kedai-kedai kopi mungil yang menjual minuman resep nenek moyang mereka. Lambang M milik waralaba McDonald yang menjulang seorang diri, terkesan angkuh mengangkangi kota yang sudah keriput.
Kedua mata kemudian berhenti di Toko Sepatu Bata, yang letaknya berhadap-hadapan dengan hotel yang kami sewa. Berlantai tiga, Bata hanya mengambil lantai pertama. Kedua lantai di atasnya dipakai untuk kantor asuransi anak perusahaan Great Eastern. Toko sepatu yang mengingatkan pada toko serupa di kampung saya: Singosari, Malang, Jawa Timur. Di era 80 hingga 90-an, jika warga Singosari menyebut kata “Bata”, itu pasti merujuk pada toko sepatu terbesar di kota kecamatan penuh sejarah itu.
Meski bukan toko resmi milik Bata – karena menjual banyak barang selain merek Bata – namun toko itu pede memakai kata “Bata”. Salah satu anak pemiliknya, Ezzamir, adalah kawan madrasah saya. Juga kawan main bola. Meski sama sekali tak jago main bola, tapi sepatunya yang selalu kinclong, dan bermerek (asli tentunya), selalu enak dipandang mata. Belakangan nama toko sudah berganti. Saat saya pulang ke Singosari bulan Juni 2014 lalu, nama tokonya kini menjadi Zamir. Kondisinya pun tak semegah duapuluh tahun lalu. Malah boleh dibilang kumuh, dengan kanan-kiri dipadati pedagang kakilima.
Oh ya, jika Anda belajar sejarah Indonesia, pasti akan menemukan bab tentang Singosari. Di Singosari lah, Kerajaan Kertanegara – cikal bakal Nusantara – diduga meng-ada. Di kecamatan saya lahir, banyak arca dan candi ditemukan. Di kota kecamatan ini pula, pemandian favorit Ken Dedes, tempat Ken Arok mengintip betis mengkilapnya, hingga kini masih terawat baik. Meski arca-arca kecilnya sudah banyak yang dicuri orang.
Kluang di Johor, bukanlah kota istimewa. Tahun ini kami memilihnya sebagai tempat liburan, karena lokasinya yang cuma sejarak tiga jam naik bus dari Singapura. Ini penting, mengingat anak bungsu kami yang hiperaktif, Zack, tidak bisa berlama-lama di satu kendaraan. Lebih dari empat jam, saya tak bisa lagi membayangkan seperti apa kacaunya suasana bus. Kluang, juga kami pilih karena kota kecil. Saya memang selalu memilih kota kecil jika jalan-jalan ke Malaysia. Di kota kecil, baik-tidaknya pemerintah setempat mengatur kotanya, dengan mudah kita rasakan. Di kota kecil pula, keakraban masyarakatnya masih terasa, belajar dan memperhatikan kehidupan mereka, serta menikmati bangunan-bangunan kota yang masih ala kadarnya. Lagipula, selama ini kami tinggal di Singapura, kota-negara yang begitu megapolitannya. Tentu saja tidak lucu jika “orang kota” berlibur juga ke kota.
Sebuah kota besar, penuh dengan kosmetik, kepura-puraan, serta kebohongan.
Menumpang bus Five Star yang disopiri seorang pria asal Medan, Sumatera Utara, sepanjang tiga jam menembus Johor, bus selalu melewati jalan tol yang luas dan anti-macet. Hanya tujuh penumpang di dalam bus, termasuk sopir, dan bus tetap berangkat. Sesuatu yang mungkin tak pernah terjadi di Indonesia yang busnya, harus penuh dulu untuk mau jalan. Untuk sebuah kenyamanan jalan raya, Malaysia jauh lebih maju ketimbang Indonesia. Jalan-jalannya lebar dan nyaman. Pengendaranya tertib. Rambu-rambu lalu lintas pun bagus dan jelas.
Tidak ada larangan motor masuk jalan tol atau jalan protokol seperti di Jalarta. Penanda tidak ada diskrimasi antara pemilik motor maupun mobil. Untuk urusan transportasi publik, Indonesia tertinggal cukup jauh dari Malaysia. Terutama transportasi kereta apinya. Setelah menjual jalur kereta api yang membelah Singapura, pada tahun 2011 silam, Malaysia “gila-gilaan” membangun jalur kereta api. Baik jalur kereta api jarak jauh maupun jarak pendek. Ongkos taksinya pun murah. Saat kami menyewa untuk berkeliling Kluang, si sopir hanya mematok harga cuma 26 ringgit atau sekitar Rp80an ribu. Bandingkan dengan di Kepulauan Bintan, saat kami berlibur ke Bintan Maret 2014 lalu, ongkos taksi dari Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjungpinang menuju Trikora yang sejarak cuma 40 kilometer, sebesar Rp350 ribu. Saya sempat keliling mencari taksi “bodong” dan menawar seharga Rp200 ribu, tapi tak ada sopir yang bersedia mengantar kami dengan harga tawaran saya. Perbandingan lainnya, ongkos taksi resmi dari Bandara Juanda, Surabaya, menuju Singosari, Malang; yang sejarak sekitar 90 kilometer, cuma Rp250 ribu.
Kota Kluang sendiri, cukup asyik dan unik. Setidaknya untuk membantu menghilangkan “krowded” yang selama ini ada di kepala kami, yang tinggal di Singapura. Kotanya sepi, kendaraannya tak banyak. Tidak macet, dan pukul 10 malam pun, kotanya sudah “tertidur”. Kota Kluang, dengan kedai-kedai kopi khas Tionghoanya, bangunan-bangunan tua tak tersentuh cat, mengingatkan saya pada Tanjungpinang di tahun 2003 silam. Ketika saya masih ngepos jadi wartawan di sana. Seperti umumnya kota lama, trotoar atau pedestrian tidak bersahabat dengan kaki. Yang menariknya, sepanjang tiga hari saya “ngadem” di Kluang, saya sama sekali tidak menemui zebra cross di jalan raya yang lebar-lebar. Tapi jangan khawatir, pejalan kaki cukup leluasa berjalan atau menyebrang di jalan raya. Karena kendaraan memilih memelankan laju mereka atau berhenti, saat ada orang menyebrang.
Kluang di Johor, bukanlah kota istimewa. Tahun ini kami memilihnya sebagai tempat liburan, karena lokasinya yang cuma sejarak tiga jam naik bus dari Singapura. Ini penting, mengingat anak bungsu kami yang hiperaktif, Zack, tidak bisa berlama-lama di satu kendaraan. Lebih dari empat jam, saya tak bisa lagi membayangkan seperti apa kacaunya suasana bus. Kluang, juga kami pilih karena kota kecil. Saya memang selalu memilih kota kecil jika jalan-jalan ke Malaysia. Di kota kecil, baik-tidaknya pemerintah setempat mengatur kotanya, dengan mudah kita rasakan. Di kota kecil pula, keakraban masyarakatnya masih terasa, belajar dan memperhatikan kehidupan mereka, serta menikmati bangunan-bangunan kota yang masih ala kadarnya. Lagipula, selama ini kami tinggal di Singapura, kota-negara yang begitu megapolitannya. Tentu saja tidak lucu jika “orang kota” berlibur juga ke kota.
Sebuah kota besar, penuh dengan kosmetik, kepura-puraan, serta kebohongan.
Menumpang bus Five Star yang disopiri seorang pria asal Medan, Sumatera Utara, sepanjang tiga jam menembus Johor, bus selalu melewati jalan tol yang luas dan anti-macet. Hanya tujuh penumpang di dalam bus, termasuk sopir, dan bus tetap berangkat. Sesuatu yang mungkin tak pernah terjadi di Indonesia yang busnya, harus penuh dulu untuk mau jalan. Untuk sebuah kenyamanan jalan raya, Malaysia jauh lebih maju ketimbang Indonesia. Jalan-jalannya lebar dan nyaman. Pengendaranya tertib. Rambu-rambu lalu lintas pun bagus dan jelas.
Tidak ada larangan motor masuk jalan tol atau jalan protokol seperti di Jalarta. Penanda tidak ada diskrimasi antara pemilik motor maupun mobil. Untuk urusan transportasi publik, Indonesia tertinggal cukup jauh dari Malaysia. Terutama transportasi kereta apinya. Setelah menjual jalur kereta api yang membelah Singapura, pada tahun 2011 silam, Malaysia “gila-gilaan” membangun jalur kereta api. Baik jalur kereta api jarak jauh maupun jarak pendek. Ongkos taksinya pun murah. Saat kami menyewa untuk berkeliling Kluang, si sopir hanya mematok harga cuma 26 ringgit atau sekitar Rp80an ribu. Bandingkan dengan di Kepulauan Bintan, saat kami berlibur ke Bintan Maret 2014 lalu, ongkos taksi dari Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjungpinang menuju Trikora yang sejarak cuma 40 kilometer, sebesar Rp350 ribu. Saya sempat keliling mencari taksi “bodong” dan menawar seharga Rp200 ribu, tapi tak ada sopir yang bersedia mengantar kami dengan harga tawaran saya. Perbandingan lainnya, ongkos taksi resmi dari Bandara Juanda, Surabaya, menuju Singosari, Malang; yang sejarak sekitar 90 kilometer, cuma Rp250 ribu.
Kota Kluang sendiri, cukup asyik dan unik. Setidaknya untuk membantu menghilangkan “krowded” yang selama ini ada di kepala kami, yang tinggal di Singapura. Kotanya sepi, kendaraannya tak banyak. Tidak macet, dan pukul 10 malam pun, kotanya sudah “tertidur”. Kota Kluang, dengan kedai-kedai kopi khas Tionghoanya, bangunan-bangunan tua tak tersentuh cat, mengingatkan saya pada Tanjungpinang di tahun 2003 silam. Ketika saya masih ngepos jadi wartawan di sana. Seperti umumnya kota lama, trotoar atau pedestrian tidak bersahabat dengan kaki. Yang menariknya, sepanjang tiga hari saya “ngadem” di Kluang, saya sama sekali tidak menemui zebra cross di jalan raya yang lebar-lebar. Tapi jangan khawatir, pejalan kaki cukup leluasa berjalan atau menyebrang di jalan raya. Karena kendaraan memilih memelankan laju mereka atau berhenti, saat ada orang menyebrang.
Kluang di Johor, bukanlah kota istimewa. Tahun ini kami memilihnya sebagai tempat liburan, karena lokasinya yang cuma sejarak tiga jam naik bus dari Singapura. Ini penting, mengingat anak bungsu kami yang hiperaktif, Zack, tidak bisa berlama-lama di satu kendaraan. Lebih dari empat jam, saya tak bisa lagi membayangkan seperti apa kacaunya suasana bus. Kluang, juga kami pilih karena kota kecil. Saya memang selalu memilih kota kecil jika jalan-jalan ke Malaysia. Di kota kecil, baik-tidaknya pemerintah setempat mengatur kotanya, dengan mudah kita rasakan. Di kota kecil pula, keakraban masyarakatnya masih terasa, belajar dan memperhatikan kehidupan mereka, serta menikmati bangunan-bangunan kota yang masih ala kadarnya. Lagipula, selama ini kami tinggal di Singapura, kota-negara yang begitu megapolitannya. Tentu saja tidak lucu jika “orang kota” berlibur juga ke kota.
Sebuah kota besar, penuh dengan kosmetik, kepura-puraan, serta kebohongan.
Menumpang bus Five Star yang disopiri seorang pria asal Medan, Sumatera Utara, sepanjang tiga jam menembus Johor, bus selalu melewati jalan tol yang luas dan anti-macet. Hanya tujuh penumpang di dalam bus, termasuk sopir, dan bus tetap berangkat. Sesuatu yang mungkin tak pernah terjadi di Indonesia yang busnya, harus penuh dulu untuk mau jalan. Untuk sebuah kenyamanan jalan raya, Malaysia jauh lebih maju ketimbang Indonesia. Jalan-jalannya lebar dan nyaman. Pengendaranya tertib. Rambu-rambu lalu lintas pun bagus dan jelas.
Tidak ada larangan motor masuk jalan tol atau jalan protokol seperti di Jalarta. Penanda tidak ada diskrimasi antara pemilik motor maupun mobil. Untuk urusan transportasi publik, Indonesia tertinggal cukup jauh dari Malaysia. Terutama transportasi kereta apinya. Setelah menjual jalur kereta api yang membelah Singapura, pada tahun 2011 silam, Malaysia “gila-gilaan” membangun jalur kereta api. Baik jalur kereta api jarak jauh maupun jarak pendek. Ongkos taksinya pun murah. Saat kami menyewa untuk berkeliling Kluang, si sopir hanya mematok harga cuma 26 ringgit atau sekitar Rp80an ribu. Bandingkan dengan di Kepulauan Bintan, saat kami berlibur ke Bintan Maret 2014 lalu, ongkos taksi dari Pelabuhan Sri Bintan Pura, Tanjungpinang menuju Trikora yang sejarak cuma 40 kilometer, sebesar Rp350 ribu. Saya sempat keliling mencari taksi “bodong” dan menawar seharga Rp200 ribu, tapi tak ada sopir yang bersedia mengantar kami dengan harga tawaran saya. Perbandingan lainnya, ongkos taksi resmi dari Bandara Juanda, Surabaya, menuju Singosari, Malang; yang sejarak sekitar 90 kilometer, cuma Rp250 ribu.
Kota Kluang sendiri, cukup asyik dan unik. Setidaknya untuk membantu menghilangkan “krowded” yang selama ini ada di kepala kami, yang tinggal di Singapura. Kotanya sepi, kendaraannya tak banyak. Tidak macet, dan pukul 10 malam pun, kotanya sudah “tertidur”. Kota Kluang, dengan kedai-kedai kopi khas Tionghoanya, bangunan-bangunan tua tak tersentuh cat, mengingatkan saya pada Tanjungpinang di tahun 2003 silam. Ketika saya masih ngepos jadi wartawan di sana. Seperti umumnya kota lama, trotoar atau pedestrian tidak bersahabat dengan kaki. Yang menariknya, sepanjang tiga hari saya “ngadem” di Kluang, saya sama sekali tidak menemui zebra cross di jalan raya yang lebar-lebar. Tapi jangan khawatir, pejalan kaki cukup leluasa berjalan atau menyebrang di jalan raya. Karena kendaraan memilih memelankan laju mereka atau berhenti, saat ada orang menyebrang.