:Ken Danis Yohana Chua
Kubisikkan kalimat ini pada Ken: kelak kau akan seperkasa Ken Arok! Perampok yang kemudian menyatukan Nusantara di bawah Kerajaan Singosari.
Perampok itu tidak jelek, Nak! Itu jika kau merasa tidak ada cara lain untuk membuat keadaan menjadi baik. Tidak ada cara lain untuk merebut keadilan. Kenapa bapakmu memilihkan kau nama Ken? Kenapa di pertama kau lahir hingga bisa menendang, bapak membiarkanmu menangis sendiri? Belajar merangkak seorang diri? Karena kau, Ken, hasil percintaan dua Singa.
Ibumu singa? Mungkin kau lebih tahu itu, Ken. Ketika mulut mungilmu serakah menghisap sari-sari kesingaan ibumu, kau pasti telah merasakan itu. Merasakan sebuah kegairahan petualangan yang begitu menggila. Ketika air susu yang kau hisap itu sedikit demi sedikit merajut tubuhmu, kau akan rasakan, betapa ibumu adalah kegairahan. Ibumu, singa itu, adalah cintaku. Ketika dia memilih menderita dengan mencintaiku, itulah sebenar-benarnya singa, Ken!
Bapakmu mungkin yang justru bukan sebenarnya singa! Tapi di darahmu, mengalir darah Ken Arok! Bapakmu lahir, hanya sepelemparan batu dari tempat di mana Ken Arok tengah menggagahi Kendedes. Wanita cantik hasil rampokan dari Bupati Tumapel, Tunggul Ametung, yang kemudian diperistrinya.
Kakek buyut kita mungkin bukan Ken Arok yang melegenda itu. Kakek buyut kita mungkin hanya abdinya. Mungkin cuma tukang basuh kakinya. Atau justru lawan politiknya! Tapi tahukah kau, Ken! Kakek buyut kita tetap orang Singosari.
Ada jejak Singosari di kebesaran Nusantara ini, Nak! Juga raja-raja yang pernah memerintahnya. Dari Raden Wijaya pendiri Majapahit, hingga Sultan Hamengkubowono X yang kini getol umbar pamor untuk mencalonkan diri jadi presiden republik ini. Dan kau, Ken, beruntung berada di pusarannya.
Semuanya memang serba tak pasti. Semuanya serba berkemungkinan. Namun juga, di tubuh kita, sama besarnya berkemungkinan itu, bahwa yang mengaliri darah kita adalah darah Ken Arok. Darah Ken Dedes. Darah Ken Umang. Bukankah sejarah hanya sebuah omong kosong! Rekayasa! Jadi, terserah kita mau menulis apa. Mau mengaku apa. Asal ada tanggungjawab sikap di dalamnya.
Bapak masih ingat, Ken. Ketika nenekmu setiap malam sebelum bapak tidur, menceritakan kehebatan kakek buyut kita menghadapi ketidakadilan. Ada hutan belantara di cerita nenek. Ada tangis, derap kaki kuda-kuda, tertawa, pernikahan, kematian, pengkhianatan, kejayaan, darah, dan keindahan. Ada dengung lantun puji-pujian pada Tuhan. Juga, sebuah kepasrahan yang selalu kudengungkan di telingamu sewaktu kau masih merah: Astaughfirullah robbal baroyah… astaughfirullah minal khodoyah…
Okelah Ken Danis. Mungkin ketika kau sudah bisa berinternet dan membaca tulisan bapakmu ini, kau akan berpikir, “betapa naifnya bapakku yang di otaknya masih tercemar romantisme feodal di jaman internet seperti ini. Priyayen.”
Jika kelak kau berpikir demikian, aku jelas tidak akan tersinggung. Sebaliknya, aku merasa telah membesarkanmu dengan sebenar-benarnya. Bahwa kau tumbuh dan membesar, tidak terjebak dalam sebuah kebanggaan feodal. Kenaifan. Yang saat ini justru membonceng erat di kehidupan dunia kapital. Sebagai bapak, aku ingin menghindarkanmu dari dunia feodal, sekaligus melindungi dari kejamnya kapital. Bapak berharap, satu set jins Levi’s yang dibelikan omamu ketika kau masih merah, Baby Gap yang dibelikan ibumu, serta jaket Espirit hitam yang dihadiahkan untukmu, tidak untuk bangga-banggan. Buang semua itu! Dan berpikirlah bahwa kapitalis itu ada untuk kau khianati. Bukan kau boncengi!
Tidak, Nak! Bapak tidak menulis tulisan ini dalam sebuah fondasi feodal. Jauh hari sebelum bapak jatuh cinta dengan ibumu, bapak sudah melakukan pemberontakan terhadap tatanan budaya di lingkungan bapak yang berbau feodal. Pemberontakan terhadap nilai-nilai yang bapak anggap kampungan, tidak manusiawi, anti-toleran, dan anti-kemapanan. Bapak tumbuh dengan kesadaran penuh, bahwa setiap pasang kaki siapa pun berhak berjalan tegap tanpa ada satupun kedigjayaan yang melarangnya.
Dan bapak, hanya ingin kau dengan kaki-kakimu, berjalan setegap mungkin. Berjalan sejauh mungkin. Seberani mungkin. Dengan tetap mengingat kampungmu yang indah dikelilingi Gunung Arjuna dan Semeru. Karena kau, Ken! Sebuah kisah percintaan dua singa.