Saya terkesima ketika melihat halaman pertama The Straits Times terbitan Sabtu, 9 Februari. Tidak headline memang berita itu. Tapi kematian Ah Meng sehari sebelumnya, menyita hampir separo halaman pertama koran terbesar Singapura itu. Ah Meng, dies! Begitu bunyi judulnya. Mati secara tua. Dan ketuaan orangutan asal Sumatera itu jelas terlihat dari foto close up yang menyertai berita.
48 tahun, adalah sebuah waktu yang tidak pendek untuk ukuran seekor orangutan. Jika dibandingkan dengan saudara-saudaranya di Sumatera atau Kalimantan, yang tiap hari meregang nyawa oleh penggundulan hutan. Oleh perburuan.
Ah Meng adalah bintang top. Dan semua tahu, bagaimana hebohnya jika seorang (seekor) bintang top meninggal. Koran-koran akan mengulas habis-habisan kisah hidup dan kematian sang bintang. Televisi juga menayangkan hal sama secara terus menerus. Internet dan radio tak pula mau ketinggalan. Semua orang tiba-tiba merasa dan mengaku-aku sangat berduka cita. Semua orang mengaku dekat dengan almarhum (mah). Semua orang mencucurkan air mata. Tapi, ketika semua kesedihan itu diberikan kepada Ah Meng, seekor monyet betina, otak saya langsung tercatut pada ratusan nyawa yang meregang dihajar lubang jalanan Kota Batam.
Sebelum menjelaskan hubungan antara kematian Ah Meng dengan lobang jalanan di kota Batam, saya akan sodorkan sedikit bukti kesuperstaran si Ah Meng. Lahir dari rahim hutan Sumatera, beruntung Ah Meng dibawa ke Singapura, negara kota yang sangat membosankan namun punya nurani yang menenangkan. Singapore Zoo, kemudian mengamankannya pada tahun 1971 dari seorang penduduk Negeri Singa. Dan sejak saat itu, keberuntungan Ah Meng berubah.
Di Singapore Zoo, Ah Meng adalah raja. Siapa yang tak merasa raja, jika minum teh saja Ah Meng bisa bersenda gurau dengan Michael Jackson atau Elizabeth Taylor. Dua megastar dunia. Sepanjang usianya yang 48, sudah 30 film dibintangi Ah Meng. Dan hampir 270 tulisan yang mengulas jati diri Ah Meng. Ah Meng juga didaulat sebagai Duta Pariwisata Singapura 1992. Tidak seperti negeri tercinta kita yang selalu memilih cewek seksi nan melenakan sebagai duta pariwisata. Dan, ujung-ujungnya duta-duta itu menjadi pesinetron atau wakil rakyat murahan.
Jika pariwisata Singapura saja memilih seekor kera asal Sumatera sebagai maskotnya – dan sukses mendatangkan jutaan wisatawan – kenapa kita tidak bisa melakukannya? Setidaknya tidak memasang maskot cewek centil berbikini yang otaknya ada di bagian dengkul.
Tapi sudahlah! Soal per-maskot-an pariwisata biar jadi urusan Dinas Pariwisata. Sekarang kembali ke “kematian super” Ah Meng. Kematian ibu empat anak dengan enam cucu ini, ditangisi siapa pun orang Singapura yang mengenalnya. Layaknya kematian Soeharto 28 Januari lalu, kematian Ah Meng juga menjadi berita utama koran dan televisi Singapura. Tapi, ingatan saya ketika membaca berita itu, lagi-lagi mengarah ke lubang-lubang jalanan Kota Batam yang nyaris tiap hari menjagal nyawa pengendara roda dua.
Haruskah saya melempar tanya: apakah nyawa seekor Ah Meng jauh lebih berharga dari ratusan manusia di Batam? Jika pertanyaan ini dilempar ke para pengendara motor yang keluarga mereka menunggu dengan harap-harap cemas di rumah, saya yakin jawabannya: ”Jelas lebih berharga nyawa manusia di Batam, dong!”. Namun, jika Anda tanyakan ke pejabat pemerintah atau anggota DPRD, saya yakin mereka akan ragu menjawab.
Karena mereka menjawab ragu? Karena saya tak yakin, apakah mereka pernah merasakan bagaimana berisikonya naik motor di kegelapan jalan. Sementara di depan mereka ada lobang menganga yang bisa menjungkalkan siapa pun pengendara. Bukan karena mereka tak punya motor atau tak bisa naik motor. Melainkan, buat apa naik motor jika mobil mewah yang bensinnya dikutip dari uang pengendara motor tersedia. Buat apa naik motor jika para kontraktor pembangun jalan menyetor uang mark up pembangunan jalan untuk dibelikan mobil-mobil mewah. Buat apa ngurusin nyawa pengendara motor jika mereka bisa jalan-jalan ke Singapore Zoo, menonton Ah Meng bergelanyutan di kala hidup. Ketika nyawa pengendara motor Batam tiap hari bergelimpangan dalam kesunyian, kematian Ah Meng dirayakan. Lalu, seberharga apakah nyawa pengendara motor Batam jika dibanding nyawa seekor Ah Meng?
Di alenia terakhir berita Ah Meng di The Straits Times, Presiden Singapura SR Nathan mengungkapkan kesedihannya: ”Banyak orang, baik warga Singapura maupun orang asing gembira dengan keberadaan Ah Meng. Saya yakin, kita semua akan merindukannya. Tapi, begitulah hidup.”
Sementara, ketika tiap hari koran-koran kita menuliskan berita tentang pengendara yang meregang nyawa karena lubang jalan, pejabat-pejabat pemerintah dan wakil rakyat kita membaca berita sembari tertawa-tawa. Sembari ber-SMS ria, mencari kontraktor mana yang bisa memberi uang mark up lebih besar untuk proyek pembangunan jalan raya Batam. Mencari kontraktor mana yang paling tega, membangun jalanan berlubang yang siap menjagal para pengendara motor.
Keterangan Foto: Foto di atas bukanlah foto Ah Meng, melainkan satu dari empat anaknya yang mungkin bernama Satria, Sayang, Hsing Hsing, atau Riau. Foto saya ambil pada 31 Mei 2006 silam.