: Ken Danis Yohana Chua
Kali ini bapak ingin bercerita sepotong bagian, dari ribuan potong kisah hidup bapak. Dengarkan Nak! Dengarkan! Agar kau tidak lagi mengulang kesalahan yang pernah bapak lakukan. Kesalahan sia-sia yang menjerumuskan bapak menjadi lelaki yang paling menyedihkan. Seorang lelaki yang tidak pernah bisa memanfaatkan secara maksimal apa pun anugerah yang diberikan Tuhan.
Kau harus tahu sejarah bapakmu! Juga sejarah ibu singamu. Agar kelak, kau bisa menjadi seekor singa petarung, yang berani mempercayakan taring dan cakarmu untuk merobek keangkuhan hidup.
Selain ibumu yang singa, ada tiga lagi wanita yang sangat bapak cintai. Nenekmu Zumronah, ibu bapak, tak terpungkiri itu. Wanita kedua adalah nenek buyutmu, Rafiah! Seorang wanita perkasa yang dari tangannya teracik sambal terasi paling enak yang pernah bapak rasakan. Ketiga, bibimu Irma! Nama yang terakhir ini, dialah wanita yang mempertaruhkan sebagian kebahagiaannya agar bapak bisa melanjutkan sekolah. Saat bapak belajar bagaimana brengseknya menggeluti dunia sastra di Universitas Negeri Malang. Keempat wanita itu, Kenny…, Kau harus mengukir nama mereka di hati dan simpul-simpul syaraf otakmu! Ini pesan bapak, Nak! Jika kau sampai lupa dengan pesan ini, kusumpahi kau jadi manusia yang paling tidak berguna di dunia!
Seorang kenalan bapak, Machfud, bercerita bagaimana bapak lahir di Senin siang yang terik pada 31 Juli 1978. “Akulah yang mengantar ibumu ketika kau memaksakan diri nongol ke dunia ini,” Wak Pot – demikian bapak memanggil Machfud – membuka kisahnya. Di satu malam ketika Wak Pot bertandang ke rumah bapak, cerita ini disampaikan. Ya, Wak Pot, lelaki hitam kurus yang kini sudah almarhum, adalah sekeping puzzle yang membangun kehidupan bapak.
Bapak ingat, di malam-malam saat Wak Pot mengisahkan bagaimana bapak lahir ke dunia, ritual awal yang selalu dilakukan Wak Pot adalah: menyeruput kopi tubruk merek Sidomulyo 73 hidangan nenek Zumronah, menyulut sebatang rokok Retdjo Pentong, kemudian menarik nafas dalam-dalam. Seolah hendak mengumpulkan segenap kekuatannya. Lalu, berceritalah dia sepanjang malam. Tanpa rasa bosan.
Kusarikan begini kisah itu Ken:
Hari itu, satu siang 30 tahun yang lalu. Nenekmu Zumronah tengah dirundung kesedihan. Kesedihan seorang ibu beranak balita dengan kandungan yang hampir membuncah. Sementara Kakekmu di luar sana tengah asyik menggagahi istri mudanya. Entahlah??? Atau bisa jadi kakekmu saat itu tengah bercanda dengan burung-burung piaraannya yang harganya sama dengan sebuah sedan mewah. Yang budget asupan makan sebulan burung-burung piaraan kakekmu, jauh melebihi harga susu yang bapak perlukan ketika bayi.
Siang itu, ada kontraksi menghebat di rahim nenekmu. Nenek buyutmu Rafiah, yang ketika itu menemani nenekmu, jelas kebingungan melihat anak wanitanya menggeliat-geliat kesakitan. Hanya ada tiga orang di rumah Singosari ketika itu. Rafiah, Zumronah, dan Irma yang masih berusia tiga tahun.
Dengan daya yang nenek Rafiah bisa, ia kemudian membawa nenek Zumronah ke jalanan. Menyetop kendaraan apa saja yang ada di jalan raya Singosari, untuk membawa nenekmu Zumronah ke puskesmas atau bidan terdekat. Namun, setelah puluhan kendaraan lewat di depan mereka, tak satupun yang mau berhenti di depan mereka untuk mengatarkan nenekmu yang tengah berjuang melawan kematian.
Kenny, jangan kau bayangkan Singosari ketika itu layaknya Singapura yang penduduknya cukup memencet tombol telepon 999 untuk meminta pertolongan dengan segera! Jangan kau bayangkan, proses kelahiran bapak seperti halnya proses kelahiran kamu di Gleneagles yang ditunggui tiga bidan dan Profesor Tham yang berwajah dingin itu.
Ketika itu tahun 1978! Singosari di jaman itu, adalah sebuah kota kecamatan yang hanya menyisakan bekas-bekas kedigjayaan Ken Arok dan Raja Kertanegara untuk bahan kajian para arkeolog! Tidak ada telepon di rumah bapak. Tidak juga taksi yang dalam keadaan darurat bisa sewaktu-waktu dipanggil. Hanya ada dokar dan mobil pribadi milik jutawan-jutawan angkuh hasil korupsi uang rakyat. Ojek tidak ada. Apalagi busway yang menelan anggaran rakyat bermilyar-milyar itu. Dan ketika itu, nenekmu tengah berjuang mempertahankan kehidupan! Hingga, berhentilah pick up pengangkut es yang disopiri Wak Pot.
Mobil es itu berhenti atas belas kasihan sopirnya, Wak Pot itu. Kepada nenek buyutmu dia bertanya, “adakah yang bisa kuperbuat untuk membantu anakmu yang tengah mengandung tua itu?” tanya Wak Pot. Sambil mempertahankan posisi mobil tuanya agar tetap stabil, mata Wak Pot nyalang mengarah kepada seorang wanita yang tengah terduduk di bawah pohon akasia sembari mengelus-elus perutnya yang membuncit.
“Ada!” Kata nenek Rafiah tegas. “Jika kau sebenar-benarnya lelaki, tolong antarkan anakku ke puskesmas terdekat! Dia hendak melahirkan! Kandungannya bisa pecah dan nyawanya tak tertolong jika kau tak menolongnya!”
Wak Pot, kemudian segera membukakan pintu samping kiri mobil es yang dikemudiakannya. Nenek buyutmu kemudian segera berlari ke tempat nenek Zumronah duduk. Membopongnya dengan segala daya, untuk kemudian menuntunnya masuk ke mobil es yang dikemudikan Wak Pot.
Setengah jam kemudian, setelah mobil es sampai di puskesmas dan nenekmu dipapah dengan sisa kekuatan nenek buyutmu, aku, bapakmu Ken, kemudian lahir! Tanpa kesakitan. Bahkan, sebelum tubuh tanpa daya nenek Zumronah sampai di ruang bersalin, bapakmu sudah nongol ke dunia.
Tak seperti proses kelahiran bayi-bayi lainnya yang membutuhkan perjuangan hidup-mati, nenek Zumronah selalu mengatakan pada bapak, bahwa bapak tidak pernah membuat dia kesakitan. Bahkan ketika lahir sekalipun.
Dulu ketika bapak masih meremaja, sambil mengelus-elus kepala bapak nenek Zumronah kerap mengulang-ulang kalimat ini kepada bapak: ”Anakku, lahir seperti seonggok kotoran yang keluar dari duburku! Tanpa sakit! Tanpa rasa! Aku berharap kelak, kau tidak akan menyaikitiku seperti aku waktu melahirkanmu!”
Ya, bapak juga akan berpesan kepadamu, Ken! Dengarkan… dengarkan! Jika tidak ingin mendapat gelegar auman ibu singamu, jangan kau pernah menyakitinya. Karena bapak tahu, auman amarah seorang ibu, akan membuat hidupmu sangat tidak berarti. Sangat sengsara.
Kau memang lahir di jaman yang melegakan. Di jaman yang tali pusar seorang bayi laku terjual hingga ratusan juta rupiah. Tapi, tetap saja ibumu harus mempertaruhkan nyawanya ketika mengeluarkan kamu dari rahimnya. Di Senin malam yang cerah itu, ketika ketuban pembungkusmu pecah, bapak tengah di Batam. Ibumu, tanpa bapak dampingi, berjuang mengeluarkanmu. Sepanjang malam dia kesakitan. Sepanjang malam itu, bapak hanya bisa mendengar jerit kesakitannya lewat HP yang dihidupkan ibumu. Bapak menangis. Bukan karena bapak tak sanggup mendengar jerit kesakitan itu. Melainkan karena ketidakbisaan bapak mendampingi ibumu. Sepanjang malam itu, bapak seperti seonggok mayat yang tak mampu melakukan apa pun. Ketidakmampuan mendampingi ibumu ini, yang hingga saat ini menjadi penyesalan terdalam bapak.
Hingga akhirnya, esok harinya, 10 Juli 2007, ketika jarum jam berada di angka 08.15, tangis pertamamu menghadir. Mewarnai kehidupan kami. Mempersatukan darah dua singa. Darah Singapura-Singosari.