:Ken Danish Yohana Chua
Bang-bangtutcendelo lawang
sopo mambu entutditembak raja tuan
tuan-tuan kajirambute kari siji
ji-jipang rambute ngepang
gedang-gedang sepet
silite buntet
Kau pernah mendengarkan tembang basa Jawa ini, Ken? Tentu saja belum. Di tempatmu, jelas kau dan kawan seumuranmu tak akan menyanyikan lagu di atas. Tidak pernah melantunkan bersama beberapa kawan-kawanmu sambil bertawa-canda? Bahkan, mendengarkannya pun aku rasa baru kali ini.
Bapak mengerti. Jaman di mana kau tumbuh saat ini, bocah-bocah lebih rela kebebasannya terenggut oleh mainan-mainan elektronik yang iklannya gencar ada di televisi dan koran-koran. Bocah-bocah sepertimu, Ken, malu berbelang kaki karena luka atau bekas borok menganga akibat permainan alam yang berisiko luka. Bocah-bocah sepertimu, lebih gemar bermandikan udara dari mesin pendingin sambil mengunyah kentang goreng ketimbang harus ber-tungkuslumus mencari barang-barang bekas di tong sampah yang berpotensial untuk dijadikan mainan rakitan sendiri.
Ah, sudahlah tentang nostalgia itu. Jaman berbeda, dan bapak tak menyalahkan kamu! Menyalahkan jaman. Yang masih serupa hanyalah, bahwa kau bocah dan bapak juga pernah menjadi bocah seusiamu.
Kembali ke lagu “Bang-bangtut”, yang entah siapa yang menciptakannya itu. Kami ramai-ramai menyanyikannya, ketika di satu arena permainan, tiba-tiba tercium bau kentut yang menyegarkan. Menyegarkan? Benar Nak! Kentut bocah-bocah di jaman bapak sungguhlah menyegarkan. Menggembirakan. Mungkin karena makanan yang masuk ke mulut kami, jauh dari instan.
Tapi, Kenny! Sesegar-segarnya kentut, tetap kentut. Tetaplah busuk. Dan, jelas itu menganggu. Lima atau enam bocah yang ketika itu asyik bermain, tentu saja ogah untuk ditunjuk hidungnya sebagai biang pembuat kentut. Saling syak, saling curiga tentu saja ada di masing-masing pikiran kami. Hingga akhirnya, terjadilah sebuah kesepakatan yang sekaligus permainan:
Kami semua berkumpul dan membentuk lingkaran. Satu orang memimpin, dan mulai menyanyikan lagu “Bang-bang kentut” sambil tangannya berputar, bergantian menunjuki kami semua. Nah, siapa yang kena tunjuk terakhir, dialah yang tersepakati sebagai biang kentut. Si “silit buntet” yang harus rela untuk diolok-olok. Meskipun bisa jadi, dia bukan pembuat kentut. Demokratis, bukan?
Selanjutnya, tertawalah kami semua. Termasuk si “silit buntet”. Namun, tidak ada amarah. Tidak ada kelicikan. Tidak saling jegal seperti dunia politik Indonesia saat ini. Tidak ada jilat-menjilat selayaknya anakbuah yang ingin pangkatnya dinaikkan. Tidak ada yang sok ngebos dan berkuasa. Tidak ada pula yang pura-pura membabu, menjadi kalah. Semua menang. Semua tertawa. Semua gembira.
Lalu, setelah hari mulai menguning, tanpa dikomando kami kemudian berangsur-angsur berlarian menuju belik. Sebuah mata air berpenghujung sungai yang kami manfaatkan untuk mandi, cuci, dan ngising. Sebuah arena permainan lanjutan.
Belik itu, adalah satu di antara sekian surga yang bapak nikmati ketika usia bapak membocah. Di sungai kecil di bawah belik yang berair coklat namun menyegarkan itu, bapak dan kawan-kawan bapak kerap beradu cepat renang. Sesekali ketika kami beradu renang, kepala kami tak sengaja menyundul benda lunak berwarna kuning kecoklatan yang “harum” baunya. Taik. Dan ketika hal ini terjadi, kembalilah tawa kami meledak sejadi-jadinya.
Ya, sebujur kali plus belik adalah pusat aktivitas warga selain pasar rakyat dan lapangan bola. Di kali, ketika kau asyik berenang, kau tidak bisa melarang seseorang buang hajat di atasnya. Kau cuma harus pandai-pandai. Maksud bapak, pandai-pandai mengelak jika ada taik yang tiba-tiba lewat saat kau berenang.
“Bukankah itu menjijikkan? Kotor? Taik orang kena kepala kita?” kau mungkin akan bertanya demikian. Ha-ha-ha, iya. Tapi ketika itu kami tidak peduli. Apalah arti kata “jijik” dibandingkan kegembiraan yang kami dapatkan. Lagi pula, begitu usai mengumbar kesenangan di sungai kecil itu, kami kemudian beranjak ke belik. Membasuh diri dengan air jernih yang keluar dari celah-celah batu. Atau jika dirasa kulit kita masih kotor, kami akan mencari daun lamtoro. Meremas-remasnya, untuk kemudian kami jadikan sabun pembasuh kulit kita. Untuk shamponya, kami biasa memetik barang satu atau dua jeruk nipis yang tumbuh di banyak tempat di sepanjang pinggir kali. Air jeruk nipis itu, cukup ampuh untuk membuat helai-helai rambut kami halus dan meringankan.
Kali kecil yang bermuara ke Kali Brantas itu, Ken, juga menjadi ladang makan sampingan kami semua. Di antara ceruk-ceruk alirannya, di balik bebatuannya, kami kerap berburu udang atau ikan wader yang gurih nan lezat itu. Kalau cuma udang, cukup berbekal jari-jemari kecil kami saja. Dengan satu jari, lubang-lubang udah kami rogoh. Sementara jemari lainnya sudah siap di depan lubang. Jika udangnya keluar, jemari yang sudah siap itu langsung, jlup... menangkapnya.
Untuk ikan wader atau lele, kami perlu kail. Dan ini kerap sedikit menyulitkan. Harga seperangkat pancing jauh dari jangkauan kantong keuangan kami. Namun kami tak kehilangan akal. Gedebok pisang tua yang mengandung serat-serat elastis bisa kami manfaatkan. Kami loloskan seutas senar dari gedebok pisang itu. Kami gali pinggiran parit sawah untuk berburu cacing-cacing merah kecil. Kami ikatkan cacing itu di ujung senar gedebok pisang. Lalu, siaplah pancing sederhana itu. Satu serat gedebok pisang sudah cukup ampuh untuk mendapatkan belasan wader sebesar jempol anak-anak.
Tapi pancing ini hanya ampuh untuk wader-wader kecil. Wader besar kerap memutuskan senar gedebok pisang kami. Jadi, kami harus memilih memancing di potongan sungai yang airnya dangkal nan deras, untuk memburu wader-wader kecil itu. Jika mancing di air yang agak dalam, bisa jadi umpan kita disambar lele atau ikan gabus. Nama ikan yang terakhir ini, kerap sangat kami hindari. Kami waktu itu percaya, ikan gabus atau kami biasa menyebutnya “kotes”, adalah penjelmaan setan sungai. Kelopak matanya bisa berkedip kalau kita tiup.
Jikalau acara berburu ikan sudah membosankan, sasaran lain sudah menanti: hamparan ladang dengan aneka tanaman pengganjal perut dan pemuas dahaga. Ada singkong, ketela daun, jagung, pepohonan kelapa, pohon duku, hamparan tebu, dls. Bahkan jika kita ingin makan besar, dari rumah kita sudah siapkan ketapel untuk mengetapel ayam-ayam warga yang bermain sampai jauh ke ujung belik. Mendebarkan.
Ketika kami ingin merasakan menu berbeda, kami kerap berubah menjadi pencuri kecil. Mengendap-endap membongkar singkong atau ketela daun. Sementara satu kawan yang lain, menurunkan kelapa-kelapa muda. Satu rekan yang lain, mengumpulkan kayu untuk membakar hasil curian kami. Dan yang lain lagi, kejar-mengejar ayam sasaran, membidikkan ketapel.
Untuk yang terakhir, bapak punya seorang kawan yang jago dengan ketapelnya. Ocop kami memanggilnya. Padahal nama aslinya cukup indah, Fatkhul Mausuli. Arek Meduro. Dialah yang selalu mendapat tugas mengeksekusi ayam-ayam yang berkeliaran di ujung kali. Penglihatannya tajam. Kemampuan mengendap-endapnya mumpuni. Dan ketangkasan membidik sasaran luar biasa. Mungkin karena dia dianugerahi dua tangan yang sangat kokoh. Ke manapun dia pergi, selalu terselip sepisau tajam di pinggangnya. Kami bisa mengandalkan dia untuk sebuah pesta pora. Belakangan bapak dengar, Paman Ocop menjadi jagal sapi paling mumpuni di Singosari.
Pulang ke rumah, nenekbuyutmu Rafiah bisanya sudah menyambut dengan seteko kopi panas yang menyegarkan. Tidak di cangkir-cangkir. Tapi di satu teko dengan satu celemek saja. Bapak, bibimu Irma, nenekmu Zumronah, juga nenekbuyutmu Rafiah, harus bergantian menyeruput kopi dari satu celemek itu. “Biar rukun. Biar bisa saling berbagi,” begitu alasan nenekbuyutmu Rafiah, soal seteko kopi dan selembar celemeknya.
Kelak ketika bapak meremaja, setiap rekan-rekan bapak yang bertandang ke rumah selalu disuguhi seteko kopi dan satu celemek oleh nenekbuyutmu. Alasan “rukun dan saling berbagi” masih dipertahankannya. Sialnya Ken, bapak tak mendapatkah hal ini di Batam. Apalagi di tanah kau dilahirkan, Singapura.
Catatan: Foto di atas saya ambil di belik Sumbrawan, 13 Februari 2005 silam. Belik Sumbrawan salah satu belik terbesar di Malang yang mata airnya untuk suplai air minum sebagian wilayah Kabupaten Malang. Selain sumber air, belik Sumbrawan menjadi salah satu tempat wisata di Singosari, karena di sana berdiri Candi Sumb(e)rawan, sebuah candi Budha.
:Ken Danish Yohana Chua
Bang-bangtutcendelo lawang
sopo mambu entutditembak raja tuan
tuan-tuan kajirambute kari siji
ji-jipang rambute ngepang
gedang-gedang sepet
silite buntet
Kau pernah mendengarkan tembang basa Jawa ini, Ken? Tentu saja belum. Di tempatmu, jelas kau dan kawan seumuranmu tak akan menyanyikan lagu di atas. Tidak pernah melantunkan bersama beberapa kawan-kawanmu sambil bertawa-canda? Bahkan, mendengarkannya pun aku rasa baru kali ini.
Bapak mengerti. Jaman di mana kau tumbuh saat ini, bocah-bocah lebih rela kebebasannya terenggut oleh mainan-mainan elektronik yang iklannya gencar ada di televisi dan koran-koran. Bocah-bocah sepertimu, Ken, malu berbelang kaki karena luka atau bekas borok menganga akibat permainan alam yang berisiko luka. Bocah-bocah sepertimu, lebih gemar bermandikan udara dari mesin pendingin sambil mengunyah kentang goreng ketimbang harus ber-tungkuslumus mencari barang-barang bekas di tong sampah yang berpotensial untuk dijadikan mainan rakitan sendiri.
Ah, sudahlah tentang nostalgia itu. Jaman berbeda, dan bapak tak menyalahkan kamu! Menyalahkan jaman. Yang masih serupa hanyalah, bahwa kau bocah dan bapak juga pernah menjadi bocah seusiamu.
Kembali ke lagu “Bang-bangtut”, yang entah siapa yang menciptakannya itu. Kami ramai-ramai menyanyikannya, ketika di satu arena permainan, tiba-tiba tercium bau kentut yang menyegarkan. Menyegarkan? Benar Nak! Kentut bocah-bocah di jaman bapak sungguhlah menyegarkan. Menggembirakan. Mungkin karena makanan yang masuk ke mulut kami, jauh dari instan.
Tapi, Kenny! Sesegar-segarnya kentut, tetap kentut. Tetaplah busuk. Dan, jelas itu menganggu. Lima atau enam bocah yang ketika itu asyik bermain, tentu saja ogah untuk ditunjuk hidungnya sebagai biang pembuat kentut. Saling syak, saling curiga tentu saja ada di masing-masing pikiran kami. Hingga akhirnya, terjadilah sebuah kesepakatan yang sekaligus permainan:
Kami semua berkumpul dan membentuk lingkaran. Satu orang memimpin, dan mulai menyanyikan lagu “Bang-bang kentut” sambil tangannya berputar, bergantian menunjuki kami semua. Nah, siapa yang kena tunjuk terakhir, dialah yang tersepakati sebagai biang kentut. Si “silit buntet” yang harus rela untuk diolok-olok. Meskipun bisa jadi, dia bukan pembuat kentut. Demokratis, bukan?
Selanjutnya, tertawalah kami semua. Termasuk si “silit buntet”. Namun, tidak ada amarah. Tidak ada kelicikan. Tidak saling jegal seperti dunia politik Indonesia saat ini. Tidak ada jilat-menjilat selayaknya anakbuah yang ingin pangkatnya dinaikkan. Tidak ada yang sok ngebos dan berkuasa. Tidak ada pula yang pura-pura membabu, menjadi kalah. Semua menang. Semua tertawa. Semua gembira.
Lalu, setelah hari mulai menguning, tanpa dikomando kami kemudian berangsur-angsur berlarian menuju belik. Sebuah mata air berpenghujung sungai yang kami manfaatkan untuk mandi, cuci, dan ngising. Sebuah arena permainan lanjutan.
Belik itu, adalah satu di antara sekian surga yang bapak nikmati ketika usia bapak membocah. Di sungai kecil di bawah belik yang berair coklat namun menyegarkan itu, bapak dan kawan-kawan bapak kerap beradu cepat renang. Sesekali ketika kami beradu renang, kepala kami tak sengaja menyundul benda lunak berwarna kuning kecoklatan yang “harum” baunya. Taik. Dan ketika hal ini terjadi, kembalilah tawa kami meledak sejadi-jadinya.
Ya, sebujur kali plus belik adalah pusat aktivitas warga selain pasar rakyat dan lapangan bola. Di kali, ketika kau asyik berenang, kau tidak bisa melarang seseorang buang hajat di atasnya. Kau cuma harus pandai-pandai. Maksud bapak, pandai-pandai mengelak jika ada taik yang tiba-tiba lewat saat kau berenang.
“Bukankah itu menjijikkan? Kotor? Taik orang kena kepala kita?” kau mungkin akan bertanya demikian. Ha-ha-ha, iya. Tapi ketika itu kami tidak peduli. Apalah arti kata “jijik” dibandingkan kegembiraan yang kami dapatkan. Lagi pula, begitu usai mengumbar kesenangan di sungai kecil itu, kami kemudian beranjak ke belik. Membasuh diri dengan air jernih yang keluar dari celah-celah batu. Atau jika dirasa kulit kita masih kotor, kami akan mencari daun lamtoro. Meremas-remasnya, untuk kemudian kami jadikan sabun pembasuh kulit kita. Untuk shamponya, kami biasa memetik barang satu atau dua jeruk nipis yang tumbuh di banyak tempat di sepanjang pinggir kali. Air jeruk nipis itu, cukup ampuh untuk membuat helai-helai rambut kami halus dan meringankan.
Kali kecil yang bermuara ke Kali Brantas itu, Ken, juga menjadi ladang makan sampingan kami semua. Di antara ceruk-ceruk alirannya, di balik bebatuannya, kami kerap berburu udang atau ikan wader yang gurih nan lezat itu. Kalau cuma udang, cukup berbekal jari-jemari kecil kami saja. Dengan satu jari, lubang-lubang udah kami rogoh. Sementara jemari lainnya sudah siap di depan lubang. Jika udangnya keluar, jemari yang sudah siap itu langsung, jlup... menangkapnya.
Untuk ikan wader atau lele, kami perlu kail. Dan ini kerap sedikit menyulitkan. Harga seperangkat pancing jauh dari jangkauan kantong keuangan kami. Namun kami tak kehilangan akal. Gedebok pisang tua yang mengandung serat-serat elastis bisa kami manfaatkan. Kami loloskan seutas senar dari gedebok pisang itu. Kami gali pinggiran parit sawah untuk berburu cacing-cacing merah kecil. Kami ikatkan cacing itu di ujung senar gedebok pisang. Lalu, siaplah pancing sederhana itu. Satu serat gedebok pisang sudah cukup ampuh untuk mendapatkan belasan wader sebesar jempol anak-anak.
Tapi pancing ini hanya ampuh untuk wader-wader kecil. Wader besar kerap memutuskan senar gedebok pisang kami. Jadi, kami harus memilih memancing di potongan sungai yang airnya dangkal nan deras, untuk memburu wader-wader kecil itu. Jika mancing di air yang agak dalam, bisa jadi umpan kita disambar lele atau ikan gabus. Nama ikan yang terakhir ini, kerap sangat kami hindari. Kami waktu itu percaya, ikan gabus atau kami biasa menyebutnya “kotes”, adalah penjelmaan setan sungai. Kelopak matanya bisa berkedip kalau kita tiup.
Jikalau acara berburu ikan sudah membosankan, sasaran lain sudah menanti: hamparan ladang dengan aneka tanaman pengganjal perut dan pemuas dahaga. Ada singkong, ketela daun, jagung, pepohonan kelapa, pohon duku, hamparan tebu, dls. Bahkan jika kita ingin makan besar, dari rumah kita sudah siapkan ketapel untuk mengetapel ayam-ayam warga yang bermain sampai jauh ke ujung belik. Mendebarkan.
Ketika kami ingin merasakan menu berbeda, kami kerap berubah menjadi pencuri kecil. Mengendap-endap membongkar singkong atau ketela daun. Sementara satu kawan yang lain, menurunkan kelapa-kelapa muda. Satu rekan yang lain, mengumpulkan kayu untuk membakar hasil curian kami. Dan yang lain lagi, kejar-mengejar ayam sasaran, membidikkan ketapel.
Untuk yang terakhir, bapak punya seorang kawan yang jago dengan ketapelnya. Ocop kami memanggilnya. Padahal nama aslinya cukup indah, Fatkhul Mausuli. Arek Meduro. Dialah yang selalu mendapat tugas mengeksekusi ayam-ayam yang berkeliaran di ujung kali. Penglihatannya tajam. Kemampuan mengendap-endapnya mumpuni. Dan ketangkasan membidik sasaran luar biasa. Mungkin karena dia dianugerahi dua tangan yang sangat kokoh. Ke manapun dia pergi, selalu terselip sepisau tajam di pinggangnya. Kami bisa mengandalkan dia untuk sebuah pesta pora. Belakangan bapak dengar, Paman Ocop menjadi jagal sapi paling mumpuni di Singosari.
Pulang ke rumah, nenekbuyutmu Rafiah bisanya sudah menyambut dengan seteko kopi panas yang menyegarkan. Tidak di cangkir-cangkir. Tapi di satu teko dengan satu celemek saja. Bapak, bibimu Irma, nenekmu Zumronah, juga nenekbuyutmu Rafiah, harus bergantian menyeruput kopi dari satu celemek itu. “Biar rukun. Biar bisa saling berbagi,” begitu alasan nenekbuyutmu Rafiah, soal seteko kopi dan selembar celemeknya.
Kelak ketika bapak meremaja, setiap rekan-rekan bapak yang bertandang ke rumah selalu disuguhi seteko kopi dan satu celemek oleh nenekbuyutmu. Alasan “rukun dan saling berbagi” masih dipertahankannya. Sialnya Ken, bapak tak mendapatkah hal ini di Batam. Apalagi di tanah kau dilahirkan, Singapura.
Catatan: Foto di atas saya ambil di belik Sumbrawan, 13 Februari 2005 silam. Belik Sumbrawan salah satu belik terbesar di Malang yang mata airnya untuk suplai air minum sebagian wilayah Kabupaten Malang. Selain sumber air, belik Sumbrawan menjadi salah satu tempat wisata di Singosari, karena di sana berdiri Candi Sumb(e)rawan, sebuah candi Budha.