Simaklah seuntai surat pembaca yang terbit di Majalah Tempo minggu terakhir November 2007 lalu:
Mungkin sebaiknya perlu dibuatkan taman makam seniman. Sebab seniman juga banyak jasanya kepada kita. Makam itu terutama untuk memudahkan penggemar mengunjungi makam untuk mendoakannya. Tentu yang dikubur di sana seniman bertaraf nasional. Selama ini, pusara para seniman kita bertebaran di seantero Jakarta (Nusantara). Bahkan banyak yang tidak diketahui di mana dikuburkan, karena tak lagi tenar di usia tua.
Pandu Syaiful, Duri, Riau.
Taman makam seniman? Saya mahfum dengan apa yang maksud Mas Pandu dalam surat pembaca yang ditulisnya. Mahfum dengan keresahannya atas ketidakberdayaan seni (man) di negeri yang di perutnya menyimpan berjuta rasa nilai seni ini. Tapi, haruskah ada taman makam seniman?
Di Batam, seni itu begitu pesing. Sepesing aroma kencing di toilet-toilet umum yang kekurangan air bilasan. Bau menyengat itu, meruap seantero ruang, hingga membuat “si pengencing” itu sendiri mabok dan akhirnya jatuh pingsan. Di Batam, seorang seniman punya dua pilihan hidup: jadi kuli bangunan atau terpaksa kompromi dengan aneka proposal dan sekaligus harus kompromi dengan segala macam aturan si penerima proposal.
Ratusan miliar rupiah uang APBD Batam tergelontar untuk proyek sia-sia (saya sebutkan di antaranya, Pasar Batubesar, Terminal Mukakuning, pagarisasi Hutan Duriangkang, juga bangun-membangun drainase yang sebentar kemudian dibongkar lagi). Tapi tolong sebutkan, adakah proyek seni yang semerbak aromanya membuat para seniman berselera? Pukimak, semua proyek seni itu masih pesing, sepesing kencing saya yang tidak minum air putih dua hari dua malam.
Saya mahfum dengan keresahan Pandu. Ketika doa saja, terasa begitu mahal digelontarkan untuk seniman-seniman yang almarhum (ah). Bukankah banyak almarhum koruptor begitu mudahnya mendapat kiriman doa? Bahkan kyai terkenal sekalipun, akan dengan gampangnya memberi kiriman doa pada koruptor. Memdoakannya agar masuk surga. Mengelu-ngelukan almarhum koruptor itu, dalam setiap ceramah-ceramah berbayarnya. Bahwa ”si Pak Korup semasa hidupnya doyan nyumbang,” “Si Tilep itu waktu jayanya tak pernah lupa dengan fakir miskin.”
Jika tak percaya, sekali-kali coba ikut salat Jumat di Masjid Raya, Batam!
Keresahan Mas Pandu mungkin bisa saya terjemahkan begini: koruptor aja dimakamkan di taman makam pahlawan, didoakan kyai beken, masak seniman tak boleh punya taman makam seniman?
“Emangnya seniman itu pahlawan? Pakek taman makam segala? Emangnya seniman bisa sumbang APBD? ” Nah, jika ada pertanyaan begini gimana, Mas Pandu? Jika kepala BUMN, juga kepala daerah yang korup masih dianggap sebagai aset berharga karena kemampuannya mengibuli anggaran, seniman seideal apa pun masihlah dianggap manusia biasa. Tidak bisa apa-apa. Anggapan mereka, puisi, lukisan, cerpen, nggak bakal bisa mengenyangkan.
Seni tidak bisa mendatangkan pendapatan daerah? Itu mah, jika Pak Walikota Ahmad Dahlan, Wakilnya Pak Ria Saptarika, plus antek-anteknya tidak mau berkaca dari tetangga sebelah, Singapura.
Pak Wali, pernahkah Anda mendengar acara bernama Singapore Art Festival (SAF)? Yang diadakan saban tahun di bulan Mei-Juni digelar di jalan-jalan dan gedung pertunjukan di seantero Singapura.
Ah, saya lupa. Anda kan, orang-orang penting yang bahkan mau kentut saja harus dibuatkan agendanya. Anda kan termasuk very-very important person yang mungkin tidak sempat lagi dengarin lagunya sengetop Ungu sekalipun (kalaupun getol berlatih karaoke, saya yakin itu cuma karena takut kehilangan muka jika sewaktu-waktu ditunjuk berdendang di satu acara). Saya juga lupa, Anda tak bakalan sempat surving info sana-sini mempelajari elok dan elegannya negeri tetangga itu membuat makmur rakyatnya.
Daripada surving internet, Pak Wali plus anggota DPRD yang terhormat pasti lebih suka jalan-jalan langsung ke sana. Atau ke China juga ke Surabaya. Bahkan ke Eropa sekalipun. Studi banding sekaligus cuci mata (sialnya, acara cuci mata yang jadi agenda utama).
Di SAP 2005, bahkan pemerintah PM Lee Hsien Loong pernah mendatangkan puluhan patung-patung raksasanya Fernando Botero Angulo, langsung dari Kolumbia. Mau tahu berapa besarnya sebuah patung itu, Bapak-bapak? Sebuah patung, bahkan ada yang setinggi 15 meter. Bawanya harus pakek helikopter dan kapal kargo. Tahu berapa biaya mendatangkan patung-patung itu? 25 miliar doang!
Trus, patung-patung itu dipasang begitu saja di seantero jalan Singapura. Ditonton gratis. Dipakai background foto-fotoan wisatawan. Pasti kalian semua mikir, apa kagak rugi pemerintah Singapura?
Jika itung-itungannya pakai akutansi ala Pemko Batam pasti rugi. Pasti Pak Wali kagak mau mendatangkan patung-patungnya Botero. Mendingan jual lahan hutan lindung untuk developer. Lebih untung. Urusan banjir mah…, itu dipikir belakangan.
Di Singapura, saya belum mendengar ada taman makam khusus seniman. Tapi di sana, seniman makmur coy! Bahkan lewat program wisata SAP-nya, pemerintah Singapura berbagi kemakmuran dengan seniman-seniman seantero dunia. Mereka (seniman-senima dunia) diundang, dibayar layak, diservis oke. Karena mereka dianggap pahlawan. Karena mereka sanggup mendatangkan devisa. Karena dari mereka, Singapura dilirik sekian miliar mata.
Anggaran untuk bayar Botero yang 25 miliar itu mah…, kuecillllllll.
Saya jadi ingat ketika main di Warung Apresiasi (Wapres) Bulungan, Jakarta, November lalu. Kata rekan pengurus Wapres, di Wapres yang sederhana itu: sepanggung kecil alat band dengan kursi-kursi meja ngopi mengitari panggung, lahir belasan seniman makmur. Di panggung itu, siapa pun bisa nyanyi, baca puisi, teriak-teriak mengumpat, dls. Dan terpenting, gratis!!!
Di Batam? Saya pernah sekali melongok panggung teater miliknya Gedung Sumatera Promotion Expo. Cuantik… benar panggung itu. Tapi, seorang rekan seniman Batam bilang, ”semalam main situ, bayarnya 15 juta.”
Pukimak…