Apakah salah ketika saya menuliskan, almarhum sapi itu bernama Haji Muhammad (HM) Sani? Maaf, bukan saya bermaksud me-sapikan wakil gubernur yang terhormat itu. Bukan pula saya menganggap si sapi mirip Pak Sani. Tapi, apakah salah saya memanggil sapi itu Muhammad Sani, kalau di leher sapi putih itu, nyantol selembar kertas bertuliskan “Wakil Gubernur Kepri H. Muhammad Sani”?
Hampir semua orang Indonesia tahu maksud selembar kertas di leher sapi yang telah almarhum itu. Itu adalah sapi sumbangan Pak Sani untuk disembeli dalam kurban Idul Adha, 20 Desember kemarin. Agar semua orang tahu bahwa sapi itu dari Pak Sani, maka dikalungilah sapi itu dengan tulisan H. Muhammad Sani. Agar pula Pakde Jagal, ketika hendak menggorok sapi itu, memunajatkan doa untuk Pak Sani.
Tapi apakah saya salah jika memanggil almarhum sapi itu dengan Haji Muhammad Sani? Saya menjawab sendiri: tidak! Jika Pak Sani merasa berhak menuliskan namanya di selembar kertas dan kemudian mengalungkan ke leher sapi itu, saya juga berhak menamai sapi itu dengan sekenanya. Umpama di kertas itu tertulis Ismeth Abdullah, saya pasti akan memanggil “Ismeth Abdullah”. Jika Nur Syafriadi, saya juga berhak menamai sapi itu “Nur Syafriadi.”
Bukankah otak kita selalu digiring untuk selalu mempermudah apa saja aktivitas kita. Bukankah bahasa itu sifatnya arbitrer. Manasuka, sesuka suka dalam memberikan nama/istilah awal benda. Tidak ada pemutlakan bahwa sapi itu harus bernama ini…, bernama itu….
Kenapa sandal diberi nama sandal? Karena dapat namanya sandal! Jika di leher sapi itu tertulis H. Muhammad Sani, biar tak menyulitkan saya mencari nama sapi itu, saya sebut saja sapi itu HM. Sani
Jika ada yang protes kok saya sebejat mungkin menamai sapi-sapi itu dengan nama pemimpin-pemimpin daerah yang terhormat, saya pasti akan balik protes. “Kenapa si penulis ini tidak sedikit menyibukkan diri dengan menulis secara lengkap dan jelas: Sapi ini sumbangan wakil Gubernur Kepri, H. Muhammad Sani.”
Terbukti, kan… Malas berbahasa baik, menciptakan malapetaka.