: Presiden Layangan dan belut buruan
Dari kepulangan tak biasa kemarin, Nak, telah melemparkan bapak pada sebuah kenangan akan masa kanak-kanak. Beberapa waktu lalu bapak sudah pernah bercerita bagaimana bapak dengan susah payah dilahirkan oleh nenekmu Zumronah. Kini, bapak akan menguliti sedikit demi sedikit kisah tentang rekahan kulit betis mungil bapak yang merompal panjang karena daki yang begitu tebal. Ketika bapak membocah.
Kami biasa menyebut daki sebagai bolot, satu kotoran yang tentu saja tak pernah kau peroleh karena tempatmu bermain kini tak cukup kotor. Ataupun kalau kau bermain lumpur, atau apalah yang bisa menciptakan bolot, cepat-cepat ibumu pasti segera membasuhnya dengan sabun berbusa wangi non-bakteri. Bapak dulu, harus mengumpulkan daun lamtoro sebagai pengganti sabun. Mandi di gerojok mata air yang paling menyegarkan. Di antara canda dan tawa bocah desa. Setelah bolot kami gasak dengan remasan daun lamtoro, kami masih harus menggosoknya lagi dengan sebongkah batu gosok yang kami buru di pinggir-pinggir kali. Kadang kami menggosok terlalu keras hingga menghasilkan luka berdarah. Tapi tidak mengapa, asal bolot dapat terangkat, dan mulut nenekmu Zumronah merekah senyum melihat kaki bapak ini yang sedikit bersih ketika pada petang hari bapak pulang.
Daki atau bolot yang biasa memenuhi betis, lengan, bahkan ceruk-ceruk di leher; bapak biasa peroleh dari seharian menendang bola di lapangan berdebu. Atau becek ketika hujan. Bapak juga kerap memanen bolot setelah sesiangan berada di bawah terik matahari, menunggu layang-layang yang putus. Berkejaran dengan kawan, berlomba mendapatkan layangan meski kami harus menerjang lumpur sawah setinggi paha. Nikmat sekali, ketika itu Kenny! Bapak yang ketika itu bertubuh kurus, kecil, dan hitam, selalu kalah berebutan dengan rekan-rekan yang lain yang lebih perkasa. Terutama dengan Mukhsin, si presiden layang-layang.
Mukhsin? Bagaimana kini kabar kawan satu ini? Masih setia kah bermain layang-layang? Terakhir bapak ketemu dia sesaat sebelum bapak merantau ke Batam, 2002 silam. Dia yang ketika itu adalah pemuda ganteng berhidung mancung dengan jambang bulu bambu di seputar mulutnya, masih tetap mencintai layang-layang.
Ada secuil cerita kenapa Mukhsin kami juluki sebagai “presiden layang-layang”. Tentu saja karena keahliannya beradu sambit layangan aduan. Juga kepiawaiannya mengejar layang-layang yang putus. Tidak seperti bapak yang harus menunggu di tengah pematang dengan berteman matahari di atas kepala, Mukhsin hanya duduk mematung memperhatikan dua layang-layang yang beradu sambit. Memperhitungkan arah angin dengan seksama. Dan segera berlari manakala ada sebuah layang-layang yang putus. Matanya yang tajam dan seolah tanpa pernah berkedip, memilih menelusuri sisa benang layang-layang yang putus ketimbang layang-layang itu sendiri. Ketika kami dengan perasaan gegap gempita berebut layang-layang yang sudah berada beberapa meter dari atas kepala kami, tiba-tiba layang-layang itu mengudara kembali. Di belakang kami, dengan gembiranya Mukhsin berteriak telah mendapatkannya. Ia tangkap itu benang, dan sirnalah mimpi kami membawa pulang layang-layang.
Ini tentu sangat menjengkelkan. Tapi bagaimanapun juga, Mukhsin adalah yang terbaik untuk semua urusan tentang layang-layang. Bapak harus mengakuinya. Terakhir, beberapa kejuaraan layang-layang tingkat kabupaten Mukhsin menangi. Julukan “presiden layang-layang” semakin menemukan pembenaran. Ia juga kemudian menjadi pengrajin layang-layang. Merek layangannya bahkan, cukup diakui sebagai layang-layang yang paling perkasa untuk aduan.
Selain Mukhsin, orang yang menjengkelkan kami adalah Wak Senan. Dia pemilik beberapa petak sawah. Kejamnya naudzubillah – semoga amal ibadahnya diterima – Tapi kesan kejam itu kami tancapkan ketika kami belum bisa berpikir, bahwa Wak Senan melakukan semua hal yang menjengkelkan kami karena dia melindungi kepentingannya. Kenakalan bapak dan kawan-kawan, memang kerap membuat rusak padi milik Wak Senan yang baru disemai. Atau, kaki-kaki brangasan kami yang tanpa kompromi merangsak kuningnya padi saat mengejar layang-layang yang jatuh di tengah sawah, membuat rontok ribuan butir padi yang siap dipanen. Itu tak kami perhitungkan. Ketika itu, yang kami tahu, Wak Senan dengan ketepel dan celurit di tangannya, sanggup membuat kami lari tunggang langgang.
Teriakan-teriakannya untuk mengusir kami, bagai suara harimau yang tiba-tiba muncul dari rerimbunan semak, untuk menerkam kelengahan kami. Wak Senan, dengan benjol sebesar bola pingpong di dahinya – yang kabarnya didapat dari sebuah peluru ketepel lawan ketika muda – terasa begitu menakutkan bagi bapak dan kawan-kawan bapak ketika itu.
Tapi musim layang-layang tidaklah datang sepanjang tahun. Setahun, bapak hanya bisa menikmati serunya berburu layang-layang putus antara bulan April hingga September. Ketika hujan jarang datang; ketika angin mengencang; dan musim panen diteruskan menanam padi tiba. Di saat itulah daki-daki di betis bapak semakin tebal. Tiap berangkat ke sekolah, bapak terpaksa harus membasuhkan minyak goreng di kaki bapak yang berdaki, agar rekahan-rekahan yang memalukan itu tersamar. Kaos kaki bapak tidak cukup panjang untuk menutupi rekahan itu. Dan setelah musim penghujan datang, giliran belut yang kami sasar. Perburuan belut sama mengasikkan dengan mengejar layang-layang.
Belut adalah makanan penuh gizi yang orang Jepang gemari. Bapak tidak terlalu menggemari, sebenarnya. Tapi, asyiknya berburu belut adalah kelezatan lain yang jauh lebih ingin bapak cari ketimbang menikmati potongan-potongan daging-daging belut yang gurih itu. Setiap kali menyantap daging belut hasil tangkapan, setiap kali pula ingatan bapak tercerabut saat bersitegang dengan belut, menarik mereka keluar. Membanting cepat-cepat tubuh belut di pematang kering hingga sekarat. Untuk kemudian mengumpulkannya dalam satu ikat temali dari jerami muda yang kuat. Setiap kali bapak mengingat adegan per adegan itu, setiap kali pula hilang selera bapak memakan gurihnya daging belut.
Berburu belut menciptakan daki yang lebih tebal di kaki-kaki kami. Tapi apalah arti sebuah daki ketimbang kenikmatan yang kami peroleh di waktu bocah. Sangat nikmat. Dan bapak minta maaf, belum bisa mengajari kamu untuk mengejar layang-layang atau berburu belut. Maafkan bapak, Kenny!