Soeharto meninggal. Bahkan, prosesi upacara pemakamannya yang konon menghabiskan dua ton kuntum bunga, telah usai. Namun, harus sesedih itukah kita ditinggal Pak Harto?
Saya melongok laga Manchester United versus Tottenham Hotspur ketika semua TV nasional menayangkan kesedihan. Duh, sial. Spurs akhirnya kalah 3-1 meski sempat unggul 0-1 lewat gol Robbie Keane. Sebuah gol penuh energi Carlos Tevez, dan dua gol hasil kecerdikan Christiano Ronaldo mengkandaskan impian pelatih Juande Ramos memboyong Piala FA di tahun pertama kepemimpinan di Spurs. Dan semua televisi nasional, terus berlomba-lomba menyiarkan kedukaan yang serupa.
Saya tak pernah suka Manchester United. Meski harus saya akui, Sir Alex Ferguson menghadirkan permainan yang begitu cantik selama 20 tahun memimpin Setan Merah. Bagi saya, menonton Ryan Giggs dkk berlaga bak menonton sebuah film action yang menegangkan. Film kelar, penonton bubar, dan esok harinya, kitapun lupa setelah muncul film action yang lebih tegang.
Saya juga tidak sedih ketika Spurs akhirnya kalah. Karena toh, klub idola saya adalah Barcelona. Klub yang tak mata duitan. Klub yang bahkan menyumbangkan sebagian penghasilannya untuk UNICEF. Klub yang selalu dan selalu, lebih memilih seniman bola ketimbang selebritis bola.
Pak Harto? Saya melihat sosoknya bak Setan Merah. Digjaya di masa berkuasa. Memanipulasi sejarah dengan kuasa dan harta. Sekaligus sanggup menjadi sosok bersahaja yang mampu menarik hati masyarakat untuk menjadi fans beratnya. Soeharto luar biasa. Tapi, darah dan daging saya yang tak tumbuh dari secuilpun uang pemerintah – karena tak seorangpun keluarga saya yang pegawai negeri – tak rela ketika Soeharto meninggal dan mewariskan utang ke saya sebesar Rp6 juta.
Jika pengusaha Amerika, Malcom Glazer, ngutang Rp13,4 triliun untuk membeli Setan Merah 2005 silam, Soeharto di masa kepemimpinannya juga doyan utang. Tumpuk ditumpuk tumpuk, sebagian utang negara dikorup keluarganya. Sebagian lagi dikorup kroni-kroninya. Dan kita yang tak tahu apa-apa, dipaksa membayar Rp6 juta untuk membayar sebagian utang negara kita yang kini mencapai hampir Rp1.500 triliun.
Tapi, harus sesedih itukah kita ditinggal Pak Harto? Sesedih seperti artis-artis ibukota yang begitu hebatnya berakting di depan kamera: memperagakan adegan tangis-tangisan. Sesedih televisi yang hampir-hampir menayangkan berita Pak Harto berulang-ulang. Sesedih koran-koran yang menampilkan foto-foto Seoharto. Sesedih pejabat-pejabat yang menggunakan anggaran negara, untuk pasang iklan duka cita. Dan kita, tetap punya utang Rp6 juta yang harus terbayar.
Diancok…
Kasus korupsi penyelewengan dana yayasan milik Soeharto harus terus jalan! Tapi sebagai manusia, meluangkan waktu sekejap untuk sekedar membaca Al Fatihah yang pahalanya diperuntukkan kepada Pak Harto, adalah keharusan. Dan saya berdoa kepada Tuhan, “ampuni dosa Soeharto, Tuhan!”