“In an era when money counts for everything, we give hope to everybody.”
Claudio Ranieri, pelatih Leicester City
Saya penggemar bola. Ya gemar bermain, juga gemar menonton! Memang, aneh rasanya jika menemukan seorang bocah yang lahir di Malang, Jawa Timur, pada akhir tahun 70an, yang tidak menyukai permainan menggembirakan ini. Bahkan jika Anda lebih banyak melenceng saat menendang bola sekalipun, jika Anda arek Ngalam (bahasa walikan untuk Malang), Anda “harus” menyukai sepakbola. Anda harus bermain sepakbola di lapangan kampung. Jika tidak bermain sekalipun, minimal Anda duduk di pinggir lapangan, menunggui kawan karib Anda untuk menyelesaikan permainan yang paling menyenangkan ini. Sembari melamun, merancang niat jahat: “jambu” siapa yang kali ini harus digarong!
Jangan mengaku orang Malang jika tak menyukai sepakbola.
Karena memang sepakbola adalah satu-satunya permaian paling memungkinkan di era saya tumbuh. Murah meriah, apa adanya. Badminton ada di urutan kedua.
Seumur hidup, jika saya tak salah ingat, saya hanya pernah punya sebiji mobil-mobilan pakai batre, sebiji pistol-pistolan plastik, serta empat buah bola karet. Semua mainan itu, selalu saya beli setelah Hari Raya Idulfitri, ketika kantong celana tebal oleh “pesangon” dari sanak-saudara. Selebihnya, jika saya tak berenang di kali, cari belut, layangan, atau nongkrong di atas pohon, ya pasti berada di lapangan kecamatan untuk main bola. Entah panas terik, entah hujan badai, jika sudah ada yang mengajak main bola, segala permainan yang sebelumnya saya lakukan, akan dengan senang hati langsung saya tinggalkan.
Klub favorit pertama saya, tentu saja klub desa. Namanya Tumapel Putra. Tumapel adalah nama jalan utama di Singosari, kecamatan kami. Singosari sendiri, merupakan sebuah kota kecamatan yang penuh sejarah awal berdirinya Nusantara. Di kampung kami lah, pemandian Kendedes, tempat Ken Arok pertama kali mengintip Kendedes yang sedang mandi, dan kemudian jatuh hati dan memperistrinya. Dari pernikahan keduanya inilah, kemudian lahir raja-raja besar di Jawa. Dari Majapahit hingga Kesultanan Yogyakarta sekarang. Dari Kerajaan Bali hingga Kasunanan Solo.
Sapa menduga, raja-raja di Nusantara, banyak yang berketurunan dari tukang ngintip dari kampung saya?! Ken Arok yang begal itu.
Di Jalan Tumapel itu sendiri, terletak lapangan kecamatan Singosari. Rumah saya hanya sepelemparan batu dari lapangan itu. Menariknya lagi, meskipun panjang Jalan Tumapel tak lebih dari sekitar dua kilometer, secara antropologis dan geografis terbagi menjadi tiga. Tumapel bagian barat, tempat saya tinggal, lebih banyak dihuni petani, kaum buruh/pekerja kasar, namun juga orangnya lebih ndeso dan religi. Tumapel bagian tengah menggambarkan masyarakat kelas menengah dengan aneka macam profesi, mulai dari PNS, pedagang, guru, dls. Di era saya masih kanak-kanak, jika ada yang menyebut tinggal di “Kampung Baru” bisa jadi mereka anak orang-orang berada.
Sementara di Tumapel Timur yang berdekatan dengan pasar/jalan raya, masyarakatnya lebih majemuk, dengan pendatang (kebanyakan dari Madura) yang cukup banyak. Rata-rata pekerjaan mereka berdagang di Pasar Singosari.
Namun, meski secara geografis terbagi menjadi tiga, lapangan sepakbola di Jalan Tumapel praktis dikuasai oleh warga Tumapel Barat dan Tengah, mengingat letaknya memang di antaranya. Menariknya lagi, keduanya tidak pernah akur, bahkan hingga ke sepakbola. Lapangan bagian timur menjadi daerah kekuasaan warga Tumapel Tengah, sementara sisanya milik kami.
Warga Tumapel Tengah punya klub bernama Pesawat, akronim dari Persatuan Sepakbola Tumapel. Dan ini adalah rival utama Tumapel Putra jika ada kompetisi sepakbola antar-kecamatan. Jika keduanya bertemu, aroma panas antar-kedua pendukung langsung muncul. Isu dukun-dukunan kerap muncul. Dan jika kalah, di antara fans selalu saja ada olok-olok dan isu curang yang menyertainya. Meskipun kemudian di luar sepakbola, kami nongkrong bersama-sama, ngopi sama-sama, ngaji sama-sama. Tumapel Putra sendiri, lebih banyak didominasi pemain lokal, sementara Pesawat (mungkin karena masyarakat kelas menengah dan tidak punya cukup pemain) kerap ngebon pemain lain. Terkadang mereka ngebon pemain-pemain reserve dari Persema/Arema yang “ngamen” cari penghasilan tambahan.
Rivalitas Tumapel Putra dengan Pesawat ini, setidaknya memberi gambaran kecil, kenapa tim-tim sekota selalu menjadi rival utama.
Adalah sebuah kenikmatan menyaksikan pahlawan-pahlawan kampung bermain sepakbola. Seringkali, ketika Tumapel Putra main, saya berusaha merangsak mendekat ke “bench” tempat mereka, hanya untuk bisa melihat peluh-peluh mereka yang membanjir saat istirahat sembari mendengarkan omongan pelatih (yang sebetulnya semua tetangga) yang tengah mengoreksi permainan. Atau melihat pemain-pemain kampung kita disoraki, disemangati penonton, seperti sebuah mimpi terindah yang kelak ingin saya raih.
Kami semua gila bola. Setiap sore, kami (anak-anak hingga orang dewasa) memadati lapangan untuk bermain bola. Tubuh sehat, kesenangan didapat. Jika kompetisi berlangsung (biasanya sebulan penuh saat bulan Agustus), lapangan dipagari gedek (dinding bambu). Saya dan kawan-kawan kerap memakai gang kampung untuk membuka jasa parkir. Tukang kacang panen penghasilan. Tukang bakso gembira bukan kepalang. Metrotrans-metrotran (di Malang disebut mikrolet) carteran berdatangan. Ekonomi berputar. Semua senang, karena sepakbola. Uang dapat, kesenangan dapat, sehat pun didapat.
Belakangan, permusuhan di sepakbola di kampung kami memudar, seiring semakin rekatnya aktivitas kedua warga, serta, YANG UTAMA kondisi lapangan yang tak lagi layak jadi tempat main sepakbola. Itu setelah lapangan dijadikan lokasi sementara pasar, karena pasar utama sedang direnovasi. Namun karena tidak ada biaya, setelah pasar dipindah kembali, pihak kecamatan tidak lagi mampu dan punya biaya untuk mengembalikan kondisi lapangan seperti semula. Puing-puing bekas bangunan banyak berserakan, dan itu membuat kami enggan bermain di sana. Kompetisi tidak lagi jalan. Kedua tim di kampung lagi seaktif sebelumnya. Saat saya sudah mulai membesar, kami bahkan memilih lapangan desa tetanggan untuk bermain. Bulan Maret 2016 lalu ketika saya pulang, saya melihat rumput di lapangan sudah setinggi betis orang dewasa, dan hanya digunakan untuk belajar naik motor atau mobil warga setempat.
***
Apa hakikat olahraga? Jika tubuh ini diibaratkan jutaan irigasi atau parit – baik besar maupun kecil – yang bertebaran di seluruh tubuh, maka olahraga adalah ikhtiar untuk membuat aliran irigasi lebih deras. Tidak percaya? Cobalah kencing setelah jogging setidaknya sejauh dua kilometer. Air kencing akan keluar lebih deras dan lancar ketimbang saat Anda tidak jogging.
Parit yang punya aliran air deras – apalagi airnya bersih – cenderung bersih karena tidak ada sampah yang nyangkut. Sampah-sampah itu, terbawa derasnya aliran parit. Sampah yang nyangkut di parit sendiri, bisa menjadi tempat aneka macam penyakit berkembang biak. Ikan-ikan, di parit yang berair bersih, bisa tumbuh sehat, berkembang biak baik, juga berwarna-warni. Olahraga, hakikat utamanya adalah upaya membikin tubuh sehat. Jika kemudian muncul efek lainnya, seperti kompetisi, pemenang, kebanggaan, ekonomi yang berputar; semua itu adalah “bonus sampingan” yang menyenangkan.
Bayangkan jika di tubuh kita aliran darah tidak deras/lancar, akan banyak sampah yang ngendon di tubuh kita.
Dan, sepakbola adalah olahraga yang paling “masuk akal” yang bisa dilakukan masyarakat Indonesia yang rata-rata berekonomi lemah. Sepakbola adalah olahraga murah, karena cuma berbekal sebuah bola. Bahkan gawangnya pun bisa berupa apa saja. Sepakbola juga tidak butuh tempat khusus, asal ada tanah kosong yang cukup baik kondisinya, sepakbola siap dimainkan. Bahkan jalan kampung pun, kerap jadi lapangan dadakan. Sepakbola juga bisa dimainkan dengan banyak orang. Sifatnya yang berupa “game”, memberi peluang menciptakan kesenangan.
Bagi masyarakat Jepang di era tahun 80-an, sepakbola adalah hal asing. Bahkan J-League (liga teratas Jepang) baru diperkenalkan pada tahun 1993. Bandingkan dengan klub profesional kebanggaan kota Malang, Arema, yang sudah berdiri sejak 1987. Liga Jepang, dulu bahkan sempat belajar dari kompetisi Galatama yang sempat beken di Indonesia. Tapi lihatlah kini perkembangan sepakbola di Jepang. Saat tulisan ini saya susun, ranking FIFA menempatkan Indonesia di peringkat 185, sementara Jepang duduk manis di peringkat 57. Untuk negara yang begitu cinta sepakbola seperti Indonesia, seharusnya, jika sejak awal sepakbola diurus dengan benar (minimal tidak dikorupsi gila-gilaan), saya yakin Indonesia bisa berada di peringkat 20 besar FIFA.
Harusnya kita malu dengan tim sekelas Kostra Rika, yang miskin dan penduduknya tak lebih banyak dari Malang, dan mereka bisa ikut Piala Dunia.
Peringkat FIFA sangat berarti, bukan sekedar ajang mejeng-mejengan. Karena peringkat ini, secara tak langsung akan berimbas pada perkembangan sepakbola, hasrat individu pemain, serta ekonomi satu negara. Seorang yang ingin bermain di Liga Primer Inggris misalnya, harus datang dari negara yang berperingkat FIFA 75 ke atas.
Negara-negara lain di kompetisi top di Eropa juga memberlakukan hal serupa, meski berbeda standarnya. Jadi, akan sangat sulit, bahkan seandainya seorang sehebat Wayne Rooney, lahir di Indonesia, dia mungkin tak bisa main di Manchester United.
Untuk bisa bermain di Inggris, biasanya seorang pemain yang berasal dari negara berperingkat FIFA di atas 75, harus mengantongi izin kerja dari negara Eropa lain (yang standarnya lebih rendah) terlebih dahulu, atau minimal berada di Inggris selama lima tahun sebelum bermain untuk mendapatkan izin kerja/paspor lokal. Anda mungkin bisa melihat contoh seorang Arthur Irawan, pemain berdarah Indonesia ini, harus hengkang ke Espanyol karena tak bisa mengantongi izin kerja di Inggris.
Saya sempat mencari informasi tentang berapa penghasilan pemain terbaik dunia saat ini, Lionel Messi. Anggaplah harta Messi tahun lalu sekitar Rp2,6 triliun, dengan penambahan per tahunnya mencapai US$74 juta (menurut Majalah Forbes), yang berarti akhir tahun ini kekayaannya bisa mencapai Rp3,5 triliun. Bayangkan jika kekayaan Messi itu tersimpan di satu bank di kota Malang. Kota terbesar kedua di Jatim itu, bakal punya simpanan uang hampir tiga kali lipat dari APBD tahun 2014. Karena Messi cuma makan tiga kali sehari, maka, 99,9999999999999999999 (terserah Ente kasih berapa sembilannya) persen harta Messi bakal tersimpan saja. Uang itu, oleh bank kemudian bisa diputar untuk dipinjamkan ke banyak bidang usaha. Untuk membangun jalan raya. Membangun museum-museum, perpustakaan. Memberi modal usaha kecil. Membangun tempat-tempat olahraga, lapangan sepakbola. Dan banyak hal lainnya yang bisa dilakukan. Bayangkan, berapa juta orang yang bisa mendapat manfaat dari uang Messi yang disimpan di Malang.
DUIT BESAR CHINA
Awal 2016 ini, dunia sepakbola dikejutkan transfer gila-gilaan sejumlah klub Chinese Super League (CSL) atau Liga Super China. Situs Fox merinci, tak kurang dari Rp2 triliun dikeluarkan klub-klub China untuk memboyong beberapa pemain Eropa. Di antaranya Gervinho (AS Roma), Ramires (Chelsea), Demba Ba (Besiktas), Alex Teixeira (Shakhtar Donetsk), dan Jackson Martinez (Atletico Madrid).
Diberitakan di situs Mirror, 12 Februari 2016, pembelian bukan hanya dilakukan klub yang didukung pengusaha kaya, tapi juga CSL yang kemudian menyalurkannya ke klub. Cara itu juga dilakukan Major League Soccer untuk mengembangkan sepakbola di Amerika Serikat. CSL yang notabene kepanjangan pemerintah, mampu membeli pemain berapa pun harganya. Pemerintah China yang saat ini memang kelebihan uang, menyediakan stimulus sebesar USD850 miliar atau Rp11.000 triliun, untuk mewujudkan ambisi menjadikan China sebagai negara terdepan dalam sepakbola.
Jika Indonesia kini dikhawatirkan dengan isu datangnya pekerja-pekerja dari China, di dunia sepakbola, kompetisi-kompetisi dunia patut khawatir dengan gebrakan China ini. Jika China saja sudah melirik sepakbola untuk mendongkrak ekonomi mereka, percayalah, olahraga ini memang betul-betul menguntungkan dari sisi manapun.
Apakah China membidik juara Dunia? Sebagaimana Jepang yang menargetkan menjadi juara dunia pada tahun 2050? Tentu saja mereka akan sangat gembira jika bisa menjadi juara dunia. Tapi lihatlah Jepang, mereka mematok waktu lebih dari 60 tahun untuk target itu, dan ini sepertinya guyon saja. Tidak, dengan target selama itu mereka tidak benar-benar ingin menjadi juara dunia. Mereka hanya ingin, sepakbola menjadi populer di negara mereka, menyehatkan dan menggimbarakan rakyat mereka. Mampu menumbuhkan aneka bisnis serta gerak maju ekonomi. Dan itu yang seharusnya menjadi esensi sebuah olahraga dikembangkan.
Masyarakat China tidak gemar sepakbola. Begitu juga masyarakat Jepang ataupun Amerika Serikat. Tapi masyarakat Indonesia, sudah memiliki modal paling hebat yang harus dimiliki sebuah masyarakat bola: kegilaan masyarakatnya pada sepakbola. Tapi modal itu justru disia-siakan negara dan pengelola sepakbola Indonesia. Lapangan tidak diurus. Kompetisi amburadul. Peringkat FIFA memalukan.
Sepakbola Indonesia harus malu, ketika seorang pemain nasional di masa pensiunnya terpaksa daftar jadi anggota Gojek.
***
Kalimat paling awal yang saya tulis, saya kutip dari omongan Claudio Ranieri yang dipublikasikan situs Dailymail, belum lama ini. Kalimat pelatih Leicester City itu seperti ejekan yang ditujukan pada klub-klub besar seperti Manchester City, PSG, Real Madrid, Manchester United, Barcelona, dan bahkan rival Leicester paling alot musim ini, Tottenham Hotspurs; yang menggelontarkan duit jutaan dolar untuk mengejar gelar. Leicester menjadi juara Liga Primer, dengan mengandalkan mantan buruh pabrik di diri Jamie Vardie; Riyad Mahrez yang cuma dibeli 750 ribu poundsterling (data dari situs transferleague). Bahkan total nilai 50 pemain Leicester (termasuk pemain junior/cadangannya) yang diwariskan pada Ranieri, pada 2015 lalu, cuma sebesar 26 juta poundsterling. Bandingkan dengan seorang Mesut Ozil, yang harud ditebus Arsenal dari Real Madrid, seharga 42.5 juta poundsterling, 2013 lalu.
Leicester juara Liga Primer hanya bermodal 26 juta! Jiancuk tenan…, bukan!
Siapa yang percaya dongeng Leicester ini? Bahkan rumah-rumah judi sebelum Liga Primer 2015-16 bergulir, memberikan nilai taruhan 1 berbanding 5.000 untuk peluang Leicester juara. Ini jelas ngece, mengejek banget!Nilai ini menjelaskan, betapa dianggap mustahilnya peluang “Si Rubah” menjadi juara Liga Primer 2015-16.. Jika Anda dulu bertaruh uang sejuta saja untuk Leicester juara, Anda mungkin sekarang akan menang dengan tabungan sebesar Rp5 miliar. Tapi tampaknya tidak ada seorangpun yang menang, karena tidak ada seorangpun yang percaya Leicester bisa juara.
Kini, semua dunia melongo. Semua klub kaya melongo. Semua yang mempercayai teori “hanya uang yang bisa membeli juara” juga melongo. Jose Mourinho yang gemar beli pemain jadi nan mahal, pasti sedang terbengong-bengong tak percaya, juga melongo. Barcelona, klub favorit saya, namun kini seperti sebuah “klub bodoh” yang kehilangan jiwanya karena terus menerus tak mampu menolak kenaikan gaji pemain-pemain bintangnya, juga saya yakin sedang melongo.
Leicester, membuat semua orang yang mencintai sepakbola, akan lebih mencintai permainan ini. Dan seperti kata Ranieri, di era di mana uang adalah segalanya, Leicester telah memunculkan sebuah harapan. Harapan, yang kata bek Leiceter, Christian Fuchs, “sebetulnya (kami bermain dan jadi juara) hanya karena kami tak lupa untuk bersenang-senang.”
Sepakbola, seharusnya memang untuk bersenang-senang!
Foto minjam Situs Mirror.UK.