: Pesan Leicester untuk Dunia
Arema? Hanya orang-orang GOBLOK yang MASIH mendukung Arema! Maaf, bahasa saya sedikit kasar, karena saya asli Malang. Orang asli Malang memang tak pernah benar-benar bisa ngomong dengan sopan. Dan setiap orang Malang tahu, tak perlu meragukan cinta orang Malang pada Arema.
Tapi ketika tanah kosong-tanah kosong di Malang disulap jadi perumahan, lapangan-lapangan jadi mall-mall, bagaimana cinta ini harus terus ada jika justru Arema kerap dijadikan ALAT kampanye sebagian orang untuk MERUSAK MALANG SENDIRI? Merusak anak-anak Malang penggila bola seperti saya, yang tak tahu lagi harus bermain bola di mana?
Lapangan di kampung saya, rumputnya sudah sepaha orang dewasa, pertanda sudah lama tidak dipakai main bola. Di situ, dulu, pemain-pemain Arema dan Persema, di waktu senggang kerap “ngecer” main di kompetisi tarkam, dan saya selalu begitu kagum dengan mereka. Lapangan itu, yang kini wajahnya berbatu-batu bekas pondasi relokasi pasar lama, tampaknya tak pernah benar-benar bisa dirawat. Mungkin karena pemerintah di sana tak pernah mau mengeluarkan uang untuk merawat, karena tidak benar-benar tahu, seperti apa cinta warganya pada sepakbola. Mereka, di musim kampanye hanya bisa berteriak “Ayo.. pilihlah saya! Agar Arame bisa jaya!” Lalu setelah terpilih, justru lapangan-lapangan umum terbengkalai, atau “disulap” jadi ruko-ruko yang dimiliki orang kaya dari luar Malang.
Siapa sudi bermain bola di atas bongkahan pondasi? Siapa yang kini sudi mencintai Arema? Tampaknya hanya orang GEBLEK saja yang masih demikian.
Saya kini, memilih menaruh hati pada Leicester City, klub Inggris yang lagi naik daun itu. Klub yang sama-sama punya warna biru sebagai seragam utamanya. Apalah arti sebuah lokasi, entah di Malang… entah di Singapura…. entah di Leicester sana! Jika SEBUAH PESAN HEBAT tengah bergaung dari sana. Pesan Si Rubah (julukan Leicester) yang seolah-olah berteriak pada dunia, “what the hell with your money! Ayo…, ke sini, walau sejenak, nikmati sepakbola ini! Nikmati saja! Persetan dengan uang minyak para seikh Arab geblek itu!
Sudah terlalu lama, dunia terlena dengan segala macam bentuk rekor, entah pemain termahal, klub terkaya, pemain bergaji selangit. Hingga melupakan nikmatnya sepakbola yang sederhana: ada lapangan, ada bola, ada orang-orang yang memainkan, dan mari bergembira!
Leicester, walau mungkin cuma semusim ini berjaya, setidaknya memberi pelajaran, bahwa uang bukan segala-galanya di dunia sepakbola. Satu-satunya dunia, yang bahkan jika saya dilahirkan kembali, saya akan memohon pada Gusti Allah, agar saya dijadikan pemain bola. Sebuah permaianan, yang hingga kini setiap kali saya mainkan, rasanya selalu sama dengan berpuluh-puluh tahun silam: gembira!
Apakah saya masih mencintai Arema? Tentu saja, Cuk!
* Foto lapangan di kampung saya yang kini lebih banyak dipakai untuk belajar nyetir motor/mobil, dan tempat sampah. Diambil Maret 2015.