Itu sekitar kelas satu SMA, tahunnya 1995. Ketika saya terpaksa ke Comboran, untuk membeli sepatu bola. Di pasar loak paling beken di kota Malang itu, pilihan saya jatuh pada sepasang sepatu hitam berpelet hijau tipis. Mereknya Puma. Tentu saja baru dan palsu! Lha wong harganya cuma Rp5 ribu. Murah banget. Sebagai perbandingan, harga sepatu bola kawan saya yang Adidas asli, ketika itu, Rp250 ribu.
Saya memilih merek Puma, karena itu model yang paling sederhana. Tidak menyolok mata. Sepatu yang terpaksa saya beli, karena di sekolah saya telah memilih ekstra-kulikuler sepakbola. Sebelumnya, walau gila bola, saya tak tak pernah main bola dengan sepatu bola. Biasanya nyeker saja. Main dengan bertelanjang kaki di lapangan kampung bersama kawan-kawan kampung. Atau pakai sepatu sekolah jika sedang bermain bola bersama kawan-kawan sekolah.
Itu sepatu tak bertahan lama. Maklum palsu. Juga sangat tidak nyaman. Kalau main saat hujan, terasa berat sekali. Bahan kulit murahannya sadis menyerap air.
Hancur sepatu Puma, sepatu kedua yang saya beli adalah Copa Mundial-nya Adidas yang melegenda itu. Kali ini aseli. Tapi sekend. Hehe… Seken yang nyaris tak layak pakai, tapi entah kenapa, masih sangat enak di kaki saya. Harganya Rp7 ribu.
Seorang tetangga sepantaran yang juga kawan main menawari itu sepatu sambil setengah membujuk. Awalnya ditawarkan Rp15 ribu. Namun deal di angka 7 ribu, dan itupun jika tak salah ingat, saya bayar dua kali. Ia buru-buru menjual karena butuh uang untuk beli miras. Juga saya tahu, itu bukan sepatu dia. Karena dia tak gemar main bola.
Setelah itu saya tak lagi main bola. Kuliah dan kerja menyita sebagian besar waktu saya. Di Batam, sebetulnya saya sempat main bola bersama kawan-kawan kantor. Tapi cuma ketika akan turnamen antar-perusahaan saja. Saya ingat pernah membeli sepatu bola lagi. Tapi lha kok ndilalah…, saya lupa mereknya. Yang saya ingat warnanya putih. Tentu saja asli, kan sudah mampu beli sepatu sendiri. Hehe…
Di Singapura lah saya kerap membeli sepatu bola. Sejak saya di sini sepuluh tahun lalu, saya sudah membeli sepatu bola sembilan kali. Tentu saja semuanya asli. Hehehe. Tapi…ststststs…., saya sering beli bukan karena saya banyak duit atau gemar belanja!>>!>! Bukan!
Meski harga sepatu bola yang bagus di sini mahal-mahal, tapi saya bisa mendapatkannya dengan sangat-sangat murah. Karena semua sepatu yang saya beli, sepatu seken. Seken rasa baru. Beberapa di antaranya, saya beli untuk saya jual kembali. Hehe.
Orang Singapura itu unik. Banyak di antara mereka, adalah tukang belanja yang impulsive. Kalau lihat ada diskonan misalnya, perlu tak perlu barang yang didiskon, mereka mudah keluar uang untuk membeli. Umpama ada kawan bilang “oh… merek itu bagus!” mereka dengan entengnya segera ikut membeli. Tanpa memikirkan apakah cocok untuknya atau tidak.
Dan, di jaman belanja on-line ini, ke-impulsive-an mereka kian menggila.
Mereka kerap membeli sesuatu, termasuk sepatu bola, tanpa benar-benar tahu dipakai untuk apa itu sepatu setelah dibeli. Juga kerap salah ukurannya.
Lalu, tentu saja, sifat orang Singapura ini memberi keuntungan bagi orang-orang melarat dan suka barang-barang murah seperti saya.
Di marketplace, gampang saja saya menemukan sepatu bola baru (atau nyaris baru) yang dijual pemiliknya karena salah ukuran ketika membeli. Atau karena ia tak suka. Atau karena sepatu hadiah dari seseorang.
Sepatu Puma One (di foto) ini misalnya. Yang sudah melayani saya sekitar dua tahun belakangan. Saya beli cuma 40 dolar dari seorang bule cantik yang baru memakainya sekali. Padahal harga barunya, saya lihat di marketplace, mencapai 230 dolar.
Minggu kemarin, adalah hari terakhir itu Puma melayani saya. Sebelum akhirnya “harus” saya buang karena sebagian jahitan sol sepatu bagian kiri koyak. Itu karena saya yang penendang kaki kanan, selalu salah tendang ketika memakai kaki kiri. Maksud hati nendang bola, yang tertendang malah rumput atau tanah. Alhasil, ya koyaklah itu sepatu. Koyak sedikit sebetulnya. Tapi tidak lagi menyenangkan. Setiap kali hujan, air masuk hingga ke dalam.
Membawanya ke tukang reparasi sepatu, bukan solusi yang cerdas. Mengingat harga menjahit sepatu mahalnya naudzubillah. Terakhir, saya harus mengeluarkan uang 38 dolar untuk menjahitkan sepatu boot sekend saya. Padahal belinya cuma 20 dolar!
Lagipula saya juga sudah mendapat ganti sepatu yang baru. Sekend tapi baru maksudnya. Hehe. Dua pekan lalu saya beli sebuah Nike Phantom GT yang baru dipakai sekali cuma seharga 60 dolar. Kondisinya benar-benar mint. Saya bahkan tidak bisa membedakan apakah ini baru atau pernah dipakai.
Ketika saya tanya ke penjualnya, kenapa dijual?
“Saya beli untuk anak saya. Tapi setelah beli, dia malah tak mau lagi main bola,” jawabnya. Dalam hati saya membathin, untung besar nih. Beli sepatu seharga 250 Euro cuma dengan 60 dolar saja.
Pantas saja ada banyak orang Batam, khusus berburu sepatu bola di Singapura (saya pernah menjual sebiji ke dia).