Seperti kata “cebong” yang pikiran kita tak lagi memaknainya sebagai “anak katak”.
Kata “girang” pun terpaksa memikul beban yang lebih berat ketimbang “saudara-saudara” lainnya seperti “sukacita”, “riang”, atau “gembira”.
Otak kita, akan dengan otomatis memaknai secara negatif frasa “tante girang”. Bahkan, sebelum kita benar-benar mengenal itu tante, otak bawah sadar kita telah berhasil dipaksa untuk menduga-duga hal-hal yang cabul.
Betapa bahayanya bahasa!
Sialnya, potensi bahaya itu justru dimanfaatkan dengan sangat baik oleh politikus-politikus Indonesia. Dimanfaatkan untuk menjegal lawan! Untuk merusak image pesaing! Untuk mengaburkan kenyataan! Atau lebih dari itu, dimanfaatkan untuk diri sendiri, agar citranya bisa sekinclong pantat wajan yang baru beli. Meski aslinya, si politikus lebih pantas disamakan dengan lubang jambang. Apalagi sekarang, begitu banyak jasa-jasa “ahli bahasa” yang melacurkan kemampuan mereka, untuk membuat wangi para politikus “lubang jambang” itu.
Jangan terjebak pada bahasa yang mereka pakai! Salah satu trik agar tidak terjebak, pilihlah politikus yang punya istri dan anak-anak yang baik dan berbudi pekerti.
Pilihlah politikus yang istri atau suaminya bergaya hidup sederhana!
Pilihlah politikus yang anak-anak mereka tidak dimanja!
Pilihlah politikus yang biasa menceboki pantat bayinya, biasa mencuci sendiri mobilnya, biasa belanja ke pasar basah. Biasa ikut kerja bakti di RT. Biasa ikut ronda.
Karena dari keluarga dan lingkungan sekitarlah, kita bisa lebih mudah MERABA, seperti apa sesungguhnya calon pemimpin yang akan kita pilih. Salah memilih, itu bisa menjadi malapetaka!