Buku tipis warna hijau bergambar lambang Nahdlo(a)tul Ulama itu adalah buku favorit saya. Saat belajar di SD Almaarif 2, Singosari, Malang.
Gairah membaca yang, entah, timbul dari mana, sedikit terlampiaskan manakala membuka buku itu. Buku warisan kakak, Irma, yang juga sekolah di tempat yang sama. Saya menyukainya, mungkin karena isinya yang enak dibaca. Berisi sejarah berdirinya NU, juga tokoh-tokohnya.
Di jaman itu, memang, perpustakaan sekolah sangat minim mengoleksi buku-buku yang enak dibaca. Saya selalu kecewa manakala pegi ke perpustakaan SD, dan mendapati koleksinya yang kebanyakan didominasi buku-buku agama yang rigid. Paling, perpustakaan sekolah hanya punya koleksi serial Lima Sekawan, dan itupun semuanya sudah saya baca.
Sejak kelas lima, di SD ada pelajaran ke-NU-an. Itu mungkin karena sekolah kami, ada di bawah naungan yayasan pendidikan NU. Ketua yayasannya pernah dijabat oleh KH Tholhah Hasan, mantan Menteri Agama era Gus Dur itu.
Setiap murid, saat pelajaran ke-NU-an, wajib membawa buku hijau itu. Saya mmenyukai buku itu, mungkin juga karena faktor Bu Mufidah. Guru pengajar ke-NU-an yang penyabar, dan bisa mengisahkan sejarah NU dengan menyenangkan.
Maka, jadilah saya NU sejak SD. Ini seperti takdir yang tak bisa diubah. Sebagaimana takdir saya menjadi Muslim, menjadi orang Jawa, menjadi Indonesia. Walau seumur hidup, saya bahkan tak pernah mengunjungi kantor NU kecamatan, apalagi menjadi anggota resmi, dan mengantongi kartu anggota.
Pernah sekali saya ikut rapat IPPNU (ikatan pelajar di NU) di rumah seorang anggota senior karena diajak seorang kawan yang telah menjadi anggota. Tapi, sekali saja, setelah itu ogah. Saya memang tidak menyukai kegiatan berorganisasi. Ndak bisa bebas merdeka!
Tapi memang, untuk masyarakat jelata seperti saya, menjadi NU itu tidak PEDULI apakah terdaftar atau tidak. Tidak peduli apakah punya kartu anggota atau tidak. Yang penting “nderek kyai”, mengikuti kyai. Meneladani para ulama. Dalam hal ini, MENJADI NU, tentu saja meneladani kyai-kyai di lingkungan NU atau mereka yang “senafas” dengan NU.
Nahdlotul Ulama – saya lebih suka memakai huruf O sebagai pengganti huruf dhot – memang organisasinya para kyai. Dari segi bahasa saja, frasa “Nahdlotul Ulama” bisa diartikan sebagai “kebangkitan para ulama”. Bukan kebangkitan umat! Bukan kebangkitan rakyat jelata seperti saya! Bukan kebangkitan para tani! Buruh! Apalagi politikus! Karena kebangkitan para ulama, maka di organisasi NU, tentu saja isinya para kyai. Kyai-kyai kampung. Atau setidaknya anak-anak kyai. Juga orang-orang yang telah “dikyaikan/diustadkan” oleh masyarakat sekitar. Bukan diustadkan oleh sosial media, apalagi oleh media massa dan acara pencarian ustad di tivi-tivi.
Pertanyaan berikutnya;
“kenapa harus mengikuti para ulama? Kenapa harus mengikuti kyai-kyai kampung yang dianggap kampungan itu?”
Saya masih menangi – menjadi saksi – kyai-kyai NU yang memang patut menjadi suri tauladan di kampung saya, di kota saya. Kyai, di kampung, itu statusnya jauh melebihi kepala desa atau pak lurah (yang dipilih negara) sekalipun. Jauh melebihi anggota DPR! Seumur hidup, saya dan orang-orang jelata seperti saya, tak mengenal – atau mungkin tak peduli – siapa lurah di kampung saya. Tapi, itu tidak berlaku pada kyai. Kami harus mengenali, menghormati, sekaligus mengagumi para kyai kami.
Itu karena kyai TIDAK HANYA berperan sebagai “orang yang punya pengetahuan lebih soal agama”. Kyai, di masa itu, adalah mereka yang ilmu agamanya mumpuni, dan kuat bertirakat. Kyai, di masa itu, adalah tempat bagi siapa saja anggota masyarat, datang membawa masalah mereka. Minta bantuan doa. Minta nasihat masalah keluarga. Meminjam duit. Mencarikan jodoh. Memimpin tahlilan. Menguburkan orang mati. Dls.
Kyai, di masa itu, adalah orang yang menerima dengan tangan terbuka dan senyum lebar siapa saja yang datang padanya. Pada wong cilik maupun wong besar. Pada para mursal maupun mereka yang gemar beramal. Kyai, di jaman itu, adalah orang-orang yang penuh wibawa dan anggun saat berceramah di mimbar Jum’at; untuk kemudian setelah itu, mengganti jubahnya dengan celana kotor panjang tigaperempat dan pergi mencangkul sawah mereka.
Kyai di jaman itu, adalah orang yang begitu ketat menjalankan aturan agama pada DIRI MEREKA SENDIRI dan keluarganya, namun di saat bersamaan, sangat fleksibel dan arif pada masyarakat yang memang berbeda-beda pemahaman agama mereka.
Kyai, di era itu, adalah mereka yang selalu bicara kromo inggil, pada siapa pun lawan bicaranya. Itu kenapa, Gus Dur, dalam banyak tulisannya di kolom media massa era 80an, gemar mengangkat kisah hidup kyai-kyai kampung, yang memang harusnya mendapat tempat istimewa di tatanan kehidupan masyarakat Indonesia.
Kebangkitan para kyai, sebagaimana niatan NU didirikan, tidak lain dan tidak bukan untuk kemaslahatan masyarakat. Bukan menjadi tujuan kepentingan kyai itu sendiri. NU bukan tempat orang mencari hidup, apalagi memanfaatkannya untuk kepentingan politik. Kyai adalah instrumen utama dalam NU, yang mendesain diri untuk terus menjaga umat, serta ikut serta memecahkan setiap persoalan yang ada.
Bulan lalu, ketika berjumpa dengan seorang kawan di Singapura, tiba-tiba ia bertanya “apakah (gaya dan pemahaman) Gus Dur itu representasi dari NU itu sendiri?” Ia bertanya demikian, mungkin karena tahu saya orang NU. Saya jawab sebisa mungkin.
Di NU, sepengetahuan saya, ada begitu banyak gaya dan karakter kyai yang berbeda. Ada kyai NU yang keras dan fundamental, tak sedikit pula yang ramah dan bisa mengakomodasi apa saja. Ada kyai yang mengharamkan diri mereka dan keluarga menjadi PNS (karena mereka menganggap sumber gaji PNS ada yang subhat), tapi juga banyak kyai yang liberal.
Perbedaan karakter kyai di lingkungan NU, tidak pernah menjadi persoalan, karena satu di antara mereka tetap menjaga sopan santun dan akhlak yang baik. Perbedaan itu, justru menjadi berkah bagi masyarakat, agar mempunyai banyak pilihan meneladani seseorang, sesuai tingkat pemahaman mereka.
Segenap rasa dan pengalaman yang saya alami inilah, yang menjadikan saya tetap menjadi NU. Mencintai NU. Menjadikan NU sebagai kultur kehidupan saya. Meski, KINI, tentu saja, dengan begitu banyaknya orang-orang yang menganggap diri mereka “kyai”, saya harus terus bisa menyeleksi, mana kyai-kyai yang bisa saya teladani, mana yang tidak.
Saya harus terus meneladani para kyai, karena miskinnya ilmu dan pemahaman saya pada apa saja.
Seabad sudah NU men-ada. Apa pun kontribusi kita, tetaplah menjaganya.
Catatan: foto buku pelajaran ke-NU-an semasa saja SD.