Salah satu hal paling berat ketika punya keluarga yang tidak sekota adalah ketidakmampuan kita untuk tiap hari memantau perkembangan anak. Setiap kali pulang ke Singapura, sepekan sekali – kadang malah dua pekan sekali – saya selalu merasa berdosa ketika anak kami yang kini berusia empat tahun, Ken, sudah bisa melakukan hal yang tak saya deteksi sebelumnya. Ketika tiba-tiba ia bisa menyebut huruf “a” pada satu tulisan kalimat saat ia berusia tiga tahun, saya kaget.
Saya bertanya, siapa yang mengajari dia?
Keterkejutan itu kian menjadi-jadi ketika beberapa saat kemudian ia bisa menunjuk dengan betul seluruh huruf alfabet. Ia juga bisa menghitung angka demi angka, dan hafal nyaris semua nama kendaraan alat berat yang ada di buku perpustakaan yang kami pinjamkan untuknya. Padahal sejauh ini kami tak pernah mengajarinya. Istri saya tidak, saya apalagi. Istri saya adalah guru anak-anak, yang percaya bahwa usia di bawah tujuh tahun, anak sebaiknya tak perlu dipaksakan untuk belajar membaca atau menulis.
Tapi memang, kami selalu membelikan berpuluh-puluh VCD yang berisi aktifitas bermain sekaligus belajar. Bahkan kami sampai harus memesan ke Amerika Serikat dan Inggris agar mendapatkan VCD sesuai harapan kami.
Jangan keburu berprasangka buruk bahwa saya pamer soal pendidikan anak kami. Pembaca mungkin mengira, kami harus menghabiskan banyak uang untuk membeli VCD hingga Amerika Serikat! Tidak. Bahkan VCD-VCD yang kami pesan dari Internet itu, tak jarang jauh lebih murah ketimbang sekali kami membawa si Ken ke Timezone di Megamall. Mendidik anak tak selamanya mahal! Bahkan saya kerap berburu mainan-mainan berkualitas bagus di Pasar Sekend Aviari, Batuaji. Sekantong plastik besar mainan di Aviari, jika beruntung saya bisa menebusnya seharga dua bungkus Lucky Strike, rokok kesukaan saya.
Murah bukan?
Selain kejutan-kejutan yang diberikan Ken, keluarga beda negara seperti saya seringkali kebiasaan-kebiasaan kecil menjadi masalah namun mengasyikkan. Satu di antaranya kerap terjadi saat saya menemani ia bermain. Menyusun huruf untuk menjadi kata-kata dengan huruf-huruf plastik bermagnet adalah salah satu permainan yang dia suka. Selain tentunya memainkan koleksi mobil dan Thomas and Friend miliknya.
Mengingat kami tumbuh dan terbiasa dengan bahasa yang berbeda, kami sering beda persepsi soal huruf. Ketika dia minta saya dicarikan huruf “E” misalnya, saya justru memberikan huruf “I”.
Tentu saja dia protes. “I say ‘i’ Papa, not ‘ai’!” Seringkali dia protes demikian. Di benak saya ketika itu, bukankah huruf “i” yang dia minta tadi memang huruf “i”? Oh, sialan, saya lupa bahwa dia menyebut dan mengeja dengan aksen Inggris. Sementara saya mengartikannya dalam pelafalan Indonesia. Huruf E dalam sebutan Inggris memang dilafalkan “i”. Sementara otak kampungan saya menangkap perkataan anak saya sebagai huruf I.
Alhasil, justru dia yang bukan belajar dari saya. Melainkan sayalah yang seringkali mencuri pelajaran dari Ken. Bahasa Inggris saya yang amburadul, kini sedikit demi sedikit berkembang setelah Ken sudah mulai bisa saya ajak ngobrol. Dia kerap mengucapkan kosakata-kosakata baru yang sebelumnya jarang saya cermati. Tentu saja saya harus cermati betul, agar saya bisa berkomunikasi dengan dia.
Saya mengajari dia bahasa Indonesia. Terkadang juga saya menyisipkan satu-dua kata bahasa Jawa dalam obrolan kami. Seringkali dia tak mengerti. Tapi dia punya cara sendiri untuk mengartikan satu-dua kata Indonesia – atau Jawa – itu. Yakni ketika dia menangkap keseluruhan kalimat yang saya ucapkan, serta bahasa tubuh yang saya tunjukkan. Alhamdulillah, beberapa kata umum Indonesia kini sudah sering mewarnai percakapan-percakapan kami.
Dari pihak ibunya, selain bahasa Inggris yang menjadi bahasa sehari-hari, Ken juga mendapat pengaruh bahasa China. Sama seperti ia belajar bahasa Indonesia, ibu atau neneknya sering menyisipkan satu-dua kata dalam percakapan mereka. Pernah saya terkejut ketika tiba-tiba dia bernyanyi dalam bahasa China. Saya tanya pada istri saya, apa yang dia nyanyikan? Istri saya menjawab, itu kan lagu China yang biasa dinyanyikan di nursery tempat dia belajar tiap hari.
So, ketika tiap pekan pulang ke Singapura, saya kerap harus siap-siap kejutan apa lagi yang diberikan si Ken?!
Seperti keterkejutan yang pekan lalu saya dapatkan. Ketika Minggu lalu saya harus menghadiri satu acara puncak The Joy of Reading, di Perpustakaan Nasional Singapura di daerah Bugis. Saya terkejut ketika SMS istri saya yang bertanya apakah jadi datang ke acara hari Minggu itu? Ah, saya yang lupa dan pekan itu tidak berencana pulang ke Singapura segera mengemas paspor, berangkat dengan feri paling awal yang bisa saya kejar.
Saya salah satu dari 10 ribu bapak yang beruntung mendapat door-prize karena aktif membacakan anak buku cerita. Di panggung, saya dan Ken disambut jabatan tangan hangat oleh Menteri Negara Informasi, Komunikasi, dan Kesenian Singapura, Grace Fu Hai Yien. Saya sepertinya menjadi satu-satunya orang asing yang naik ke panggung ketika itu.
Joy of Reading adalah program pemerintah Singapura yang bertujuan menumbuhkan rasa cinta anak-anak usia 4 sampai 10 tahun terhadap buku bacaan. Di tengah maraknya acara televisi, dan gampangnya mengakses internet, mereka takut, kebiasaan baik yang terbukti telah membuat satu negara lebih maju, yakni gemar membaca, akan menghilang. Singapura adalah salah satu negeri dengan akses Internet terbaik di dunia. Di rumah-rumah penduduknya, sudah terpasang internet berbasis serat optik. 95 persen pemakain HP di sana juga tercatat sebagai pemakai smartphone yang bisa mengakses Internet dengan mudah. Kira-kira inilah yang kemungkinan menjadi kekhawatiran pemerintah Singapura, bahwa kelak rakyatnya tak lagi gemar membaca.
Memang, lewat Internet kita juga bisa membaca buku! Tapi, unsur hedonis yang ditawarkan Internet terbukti jauh lebih menggiurkan ketimbang nilai edukasinya. Dan saya setuju, Internet tak membuat seseorang bisa gemar membaca.
Saya cukup gemar membaca. Saya juga ingin anak saya melakukan hal demikian. Untuk itu, di tengah singkatnya waktu kepulangan saya ke Singapura tiap pekan, saya berusaha sebisa mungkin membacakan buku cerita di setiap kali Ken akan tidur. Meskipun kadang dia protes karena pelafalan yang saya ucapkan tidak sama dengan yang diucapkan ibunya. Jika sudah demikian, terpaksalah istri saya yang mengambil alih tugas membacakan buku untuknya.
*Untuk Tabloid Dia terbitan 25 September 2011
Foto: Ken dan alfabet-nya.