SAAT beranjak gedhe, dulu, saya ingin sekali punya jenggot. Kayak rocker idola yang posternya biasa dijual di pasar-pasar malam. Saking pinginnya, saban hari janggut ini saya olesi cairan lidah buaya. Yang katanya manjur untuk penyubur rambut.
Saya juga beli obat penumbuh rambut. Yang sekaligus – kata si pengiklan – cespleng untuk menumbuhkan jenggot.
Tak sampai di situ ikhtiar memiliki jenggot. Saban hari sepulang sekolah, saya pergi ke Kali Kembang, dan di sepanjang pinggirnya, cari lubang kolojengking. Dengan lidi daun kelapa yang masih hijau, dan ujungnya dibuat simpul hidup untuk jerat, acara mancing kolojengking pun segera dimulai. Lidi dimasukkan ke lubang rumah kolojengking, saat si empunya terganggu, segera menyerang lidi dengan capitnya. Begitu capit masuk simpul, lidi segera ditarik, dan kena lah si kolojengking.
Tak butuh lama untuk sekedar cari empat-lima biji. Cukup untuk menu panggang yang kemudian minyak yang keluar dari tubuh kolojengking segera diambil dan dioleskan ke janggut. Sebagai obat tumbuh jenggot lebat, sebagaimana kata tukang jual jamu kakilima yang saban hari pasaran datang ke pasar kami di Singosari, Malang, Jawa Timur.
Sampai sekarang, kalau ingat pembantaian kolojengking ini, hati saya terus diliputi rasa bersalah. Ingat kejat-kejetnya saat saya goreng hidup-hidup.
Tapi ikhtiar itu ndak ada hasilnya. Janggut saya masih gundul. Kalaupun tumbuh, satu dua biji doang. Ndak lebat kayak jenggot rocker idola saya. Sampai sekarang, jenggotpun ndak bisa lebat, dan saya telah lama berhenti ikhtiar menumbuhkan jenggot, meski kini punya dana untuk membeli obat rambut semahal apa pun.
Saya percaya Gusti Allah memang menciptakan saya minim jenggot. Apa maksud-Nya? Ya ndak tau saya. Lha terus kalau sampeyan-sampeyan menyuruh saya memelihara jenggot yang seiprit ini, apa ndak kasiha melihat muka saya kayak wayang goleknya Jawa Barat itu?
Jenggot adalah rahmat, bisa bikin ganteng. Tidak punya pun juga berkah, karena ndak perlu sering beli silet cukur. Semua itu Gusti Allah yang ngatur. Bukan sampeyan-sampeyan, bahkan bukan pula ustad-ustad karbitan itu. Jenggot itu masalah sepele, dan masak masalah kecil gini saja sampek mau main gepuk-gepuk’an? Main sesat-sesatan?
Apa ndak malu sama kolojengking yang ternyata ndak punya jenggot? Ayolah, bergembira dengan perbedaan! Bukan ditentang-tentangkan terus.