: untuk dimanusiawikan!!!
Dalam hidup saya yang kampungan ini, saya bersyukur, Gusti Allah memberi kesempatan bertemu atau menyaksikan hal-hal yang “asyik-asyik”, yang tak banyak disaksikan orang lain. Yang mungkin bagi orang lain, yang asyik itu menjijikkan, tapi bisa memperkaya hati saya. Yang mungkin orang lain, mencibirnya buruk, tapi bisa memberi manfaat pada nurani. Salah satu kesempatan itu, mungkin kedekatan dengan kaum LGBT, akronim dari lesbi, gay, bisek, dan transender. Hal yang saat saya menyusun tulisan “omong kosong” ini, tengah menjadi topik hot di mana-mana.
Pengalaman pertama saya bersinggungan dengan dunia LGBT terjadi di akhir tahun 90-an, ketika saya lulus SMA namun nganggur dulu selama dua tahun karena ketiadaan biaya kuliah. Saya sendiri lulus SMA tahun 1997, dan saat nganggur, waktu lebih saya habiskan untuk bekerja serabutan sana-sini. Seperti umumnya lelaki seusia, kenakalan seumumnya anak di usia itu juga saya lakukan. Nongkrong sambil mengkonsumsi miras adalah salah satunya. Meskipun saya tak bangga dengan ini, tapi mau tidak mau, pengalaman ini memberikan saya begitu banyak persepktif/cara pandang berbeda di kelak kemudian saya mengada.
Ini misalnya. Seorang kawan nongkrong, punya “kebiasaan aneh”, suka bersetubuh dengan waria. Biasanya, setelah dibuat pusing oleh alkohol murahan, si kawan kemudian meminta kami untuk mengatarkannya berburu waria. Di kampung saya, Singosari, Malang, ketika itu, Perempatan Mondoroko, sebuah perempatan yang berada di jalur jalan provinsi Surabaya-Malang, adalah tempat beken bagi “orang gatal” mencari waria.
Perempatan itu, di akhir 90an, di sampingnya adalah kuburan. Sampingnya lagi adalah kebun tebu, serta belukar rimbun yang tumbuh memisahkan antara jalan raya dengan kebun. Daerah nongkrong waria itu, kini sebagian menjadi Kantor Polisi Wilayah Singosari Malang, sebagian lagi menjadi pertokoan dan perumahan. Di semak-semak rimbun pinggir jalan itulah, biasanya kawan saya “bermain” dengan waria, sementara saya dengan beberapa rekan lainnya, biasanya menunggunya hingga selesai dengan duduk-duduk tak jauh darinya. Tak jarang, saat menunggu, saya kerap terlibat obrolan dengan waria lainnya, atau pekerja seks perempuan yang kebetulan sedang menunggu “tamu” di tempat itu.
Ada banyak hal “mengejutkan” yang bisa saya panen dari dunia mereka yang dianggap begitu tidak beradabnya. Yang dianggap masyarakat manapun sebagai “penyakit” yang harus dienyahkan dari kehidupan. Saya sendiri, mungkin karena terpengaruh dengan kegemaran saya membaca buku-buku sastra sejak SMP, susah untuk memandang sesuatu hanya dari dua “warna”; hitam dan putih. Selalu ada wilayah “abu-abu” yang melatarbelakangi apa pun. Selalu ada “sebab” sebelum “akibat” dirasakan. Setiap orang akan “panen” atas apa pun “tanaman” yang ia “tanam”. Saya susah memakai kata “benar” atau “salah”, karena setiap individu punya standar pribadi atas kata itu. Meskipun pada satu situasi, ketika misalnya berhubungan dengan kemaslahatan umum, berhubungan dengan kepentingan publik, pandangan saya bisa tiba-tiba menjadi kaku.
Menjadi gay, misalnya, bagi saya buruk. Tapi lebih buruk lagi adalah LINGKUNGAN yang membuat mereka demikian. Jauh lebih buruk lagi adalah KITA yang kemudian menutup segala kemungkinan bagi mereka untuk mencari “kesembuhan”.
Tapi secara personal, saya percaya, setiap kesalahan, setiap penyimpangan genetis, evolusi, selalu bisa dirunut sabab awalnya. Dan saya tetap percaya, Gusti Allah dengan segala kebesaran dan ke-MAHA-anNya, hanya menciptakan manusia dengan dua kelamin: lelaki dan perempuan.
Kawan saya yang hobi “ngentot” waria itu, di sisi lain adalah lelaki normal. Saya tidak tahu apakah sampai sekarang dia masih mencari waria, tapi yang jelas sudah lama dia menikah, punya anak, dan menjalani hidup rumahtangganya dengan wajar. Kalaupun dia masih mencari waria, toh di sisi lain dia bisa berperan sebagai lelaki, sebagai suami, dan sebagai bapak yang wajar.
***
Semasa sekitar sepuluh tahun bekerja di koran kriminal di Batam, dunia malam, termasuk di dalamnya fenomena LGBT adalah sesuatu yang HARUS kita akrabi. Saya “beruntung” sempat bertemu dan berkawan baik dengan salah seorang pengurus perkumpulan lesbian di Batam. Atas izin dan informasi dia, tahun 2006, saya sempat membuat artikel panjang tentang fenomena lesbi di Batam. Artikel yang kemudian sempat masuk nominasi 10 terbaik di Rida Award, sebuah ajang penghargaaan di lingkungan jaringan suratkabar Jawa Pos wilayah Sumatera bagian barat.
Tapi hal yang membuat muak, adalah ketika saat penganugerahan dan judul artikel saya dibacakan MC, suara gemuruh bernada aneh sekaligus keheranan plus cemoohan jijik atau lucu dari hadirin yang hadir. Saya memang memilih judul yang sedikit provokatif, “Pabrik Lesbi bernama Dormitori”. Respon dari hadirin di malam penghargaan itu, menunjukkan, bahwa orang yang “sekolahnya baik” sekalipun, gagal memberi respon baik atas dunia LGBT. Sesuatu yang membuat saya kecewa.
Seorang karib saya di Batam, lelaki, juga pernah mengaku terang-terangan dirinya sebagai seorang penyuka sesama jenis. Dia kerap menceritakan banyak hal, tentang kehidupannya di masa silam, tentang ketidaksukaannya terhadap kemunafikan yang ditunjukkan pemuka-pemuka agama. Tentang kebenciannya yang mendarah-daging atas perselingkuhan disebabkan nasib buruk kedua orangtuanya. Kami berkarib hingga kini, meski tak lagi sering nongkrong di warung kopi.
Sama seperti pengalaman saya mengantar kawan yang suka menggauli waria, kedekatan saya dengan rekan gay, dan dunia lesbi di Batam juga memberi banyak informasi, kenapa Si A MENJADI lesbi? Kenapa Si B “TERTULAR” lesbi? Kenapa Si C memilih menyukai sesama lelaki? Atau kenapa Si D sekaligus menyukai pria dan wanita? Seperti yang saya jelaskan di awal tulisan, setiap kasus tersebab dari banyak hal, bersumber dari pengalaman bertahun-tahun silam seseorang. Tidak ujug-ujug datang begitu.
Soal fenomena LGBT, ada satu “benang merah” yang bisa saya tarik dari semua itu. Bahwa – sependapat saya – bukan Gusti Allah yang menciptakan mereka seperti itu! Bukan pula pilihan mereka yang tiba-tiba: melainkan lingkungan “tidak sehat” selama bertahun-tahun mereka rasakan, ketidakmampuan mengendalikan hawa nafsu, serta buruk sangka dan SALAH-KAPRAH mereka atas TAKDIR yang mereka yakini, yang kemudian mengumpul menjadi satu, menciptakan evolusi dan menjadikan mereka LGBT. Penilaian saya ini mungkin salah. Tapi saya berusaha untuk tidak salah kaprah.
Waria langganan kawan saya misalnya, pernah bercerita bahwa masa kecilnya dipenuhi oleh dunia feminisme yang ditularkan dari saudari-saudarinya yang semuanya perempuan. Orangtuanya gagal mendidiknya sebagai lelaki, karena kemelaratan membuat kedua orangtuanya hanya kenal satu kata dalam seluruh hidup mereka: KERJA! Kalau ndak kerja, ndak bisa makan! Orangtuanya, saya mengira-ngira, tak lagi mampu menyisakan waktu untuk, setidaknya mengajari bagaimana “mancing welut” yang betul. Bagaimana menjadi seorang bocah lelaki yang gentle. Ketika pada akhirnya lingkungan membentuknya menjadi waria, ia justru merasa dirinya ditakdirkan Gusti Allah. Meski sejatinya ada kegagalan orangtuanya mendidiknya sebagai lelaki!
Kawan lesbi saya adalah wanita normal hingga di usia 20-an. Sama sekali tidak ada keinginan menjadi lesbi. Tapi, setelah bertahun-tahun disakiti suaminya, dikhianati, dipukuli, kepercayaannya pada lelaki HILANG! Ketika rumahtangganya hancur, dan dia merantau ke Batam, tinggal di dormitori bersama kawan-kawan wanitanya, yang terjadi kemudian adalah RASA NYAMAN berhubungan dengan perempuan. Rasa nyaman itu, tidak hanya diartikan sebagai kegiatan seksual semata. Namun rasa nyaman bahwa dirinya kembali bisa mempercayai orang lain. Kembali diperhatikan orang lain. Meskipun ia tahu, adalah TIDAK SEMESTINYA yang membuat nyaman itu adalah sesama wanita. Tapi, bagaimana lagi, lelaki di matanya, hanyalah “anjing” semata yang memperlakukan wanita untuk kesenanangan saja.
Karib saya yang gay, bapaknya menyelingkuhi ibunya. Ia kerap melihat bapaknya main kasar terhadap ibunya, hingga timbul kebencian luar biasa pada bapaknya. Ironisnya, dia gagal memisahkan perbedaan antara “lelaki” dengan “bapaknya”. Ia berpikir semua lelaki bisa sesadis bapaknya. Ia membenci lelaki. Ia kemudian berevolusi menjadi kemayu, dan pengetahuan dan pergaulan yang didapatinya kemudian menuntunnya untuk menyukai sesama lelaki secara seksual.
Waria langganan kawan saya, kawan saya yang lesbi, serta gay karib saya; ketiganya ketika lahir, hanya diberi dua kemungkinan oleh Gusti Allah: menjadi lelaki atau perempuan. Tapi kemudian, LINGKUNGAN yang DICIPTAKAN MANUSIAlah yang kemudian membuat mereka “berevolusi” menjadi LGBT. Apakah kemudian gaya/pilihan hidup mereka bisa menular ke orang lain? Sebagaimana hal yang diyakini banyak orang? Jika seseorang menganggap LGBT seperti virus HIV/AIDS, ya, tentu saja orang itu percaya bahwa bisa menular. Tapi saya lebih menyukai jika LGBT diibaratkan penyakit kanker.
Kanker tidak bisa menular, atau menginfeksi orang dalam hitungan hari. Seorang yang terkena kanker, biasanya memiliki riwayat keturunan yang rentan terhadap penyimpangan sel di tubuh mereka. Tapi, faktor keturunan itu saja tidak cukup. Sel sehat berubah menjadi sel kanker perlu “gaya hidup” yang buruk selama bertahun-tahun. Daya tahan tubuh berbeda yang dimiliki tiap manusia, juga memberi kemungkinan bagaimana tubuh merespon kanker secara berebeda. Sepupu saya, akhirnya meninggal dunia dalam tempo HANYA dua tahun setelah dokter mengindikasikan adanya kanker di kakinya.
Tapi saya punya pengalaman hebat, ketika menyaksikan seorang wanita di Batubesar (Batam) pada tahun 2003 silam. Seorang wanita yang mampu bertahan selama bertahun-tahun meski satu payu daranya sudah pecah karena kanker payudara, dan satu lagi penuh nanah. Satu-satunya faktor kenapa dia bisa bertahan sedemikian lama, saya menduga, karena anaknya ketika itu masih kecil. Ada hasrat/keinginan yang begitu kuat dari wanita Batubesar itu, untuk selama mungkin menemani anaknya. Ada tanggungjwab sebagai ibu. Ada hasrat untuk “melayani” hidup kepada kehidupan lainnya, yakni kepada anaknya.
Sementara sepupu saya, ketika mendengar vonis dokter bahwa kakinya harus dipotong, dia seperti tak lagi punya gairah hidup. Dia ketika itu masih muda, sekitar 23 tahun. Belum ada tanggungjawab apa-apa. Dan dia merasa, tanpa kaki, habis sudah masa depannya. Bahkan ketika saya paksa untuk mengikuti saran dokter, dia memilih tidak melakukannya.
Ada perbedaan antara keduanya dalam menyikapi satu penyakit: yakni SEMANGAT/GAIRAH, yang perbedaan itu memberikan hasil yang begitu besar bedanya.
LGBT juga demikian, menurut saya. Jelas mereka “sakit”. Sebuah “rasa sakit” yang tanpa sadar, ditimbulkan oleh lingkungan tak wajar selama berpuluh-puluh tahun. Ironisnya, lingkungan yang membuat mereka “sakit” itu, justru kemudian menambah “rasa sakit” lagi dengan olok-olok ketidakterimaan atas penyimpangan mereka. Hingga kemudian, harapan untuk SEMBUH itu kian lama kian kabur. Menghilang. Seperti semangat mendiang sepupu saya yang sirna.
Saya mendukung LGBT. Mendukung setiap gerakan yang memanusiakan mereka. Menyayangi mereka. Memperlakukan mereka sebagaimana kita memperlakukan orang lain. Tidak mengolok-olok mereka. Agar harapan untuk SEMBUH terbuka lagi. Untuk terus memberi semangat, bahwa semua ciptaan Gusti Allah adalah baik, sekalipun itu tai busuk yang justru bisa menyuburkan tanaman. Manusia lah yang menciptakan keburukan, melahirkan kejahatan, memungkinkan penyimpangan. Dan KITA; lingkungan, masyarakat, negara, punya andil sama besar kenapa di dunia muncul LGBT.
Manusia kian serakah, hingga hidup semakin sulit. Dan dunia yang tercipta dari keserakahan itu kemudian menciptakan penyimpangan-penyimpangan yang tidak hanya akan melahirkan lebih banyak LGBT. Melainkan melahirkan “penyakit-penyakit” mental lainnya yang lebih mengerikan. Bagi LGBT, jalan menjadi sembuh memang sangat-sangat susah. Seperti jalan para sufi yang harus mengendalikan hawa nafsu mereka untuk menolak segala macam godaan dunia. Jalan yang, sangat sedikit orang mampu melakukannya. Tapi setidaknya, harus ada harapan di setiap persoalan, bahwa akan ada penyelesaian jika kita menginginkan. Jangan kemudian, mereka yang “sakit” malah ditinggalkan sembari dilempari segala macam caci-makian!
Saya memilih memanusiawikan LGBT!!!
>>>Foto di atas adalah foto seorang waria di parade Pink Dot 2014 di Singapura.