Tanpa bisa menyembunyikan kecemasannya, wanita muda di samping saya ini berulangkali membuka-tutup kamus Bahasa Inggris keluaran Oxford yang ia genggam. Sebentar dibaca, sebentar kemudian kamus mungil itu ditutup kembali, sembari buru-buru melongokkan pandangannya ke lorong menuju ruang wawancara yang ada di depan kami. Beberapa menit sebelumnya, ia baru saja keluar dari ruang wawancara, dan disusul kemudian sang calon majikan yang dipanggil untuk wawancara.
“Anda dari Indonesia?” tanya saya dalam bahasa Inggris, sembari bermaksud menurunkan ketegangan dia. Dia menggeleng. “Kambodia,” jawabnya dengan sopan. Anak kedua saya, Zack, yang sedari tadi naik turun kursi tunggu di antara kursi yang kami duduki, juga berusaha mengajak wanita Kamboja itu berkomunikasi. Mengajaknya bermain. Si wanita, tampaknya tak tertarik ajakan Zack. Cemasnya mungkin belum hilang, atau bahkan tak bisa. Setelah sekalimat jawaban yang diberikan padanya, dia kembali pada aktivitas sebelumnya: membuka-tutup kamus sembari sesekali melongokkan pandangan ke arah lorong di depan kami.
Wanita muda asal Kamboja itu adalah calon tenaga kerja di Singapura. Dan Jumat pagi pekan kemarin itu, ia berada di Kantor Ministry of Mainpower (MOM) atau Kementrian Pekerjaan Singapura, untuk dimintai wawancara atas pengajuan permit atau izin kerja di Singapura. Semua orang asing yang bekerja di sini harus melalui tahapan ini.
Saya sendiri, datang ke MOM untuk mengantarkan Siti. Wanita asal Subang, Jawa Barat ini, sudah sebulan terakhir ini menjaga bapak mertua kami yang butuh pengasuh karena baru aja terserang stroke. Dari catatan pengalaman siti yang ada di map yang saya bawa, dia sudah berpengalaman sebagai tenaga kerja Indonesia selama tujuh tahun. Jika sekarang dia berusia 28 tahun, sejak usia 21 tahun dia sudah meninggalkan kampung halamannya. Sebelum ke Singapura, dia sudah bekerja di Taiwan dan Arab Saudi. “Tak pernah lama di kampung. Tak kerasan, tak bisa apa-apa. Anak saya yang berumur 11 tahun, sampai bilang ‘kamu bukan ibuku’, karena tak kenal saya,” begitu kata Siti pada saya.
Ada ratusan orang asing yang Jumat pagi itu mengurus permit kerja di Kantor Kementrian Pekerjaan Singapura. Sebagian besar memang tenaga kerja wanita asal Indonesia. Saya menangkap wajah-wajah tegang sebagaimana yang terlihat di wajah wanita Kamboja yang kebetulan duduk di dekat saya. Mungkin mereka khawatir, Pemerintah Singapura tak mengabulkan permit kerja mereka, hingga mereka gagal mengais dolar di sana.
Singapura, kini, memang cukup ketat menyeleksi tenaga kerja yang datang mencari kerja di sana. Itu mungkin tersebab banyaknya insiden yang melibatkan tenaga kerja asing yang belum siap secara mental. Banyak pemalsuan umur, pemalsuan data, sekaligus kurang berpengalaman. Terutama di sisi bahasa. Banyak masalah antara majikan dan TKI, bermula karena sangat minimnya kemampuan komunikasi keduanya. TKI juga kerap tak tahu hak-hak mereka, yang kemudian kerap dilanggar majikan.
Banyaknya pekerja asing di Singapura, terutama di sektor profesional, akhir-akhir ini juga kerap menjadi kritikan warga negara asli Singapura. Sebagian warga negara Singapura menganggap, pekerja asing telah mengambil kesempatan mereka bekerja. Isu ini yang mungkin ditanggapi Pemerintah Singapura, dengan memperketat aturan memberi permit kerja ke warga asing.
Kembali ke antrian di Kementrian Pekerjaan Singapura. Wajah-wajah yang terlihat tegang itu, mungkin para TKI yang belum berpengalaman. Tapi Siti tidak. Dia terlihat tenang, bahkan ketika namanya dipanggil untuk wawancara. Saya tak perlu tunggu lama untuk wawancara Siti dengan petugas MOM. Tak kurang dari 15 menit. Ketika keluar ruangan, wajahnya juga terlihat sumringah. Curiculum vitae Siti tak bermasalah, mengingat saya juga tak perlu dipanggil menghadap petugas MOM. “Tak ditanya macam-macam. Cuma apa saya punya masalah, apakah tempat tidur saya nyaman, makannya gimana. Kalau ada masalah juga harus telepon siapa,” jawab Siti ketika saya tanya apa saja yang ditanyakan petugas MOM.
Kementrian Pekerjaan Singapura memang ingin memastikan, semua pekerja asing terhindar dan tidak pernah punya masalah selama bekerja di sana.
***
Hampir sebulan lalu, Siti datang ke Singapura seorang diri. Namun begitu, semuanya sudah ada yang mengatur. Diageni oleh perusahaan jasa TKI yang sudah punya nama baik, dia tak mengeluarkan uang sepeser pun untuk datang ke Singapura. Sebelumnya, lewat agen di Singapura kami memang mencari seorang pengasuh orangtua yang cukup berpengalaman. Lalu, berjodohlah kami dengan Siti. Agen TKI di Singapura kemudian menguruskan semua keperluan Siti untuk pergi ke Singapura. Tentu saja dengan modal pengalaman tujuh tahunnya. Siti juga mahir berbahasa Tionghoa, bahasa keluarga kami di Singapura.
Pengalaman itulah yang menentukan besar-kecilnya gaji seorang TKI di Singapura. Dan, terus terang, gaji Siti membuat saya sangat ngiri. Per bulan, dia menerima gaji bersih sebesar 650 dolar. Kalau dipukul rata dengan kurs sekarang, Siti bisa mengantongi uang lebih dari Rp6 juta per bulan. Bersih lho! Tanpa harus mengeluarkan biaya makan atau tempat tinggal. Angka yang dua setengah kali lipat dari besarnya upah minimum kota Batam yang baru saja ditetapkan. Saya saja, yang profesinya punya titel keren “profesional”, serta bermodalkan pengalaman hampir 10 tahun di dunia jurnalistik, gajinya tak sampai sebesar Siti.
Sebagai pengasuh orangtua di Singapura, gaji Siti boleh dikatakan lebih dari cukup. Namun banyak juga TKI yang digaji lebih kecil daripada Siti. Ya itu tadi, semuanya tergantung pengalaman mereka. Seberapa cekatan mereka. Dari 650 dolar gaji yang diterima Siti, enam bulan pertama dari dua tahun kontrak kerjanya, agen memotong gajinya sebesar 430. TKI yang berpengalaman, selain menguntungkan untuk dirinya sendiri karena berpengaruh terhadap besarnya gaji yang ia terima, juga membuat majikan bisa nyaman. Itu mengingat Kementrian Pekerjaan Singapura, juga membebankan majikan dengan tanggungjawab menjaga para pembantu yang mereka pekerjakan. Majikan diharuskan memberikan sekian ribu dolar deposit setiap kali ingin mempekerjakan pembantu atau pengasuh. Deposit tersebut akan kembali, jika selesai kontrak tidak ada masalah antara majikan dan pembantu. Sebaliknya, pemerintah akan mengambil deposit tersebut, jika ada masalah.