KEASYIKAN menjepret-jepret kumuhnya Pasar Singosari dari jembatan penyebrangan, terinterupsi ketika melihat nenek pengemis. Yang duduk di tepi jembatan. Di siang yang mendung, dua hari sebelum Lebaran 2025. Ia terlihat sedang menghitung hasil mengemisnya dengan wajah yang penuh rasa syukur. Rupiah-rupiah pecahan seribu-dua ribuan yang nyaris semuanya kumuh. Kebanyakan itu rupiah, lecet parah nyaris hancur.
Tiba-tiba ada lelaki muda lewat di depannya. Sembari meletakkan uang 50an ribu yang begitu licin dan mengkilap. Seperti baru ditarik dari mesin ATM.
Si nenek pengemis berterimakasih tiada tara. Si pemuda mengangguk serampangan, dan segera berlalu. Tapi drama paling menyentuh hati, terjadi di menit berikutnya.
Nenek pengemis itu menangis. Menciumi uang 50an ribu yang baru didapatnya dengan begitu emosional. Begitu khidmat. Seolah itu menjadi hari keberuntungannya. Seolah ada malaikat yang siang itu diutus khusus untuknya.
Aku begitu terharu dengan pemandangan itu. Uang 50 ribu itu, mungkin angka yang kecil bagi banyak orang, bagi saya. Tapi bagi nenek pengemis, hari itu mungkin ia bisa membawa pulang hasil yang begitu berarti baginya.
Aku tahu, banyak pengemis pura-pura di jalan-jalan raya kita. Sama banyak dengan politisi, cendikiawan, atau tukang organisasi yang sebenarnya bermental pengemis, dan memang hidup dari mengemis APA saja yang bisa ia minta. Kalau perlu dengan mengemis paksa!
Tapi aku yakin, nenek pengemis yang kutemui siang itu, bukan sedang pura-pura. Kegembiraan dan rasa syukur yang orisinil yang ia tunjukkan, seorang diri, tidak ia maksudkan untuk memancing iba orang yang lewat di hadapannya. Kegembiraan yang dia ekspresikan, yang tak ia sadari diam-diam aku perhatikan, itu seperti kegembiraan anak balita yang dibelikan mainan idaman yang sudah lama ia inginkan.
Kegembiraan yang begitu tulus.
Aku jadi malu sendiri dengan nenek pengemis itu. Aku belum bisa segembira itu, atas segala rejeki pemberian Semesta yang selama ini melimpahiku.
Tiap pagi aku memang melantun doa, “Semesta, penuhilah hati ini dengan kegembiraan dan keikhlasan atas apa pun takdir baik atau buruk yang Engkau berikan”. Tapi, belum juga doa itu mampu menggerakkan hatiku. Belum juga aku bisa bersyukur, dan bergembira, sebagaimana isi doa yang kupanjatkan. Seperti kegembiraan orisinil yang diperlihatkan nenek pengemis itu. Aku musti kudu belajar dari nenek pengemis itu. Musti!
(*)