SAAT krisis moneter 1998, kurs rupiah terhadap dolar Singapura terpukul hingga Rp9.950 per 1 dolar. Meski hari ini, ketika saya menarik dolar kurs yang saya bayar mencapai Rp13.157 per dolar, itu tidak serta merta menjelaskan kondisi terkini lebih buruk dari tahun 1998. Mengingat angka Rp9.950 ketika itu melonjak dengan cepat dari Rp1.700. Sementara kenaikan angka RP13.157 merangkak selama Prabowo menjadi presiden. Sebagai catatan, di akhir era Jokowi menjadi presiden, rata-rata dolar Singapura ada di angka Rp12an ribu.
Itu menunjukkan, Prabowo memang mendapat “warisan” masalah dari pendahulunya. Prabowo tidak beruntung. Prabowo sial. Kesialan yang kian menggunung ketika orang-orang yang dipilihnya untuk menjalankan roda pemerintahan, tampaknya masih orang-orangnya Jokowi.
Lalu apa arti angka Rp13.157?
Dalam skala rakyat jelata, itu bisa berarti banyak hal. Untuk saya misalnya, kawan-kawan saya di Indonesia tak akan lagi mendapat harga murah dagangan dari saya. Saya juga akan memilih menjual di Singapura saja.
Kurs Rp13.157 juga berarti Prabowo gagal mengurusi ekonomi. Setidaknya gagal mengerem kemunduran. Kurs sangat tinggi itu, mau tak mau akan menaikkan nyaris semua kebutuhan masyarakat yang produk impornya masih begitu dominan. Itu karena pengusaha cum politik Indonesia yang selama ini gemar jadi “makelar” impor, alih-alih mendukung kemajuan industri dalam negeri.
Kurs Rp13.157 juga berarti akan kian sedikit orang berbelanja. Mereka menahan diri untuk tidak menghamburkan uang demi berjaga-jaga untuk pemenuhan kebutuhan pokok. Kondisi ini kian membuat lesu ekonomi. Anda yang penjual gorengan misalnya, siap-siaplah mengurangi kuantitas dagangan Anda.
Tapi, kurs Rp13.157 juga ada kabar gembiranya. Mbak-mbak TKI tentu sumringah, bisa mengirim duit ke kampung lebih banyak dari sebelum-sebelumnya. Pengekspor juga dibuat gembira, karena bisa mendapatkan “durian runtuh” dari perbedaan kurs yang tinggi itu.
Ada kabar sedih, ada gembira. Ya, memang begitulah hidup manusia. Nikmati saja!!!
(*)