Rokok terakhir yang tengah saya nikmati tinggal menyisakan setengah batang: ketika pria parlente itu keluar dan berdiri di samping saya. Ia menyulut rokok, menyandarkan punggungnya di dinding belakang kapal, sembari menatap landskap Singapura yang lama-lama terlihat semakin kecil.
Kami semula saling diam, dan memang ada rasa enggan mengajak bicara pria yang punya wajah sedikit angkuh itu. Ketika itu, di dek belakang kapal ferry yang baru saja keluar dari Pelabuhan Harbour Front Singapura menuju Batam, hanya ada kami berdua.
Saya gemar menyapa, gemar pula berkenalan dengan orang mana saja, di mana saja. Apalagi di saat-saat membosankan seperti di atas ferry yang akan membawa kami kembali ke Batam. Terkadang, pembicaraan ala kadarnya bisa membunuh waktu; melenakan pikiran kita dan tiba-tiba saja kapal sudah hampir sampai di tujuan. Tapi tidak pada Juni 2012 tengah pekan lalu itu. Wajah angkuh pria itu, seperti menetralkan keramahan saya. Saya memang punya kebiasaan, akan semakin sombong pada orang yang sombong, memberi dua kali keramahan pada orang yang ramah pada saya.
Sebelum kemudian satu pria lagi bergabung di dek. Wajahnya sedikit lugu, nyante, berbaju batik, rambut kucel, namun gemar melempar senyum. Dia berbasa-basi dengan saya dengan menawarkan rokok kreteknya. Meskipun rokok di jari-jari saya belum habis.
“Dari mana?” tanya dia. Pertanyaan yang sebetulnya tak perlu dijawab karena cuma basa-basi. Dari mana? Tentu saja kita semua dari Singapura. Bukankah kapal yang kami tumpangi baru berangkat dari Pelabuhan Harbour Front, Singapura. Tapi saya tahu, kalimat ‘dari mana’ adalah “pintu” yang ia bukakan untuk sebuah obrolan pembunuh waktu. Saya tentu tak keberatan.
Kami mengobrol, dan obrolan kian hangat manakala kami menggunakan bahasa Jawa, bahasa ibu kami berdua. Dia mengaku berasal dari Jombang, tetangga kabupaten dari asal saya, Malang. Mungkin dirundung sepi, si wajah angkuh nan parlente itu kemudian ikut nimbrung bicara. Ia bisa bahasa Jawa juga. Bahkan setelah itu, ia mendominasi pembicaraan.
Ia bercerita tentang sie jie dan segenap keberuntungannya bertaruh. Toto atau 4D, begitu orang Singapura biasa menamai. Karena di Batam bertaruh toto dianggap gelap atau ilegal, jadilah kemudian namanya diakronimkan menjadi togel: toto gelap.
Si parlente bahkan malam itu mengaku ke Singapura hanya untuk membeli toto. Wuih…, gila bathin saya. Bertaruhnya tidak banyak, kata dia. Cuma 20 dolar. Tapi sudah harus mengeluarkan 50-an dolar hanya untuk transport kapal. “Nanti kan kalau menang bisa beli rumah dan ruko,” katanya dengan nada serius.
“Ngandalin kerja puluhan tahun,” lanjut si parlente, “ tak juga bisa beli-beli rumah”. Mendingan ia beli sie jie, sambil kemudian berharap durian runtuh. “Begitu sekali lagi dapat gedhe dan bisa beli ruko, saya berhenti beli sie jie,” tegasnya.
Saya TAK PERNAH PERCAYA pada omongan penjudi!
Seperti tidak mau kalah, si lugu berbaju batik juga bilang pernah menang besar. Bahkan hadiahnya yang puluhan juta, kata dia, dibuat renovasi rumah. Sebagian lagi untuk dagang barang-barang elektronik yang kini ia tekuni. Saban minggu, ia keluar masuk Singapura untuk kulakan barang elektronik sekend. Dan sekali dua, kata dia, ia menyempatkan beli kupon sie jie.
**
Beberapa pekan lalu, seorang rekan meminta bantuan saya menguruskan paspor. Selama puluhan tahun tinggal di Batam, ia mengaku sama sekali belum pernah ke Singapura. Dia ingin sekali ke sana. Jalan-jalan di sana. Tapi yang lebih penting, “Bisa pasang sie jie di sana.” Dia berdalih punya keahlian khusus menebak hal-hal gituan. “Nanti kalau dapat, sampean kukasih Avanza,” janji dia.
Saya sih tertawa-tawa saja! Tapi bagi saya, “pengorbanan” datang ke Singapura, membeli tiket mahal, hanya untuk sebuah harapan yang tak pasti, adalah kebodohan luar biasa. Saya yang tiap pekan ke sana, bahkan tak pernah tergoda untuk membeli sie jie. Seumur hidup saya cuma sekali membeli sie jie. Sewaktu di Tanjungpinang pada awal tahun 2004 silam, ketika digoda seorang rekan untuk pasang nomor dia yang katanya “pasti jitu”. Tapi meleset juga.
Singapura di mata orang Batam: selain menawarkan keglamouran plus tempat-tempat wisata dan tempat belanja, ternyata juga menggiurkan bagi pecinta tebak-tebakan berhadiah alias Toto alias 4D. Saya yakin ada ratusan orang yang seperti rekan saya atau si parlente yang datang ke Singapura hanya untuk membeli kupon sie jie. Ada ribuan dolar Singapura uang yang masuk ke kantong Pemerintah Singapura. Menjadi devisa mereka. Menjadi kaya mereka. Untuk kemudian memakai uang itu, untuk membeli saham perusahaan-perusahaan kita. Indosat dan Telkomsel, adalah salah satu perusahaan besar Indonesia yang sahamnya sebagian dimiliki Singapura.
Ujung-ujungnya, uang kita lah yang berputar di sana. Rakyat Singapura kian sejahtera, sementara kita kian dibuat miskin oleh mimpi-mimpi yang entah kapan menjadi kenyataan. Di meja-meja judi di kasino Singapura, di Marina Bay Sands atau Kasino Sentosa misalnya, jika Anda sempat ke sana pasti akan terheran-heran melihat sebagian besar orang Indonesia yang memadati meja taruhan. Lalu di mana orang Singapuranya? Jika melihat fenomena itu, sepertinya kaya benar rakyat dari Indonesia ini. Sttt! Kita memang negeri kaya raya kok! Sampai berjudi saja harus ke luar negeri!
*) Diterbitkan Minggu, 1 Juli untuk DIA