Suatu malam sembari makan ala kadarnya:
Wanita di depan saya ini mengatakan sesuatu yang nyaris tak saya percayai: seumur hidupnya dia tidak pernah bermimpi! Sementara saya, nyaris tiap hari, dalam tidur saya, mimpi-mimpi datang untuk menemani saya. Kadang datang mimpi gembira, tak jarang pula mimpi mengerikan. Atau sekedar flashback masa lalu maupun peristiwa tidak masuk akal.
Terkadang, mimpi-mimpi indah membangunkan saya di tengah malam. Jika yang demikian datang, saya biasa memilih tidur kembali – dan anehnya – saya bisa melanjutkan sekaligus mengendalikan mimpi itu. Otak saya masih bekerja, sekalipun fisik saya tidur. Namun kemampuan saya mengendalikan pikiran dalam mimpi justru tidak terjadi saat yang datang mimpi-mimpi buruk. Ketika misalnya saya bermimpi kecelakaan, saya tak bisa menghentikan kecelakaan itu sampai akhirnya harus terbangun sendiri. Atau saat saya dicekik sesuatu dengan sangat kuat dan mulut ini mengigau-ngigau, istri saya lah yang datang menolong membangunkan saya. Atas mimpi buruk, saya tidak berdaya apa-apa.
Sebagian orang menganggap mimpi sekedar bunga tidur. Sebagian lagi justru memaknai secara berlebihan hingga kerap “ketakutan” dengan mimpi-mimpi mereka. Saya mungkin tidak masuk di antara keduanya. Saya tidak menganggap secara berlebihan, namun juga sangat menikmatinya.
Sigmund Freud menganggap mimpi adalah impuls-impuls keinginan terpendam di otak yang tidak sempat kita ejawantahkan dalam laku nyata. Seperti buku-buku sastra lapuk di perpustakaan SMA saya yang tidak pernah diminati sekaligus dipinjam siswa, impuls-umpuls itu kemudian tersimpan dalam alam ketidaksadaran seseorang, terlupakan, untuk kemudian nongol kembali dalam mimpi.
Saya tak sepenuhnya setuju Freud. Soalnya kadang mimpi saya, seringkali muncul hal-hal tak masuk akal, gila, menakutkan; yang bahkan tak pernah ada di pikiran saya saat saya sadar. Terkecuali mungkin ketika berkhayal tersebab mabuk bergelas-gelas bir dengan rekan sekantor.
Saat terbangun, mimpi-mimpi itu seringkali membuat saya tersenyum-senyum sendiri. Mimpi-mimpi itu kerap menahan saya untuk tidak segera beranjak dari tempat tidur, agar bisa re-fresh kembali, memikir apa gerangan mimpi yang baru saja saya dapati.
Tapi tak jarang pula saya melupakan semua itu. Membiarkan hal itu berlalu begitu saja tanpa memaknai sedikitpun. Dan wanita di depan saya ini, memberi ide, “kenapa tidak ditulis mimpi-mimpimu! Tiap hari kalau perlu!”
Saya coba tuliskan mimpi saya mulai sekarang. Sejujur-jujurnya.
***
Rabu malam, 1 Agustus 2012. Kantuk ringan membuat saya enggan meneruskan menonton film Love and Other Drugs di kanal FOX. Mata ini terlalu capek untuk terus berada di depan televisi, setelah sebelumnya di kanal yang sama terputar film The Double. Malam itu saya sedikit beruntung, The Double yang tengah diputar bioskop di Batam, sudah disiarkan di televisi kabel langganan saya.
Seperti sebuah kebiasaan, segepok koran, juga majalah dan buku saya cangking masuk kamar. Saya agak sulit memulai tidur, dan kerap harus menghibur otak dengan membaca. Lagu Stairway to Heaven-nya Led Zeppelin, menemani kegiatan saya membaca, terus, ter-repeat hingga saya ketiduran. Kira-kira pukul satu malam. Jika saya menyenangi sesuatu, saya memang akan menikmatinya sampai sebosan-bosannya.
Tiba-tiba saja saya sudah berada di ruang tamu sebuah rumah, dengan Cak Dar duduk di salah satu kursinya. Satu set kursi aneh yang menjadi topik utama mimpi saya.
Saya tak tahu nama lengkap Cak Dar, dan kerap memanggilnya demikian saja. Dia adalah tukang kayu mumpuni dan rapi, yang bekerja di usaha meubel tetangga pas di samping rumah keluarga di Malang. Saya kerap nongkrong di tempat kerjanya. Memperhatikan kulit tubuhnya yang bersih dan berisi, mengolah kayu menjadi aneka meubel pesanan. Atau sekedar menemaninya mandi di belik kampong seusai kerja.
Tetangga saya yang punya usaha meubel namanya Pak Imam. Juragan yang sempat menjadi salah satu orang terkaya di RW saya. Orang-orang kaya di Singosari, kecamatan kami tinggal, banyak yang pesan meubel ke Pak Imam.
Semasa jaya, dia punya banyak pekerja, dan Cak Dar adalah pekerja favorit saya. Hasil kerjaannya rapih dan selalu terencana. Tidak seperti karyawan-karyawan lainnya yang berpenampilan ala kadarnya menjurus jorok, Cak Dar seorang pria yang bersih. Berkulit putih dengan rambut panjang sebahu. Ia juga suka musik rock dan membaca buku agama. Ngajinya hebat, dan suaranya ketika adzan merdu sekali. Terlebih, dia tak pelit membagikan rokok kepada saya.
Banyak orang menggangap Cak Dar sombong, namun saya mendiskripsikannya sebagai seorang pria pemalu. Karena ia jarang menyapa dan selalu menunduk saat berjalan. Namun ketika kenal, ia akan banyak bercerita. Momen-momen saat saya menemaninya istirahat atau mandi di belik, dia kerap bercerita soal apa saja. Ia tak hanya tahu soal kayu dan dunia permeubelan. Namun dia sanga t paham soal dunia spiritual, dan nyaris tidak pernah mencela. Enggan bilang yang itu salah, yang ini benar!
Setelah saya merantau ke Batam sepuluh tahun silam, saya tak pernah lagi mendengar kabar Cak Dar. Apalagi setelah usaha Pak Imam tutup karena ia meninggal dunia.
Kembali ke mimpi saya. Cak Dar menunjukkan seperangkat kursi yang ia duduki. Kira-kira ia berkata begini pada saya, “Bagaimana kalau kita bisnis bersama membuat kursi seperti ini?” Ia kemudian mendemonstrasikan kehebatan kursi pada saya. Kursi yang bisa bergerak sendiri dan punya tuas-tuas yang bisa menyempit dan melebar.
Oh ya, penampilan Cak Dar di mimpi saya masih seperti 10 tahun silam: segar, berotot, bersih, rambut sedikit gondrong, dengan t-shirt hitam bergambar bintang rock kegemarannya. Juga jins belel komprang.
“Hebat bukan,” tambahnya sembari kembali berkata, “Ini kursi dari Myanmar” (tak masuk akal)
Di mimpi, saya kemudian mengitari kursi itu. Memperhatikan dengan detil bagian-bagian dari kursi. Dan menemukan banyak bagian tak rapi yang membuat saya pesimis berbisnis. Pangkal tuas yang bisa menggerakkan kursi hanya diikat ala kadarnya. Bahan kayunya juga berkualitas rendah, dan sekali gaprak pasti akan rusak.
Cak Dar kemudian bercerita, dan ceritanya sangat tak masuk akal. Kursi itu dibawa oleh ibunya dari Myanmar dengan jalan kaki. Menuruni banyak bukit dan gunung, kursi itu dipanggul di atas kepala ibunya. Saya membayangkan betapa kuatnya ibu Cak Dar. Sanggup membawa kursi melintasi negeri.
Tapi seingat saya – di dalam mimpi – jarak Myanmar dan Indonesia sangat dekat. Cukup dilalui dengan jalan kaki saja. Selain seperangkat kursi, Cak Dar juga bercerita bahwa ibunya kerap membawa barang-barang dagangan lainnya seperti baju bekas atau makanan.
Sampai di sini mimpi saya berakhir, ketika pemuda-pemuda di kompleks saya tinggal berpatrol dengan suara-suara genderang, membangunkan orang untuk sahur.
***
Cak Dar, Myanmar, dan kursi canggih dari bahan murahan. Saya tak tahu apa korelasi di antara itu semua. Tapi yang jelas, mimpi saya itu berhasil mengobati kerinduan saya dengan teman lama, Cak Dar.