Dua perempuan yang duduk di samping saya, penampilannya terlalu seronok, bahkan untuk saya yang siang itu tidak puasa.
Agustus 2012, hari keempat, tengah hari yang tak terasa gerah karena kucuran udara ber-AC di dalam fery Singapura-Batam; bahkan tak membuat kedua wanita itu kedinginan. Saat saya meraih jaket biru muda di dalam tas, satu dari si wanita justru mengangkat kedua kakinya ke kursi. Celana super mini sejengkalan tangan sama sekali tak ada gunanya menutupi sebagian besar pahanya yang besar penuh berbalut lemak.
Sementara rekannya, yang juga bercelana mini dengan t-shirt ala kadarnya, berusaha melongok-longoknya kepalanya ke luar jendela. T-shirtnya yang mini tertarik-tarik ke atas. Menyingkapkan warna celana dalam apa yang dipakainya.
Saya kemudian meraih majalah Four-four Two edisi Agustus 2012 dari dalam tas. Membaca artikel tentang calon bintang sepakbola dari Brazil, Neymar, untuk kemudian menyulutkan pentulan headset di dua telinga saya. Lagu Grafity John Mayer kembali saya nyalakan.
Saya kelelahan, dan kemudian ketiduran. Nyaris setengah jam lamanya.
***
Hari Minggu itu memang sangat melelahkan. Sedari pagi tadi melototi komputer untuk membuat preview pertandingan bola, sebelum jam 11 siang saya harus ada di Harbour Bay untuk mengejar kapal ferry yang di bawah jam 12. Agar tidak sampai di kantor lebih dari pukul 01.00 WIB.
Minggu memang masih bekerja, untuk profesi pewarta seperti saya. Dan, tidak biasanya saya tidur siang. Seusai kerja, rasa capek yang sekaligus rasa ngilu-ngilu di tulang tubuh (mungkin gejala flu), memaksa saya pulang secepat yang saya bisa, dan KO di tempat tidur.
Eh…, saya bermimpi:
Di sebuah ruangan seperti kelas – mirip-mirip kelas saat saya duduk di kelas 6 SDI Almaarif II Singosari – saya ada di salah satu bangku paling sudut. Di bangku guru, duduk komedian yang saat ini lagi beken, Cak Lontong. Kopyahnya hitam ada lis putihnya. Matanya serius memandangi seantero kelas. Wajahnya ditekuk sesangar mungkin.
Saya tak tahu kenapa yang muncul Cak Lontong. Satu-satunya comedian idola saya adalah Kartolo Cs, itupun harus di radio, bukan di televisi.
Di kelas, ada puluhan pemuda-pemudi, yang begitu seriusnya mengerjakan tes masuk pegawai negeri sipil. Saya bukan peserta, melainkan pengawas (TAK MASUK AKAL)yang dipercaya mengawasi jalannya ujian.
Ujiab berlangsung serius. Cak Lontong terus saja memasang wajah sangar kepada para peserta ujian yang sebagian mulai terlihat mencari kelengahan pengawas agar bisa berbuat curang. Di tengah ujian, tiba-tiba masuk seorang kawan, pewarta, Uka namanya.
Di Batam, juga Kepulauan Riau, pewarta yang bisa saya DEKATI dengan pendekatan idealis cuma segelintir. Tidak lebih dari jumlah jari di tangan ini. Kebanyakan adalah PENGEMIS. Mengais-ngais belas kasih kepada orang lain dengan berbagai macam alasan. Gaji kecil adalah salah satu alasan yang paling sering saya dengar untuk member pembenaran mental pengemis mereka.
Ada berbagai cara mengemis yang kerap saya dapati pada diri pewarta. Mulai terang-terangan mengemis sembari mengancam, membuat proposal, calo, menawarkan jasa penulisan biografi yang isinya semua 100% sampah; hingga berlagak menjadi pimpinan organisasi yang ujung-ujungnya kerap minta jatah.
Tapi tentunya, masih ada pewarta yang baik, yang punya martabat, yang lebih memilih mengojek ketimbang meminta-minta belas kasihan dari kenalan. Uka (di mimpi saya) yang saya kenal, mungkin bisa dikategorikan yang satu ini. Meskipun saya tak banyak tahu sepakterjang sesungguhnya dia.
Saya bertahan di sini, karena masih percaya ada kebaikan yang jauh lebih bermanfaat ketimbang saya meninggalkannya begitu saja. Hidup baik di gelimang kelicikan jauh lebih sulit ketimbang hidup bersama-sama orang jujur dan baik. Tapi, hal itu justru menjadi tantangan yang luar biasa!
Uka masuk kelas. Menginterupsi saya sembari, sembari menyodorkan daftar orang-orang yang ikut ujian agar saya membantu meloloskannya. Saya menolak permintaan Uka. Kami bertekak hebat. Dan Cak Lontong hanya duduk di sana, tanpa melakukan apa-apa.
Saya tak tahu status Cak Lontong. Apa dia juga pengawas, atau orang pemerintah yang bertanggunjawab dalam perekrutan anggota PNS. Namun dia tak berbuat apa-apa dalam pertengkaran kami.
Hingga kemudian getaran HP membangunkan saya. Saya bangun, buka HP, sebuah pesan dari seorang kawan lewat WhatsAppminta ijin menelepon saya. Sepertinya ada sesuatu yang genting di nada pesannya.
***
Kisah di atas hanyalah sebuah mimpi di siang bolong. Tapi saya tidak habis pikir, kenapa sebuah dunia yang paling saya tidak sukai masuk dalam mimpi saya. Dunia yang bahkan tak pernah saya bayangkan setitikpun: menjadi pengawas ujian PNS.
Saya akan sangat gembira, seandainya tadi mimpi bercinta dengan dua wanita berpakaian vulgar yang saya temui di fery sebelumnya.
Seperti pewarta, mohon maaf, saya saat ini benar-benar berada pada titik anti-pati terhadap semua yang berbau PNS. Saya percaya banyak di antara mereka yang hebat, yang baik, dan yang idealis. Tapi sistem yang ada telah menenggelamkan mereka dalam ketidakberdayaan. Seperti di dunia pewarta di Batam: seorang pewarta dianggap hebat bukan karena tulisan atau keberaniannya menulis. Di sini, kini, wartawan hebat adalah seberapa bagus mobilnya, atau berapa tebal angpau yang didapat menjelang Lebaran.
Ketika dari awal seseorang sudah berniat menjadi PNS karena ingin kerja nyante dan bergaji memadai, niat awal itu sudah sangat memuakkan. Saya mengharamkan diri untuk menjadi PNS yang demikian. Setidaknya sampai Dahlan Iskan menjadi presiden.
Kalau itu terjadi!