Tiba-tiba saja saya ingin membekukan pemandangan di depan kami: segaris lanskap salah satu kampung tertua di Batam: Tanjunguma. Dari Harbour Bay tempat kami malam itu berusaha menghabiskan tiga botol Carlsberg dan sepiring besar supit laut yang pedasnya naudzubillah, mata kami berdua – saya dan Iwank,satu-satunya teman yang masih ikhlas nongkrong dengan saya – tertuju pada gemerlap lampu dalam pekat malam di depan kami: salah satu kampung tertua di Batam. Kampung yang tidak akrab dengan saya, namun punya kedekatan emosi tersendiri.
Sesaat, lagu melayu-layu dari band ST-12 merusak keindahan.
Tapi, sebelum ST-12 memberi kerusakan lebih masif, buru-buru saya keluarkan G-10, kamera pocket saya. Kamera yang mungkin akan lama menemani saya, menyayangi saya. Kamera yang mungkin tidak bernasib seperti kamera-kamera dagangan saya yang lain yang cepat saya lepas. Sekali dua mencoba membekukan pemandangan di depan, hasilnya tak terlalu mengecewakan. Kecepatan 15 detik dari batas kemampuan si pocket, terbantu oleh batang pagar besi yang bisa dimanfaatkan sekedarnya untuk tripod. Beberapa foto berhasil saya dapatkan. Tapi tiba-tiba, lirik lagu The End milik The Doors yang baru setengah main saya dengarkan di tape mobil Iwank yang sebelumnya membawa kami ke Harbour Bay, kembali terngiang-ngiang. Sudah lama saya tidak mendengarkan salah satu lagu yang masih bisa membuat emosi saya membuncah itu.
This is the end
Beautiful friend
This is the end
My only friend, the end
……
Ride the snake, ride the snake
To the lake, the ancient lake, baby
The snake is long, seven miles
Ride the snake… he’s old, and his skin is cold
……
Father, yes son, I want to kill you ….
Perkenalan saya dengan Tanjunguma seperti kecintaan saya dengan The Doors. Datang dengan tiba-tiba. Datang dengan sendirinya. Seperti takdir yang menuntun saya untuk ke sana. Pertama kali saya mengenal Tanjunguma, ketika tanpa sengaja saya dan Sokrates tersesat menjumputi foto berbagai aktifitas warga sana di pagi buta di pertengahan tahun 2006. Menjumputi foto para nelayan perkasa, otot-otot keras lengan pengayuh sampan, atau anak-anak yang tetap ceria bercanda di atas plantar meski di bawah mereka segunung busuk sampah menyeruak menyakiti hidung-hidung mereka.
Sejak itu, saya tiba-tiba jatuh cinta dengan kampung ini. Seringkali, bersama teman atau seorang diri saya menyusuri kampung ini. Menjepret sana-sini, berusaha menekuni keistimewaan kampung ini. Kampung yang di dalamnya, Anda akan menemukan betapa sebuah identitas etnis dan agama tak berlaku dengan mutlak. Kampung sederhana dengan penduduknya yang berwajah keras namun mengasikkan. Keindahan yang bercampur bau bacin kagagalan penatalaksanaan pemukiman akibat kebrutalan penguasa yang gagal mengurus rakyatnya. Kampung yang, seperti lagu-lagunya The Doors: mampu membuat emosi saya membuncah.
Setiap kali merekonstruksi khayalan tentang bagaimana Tanjunguma terbentuk hingga menjadi kampung indah nan busuk, setiap kali pula khayalan saya tersambung pada keperkasaan dan keculasan Ken Arok ketika mengawali pembangunan Kerajaan Singhasari. Pria dari kelas paria yang kemudian menjelma menjadi raja dan kemudian, kerajaannya berhasil menyatukan Nusantara. Rakyat Tanjunguma saya pikir punya karakter seperti Ken Arok. Para prianya kokoh ditempa ombak dan angin laut. Yang perempuan bak pualam, juga kokoh dan tanpa keputusasaan. Namun mereka terpinggirkan.
Rekonstruksi-rekonstruksi khayalan yang kemudian menuntun saya menuliskannya dalam sebuah rangkaian kisah. Tujuh bab dengan cepat tertulis, hingga kemudian semua bubrah. Rusak oleh kebencian yang tiba-tiba timbul pada prosa, novel, apalagi puisi. Kebencian yang saya tak tahu kenapa muncul dan mengemuka. Cerpen terakhir yang berhasil saya tuliskan adalah cerpen Malam yang Nyaris Sempurna yang alhamdulillah bisa terpilih sebagai salah satu cerpen terbaik Jakarta International Literary Festival 2008.
Harbour Bay kian kelam. Tanjunguma di depan sana, kian pulas.
Waitress seksi namun berwajah maskulin yang melayani kami sudah beberapa kali mengisi ulang gelas kami berdua. Sebiji siput yang ternyata sudah membusuk, terseruput dalam mulut dan terpaksa harus saya muntahkan kembali. Iwank kemudian berceloteh soal kegemaran barunya, mengoleksi bonsai. Saya tertawa. Saya gembira. Kawan saya satu ini ternyata masih punya penyaluran hasrat akan estetika yang ia miliki. Beberapa waktu lalu beberapa kali dia mengajak saya berburu batu bahan akik. Juga berburu motor lama yang bobrok, dan paling parah: mengoleksi mobil lama yang untuk kemudian dibiarkan begitu saja. Ia memang punya logika yang tak biasa.
Ia kemudian mengajak saya berburu bakal bonsai. “Di mana ada pantai karang yang ada Setigi lanang-nya?” pertanyaan Iwank ini, tentu tak bisa saya jawab karena saya tak hobi mengoleksi bonsai.
“Mau tambah lagi Ton?” tanya Iwan lagi. Saya menggeleng.
Carlsberg di depan kami memang sudah tandas. Hujan tiba-tiba turun menderas. Tapi, malam ini saya tidak ingin tidur terlalu cepat, mengingat saya membutuhkan tayangan live sepakbola Liga Champions untuk menyeimbangkan akal sehat yang sudah lama tak sehat ini. Saya, juga entah kenapa, tiba-tiba ingin menuliskan semua yang ada dalam pikirkan saya di malam itu. Sebagai ikhtiar untuk tetap menjaga kemampuan berprosa saya.
Saya telah menyelingkuhi Tanjunguma. Tepatnya ketidakmampuan untuk meneruskan menuliskan khayalan tentang kampung yang mengesankan itu. Ketidakmampuan terus mencintai sastra, menulis prosa, atau sekedar membaca buku-buku bertekanan tinggi yang dulu selalu terselip di tas saya. Saya bahkan tak lagi berani membeli buku-buku itu. Setidaknya dalam tiga tahun terakhir.
Iwank kemudian berkisah tentang puisi pertama dia yang berhasil ditempel di majalah dinding SMP-nya berjudul Rafflesia. Puisi tentang seorang wanita yang cantik, indah, namun berbau busuk dan mengerikan. “Saya membuatnya waktu SMP lho,” tegas dia. Saya berdecak. Ketika SMA saya baru berani mencuri buku-bukunya Pramodya Ananta Toer dan Romo Mangunwijayan dari perpustakaan sekolah. Saya tak tahu nasib buku curian saya itu sekarang. Mungkin sudah membusuk di rumah orangtua di Malang. Jikapun ada, saya berjanji kelak akan mengembalikannya. atau setidaknya menyumbang buku lain untuk perpus mantan sekolah saya itu.
Tiba-tiba, saya sangat merindukan sastra.
Lagu ST-12 berganti cepat. Still Loving You-nya Scorpion kemudian terdengar dari speaker yang dipasang di dekat bartender. Beradu keras dengan suara seorang pria berbadan tegap yang tengah bekerja keras menyamakan vokalnya dengan vokal almarhum Pance F Pondang saat menyanyikan Kau dan Si Buah Hati di atas panggung di depan kami. Tapi ingatan saya tetap tak bisa lepas dari The End-nya The Doors yang tadi baru setengah bagian bisa saya nikmati. Di akhir lagu Hotel California-nya Eagles, saya memaksa Iwank untuk mengakhiri hari. Saya ingin cepat-cepat pulang, untuk menyetel dan menikmati The End di album The Very Best of The Doors, hadiah dari Joanne untuk ulangtahun ke-31 saya.
….
This is the end
Beautiful friend
This is the end
My only friend, the end
It hurts to set you free
But you’ll never follow me
The end of laughter and soft lies
The end of nights we tried to die
This is the end
Ketika telinga menyimak “puisi-puisi” Jim Morrison ini, mata tengah tegang menyaksikan beberapa peluang gol Manchester City yang bisa dibendung kiper Napoli, Morgan De Sanctis. Malam itu, di rumah kontrakan saya, riuh oleh adu kuat para personil The Doors dengan 22 pemain yang tengah beradu bola. Saya tertidur setelah babak pertama. Tepat ketika Kamis tanggal 15 September 2011 berada di jam 02.50 WIB.