: Ken Danish Yohana Chua
Ada satu orang lagi yang bapak ingin kisahnya kamu ketahui, Nak! Tentang seorang sahabat, seorang guru madrasah yang ikhlas, seorang pelukis berpribadi menyenangkan, seorang yang sangat-sangat dekat dengan pusaran cinta antara bapak dan ibumu. Seseorang yang sangat layak mendapat sepotong cinta bapak karena besarnya jasa di kehidupan bapak. Rusli, orang itu. Kami kerap memanggilnya Ipong. Lelaki kecil berwajah identik dengan artis cum politikus Rano Karno yang mashur itu. Bahkan tahi lalat mereka, sama besar dan sama tata letaknya.
Tuhan bekerja dengan fenomena yang mengagumkan.
Tapi kisah Ipong, jelas berbeda dengan Rano yang beken ketika memerankan tokoh Si Doel itu. Dia hanyalah seorang lelaki kecil yang gemetar ketika berbicara dengan kawan wanita yang ditaksirnya. Dia hanya seorang guru madrasah, yang membuka lebar-lebar pintu rumahnya, untuk bocah-bocah tetangga kanan-kiri yang ingin belajar melukis kepadanya. Dia hanya seorang jelata. Dan tetap jelata hingga saat ini. Lukisannya tidak bagus, Nak! Tapi keikhlasannya luar biasa.
Sahabat bapak itu, beberapa waktu silam mengeluh, kecewa, kenapa di antara sekian seri Kisah Cinta Dua Singa ini, namanya tak disebutkan. Kenapa justru banyak nama asing yang bapak ceritakan. Kepada kawan yang lain, keluh kesah itu diceritakan. Dan kawan itu, menyampaikan keluh kesah kepada bapak. Tentu saja bapak sedih dengan kekecewaan itu. Bapak tak bermaksud melupakan dia. Tak akan pernah. Kisah ini masih sangat panjang. Dan bapak sudah merencanakan untuk meletakkan kisah Ipong di banyak bagian-bagian dari seluruh kisah ini.
Tapi sudahlah! Bapak tak sanggup mengecewakan dia. Kali ini, bapak ingin menceritakan khusus tentang Ipong kepadamu, Ken! Agar kau kelak ketika kau bertemu, tidak salah menduga apakah dia Rano Karno atau sahabat bapak.
Sama halnya dengan bapak, Ipong membesar tanpa ada sosok ayah di sampingnya. Bapaknya yang seorang politikus mashur di Kota Malang, menyerah oleh kanker otak ketika Ipong baru kelas enam madrasah. Semenjak itu, hidupnya selalu berada di bawah bayang-bayang sang bapak. Setiap kali kami jalan dan bertemu orang-orang, selalu saja satu yang ditanyakan kepada Ipong tentang bapaknya. Tentang bagaimana kehebatan sang bapak. Tentang kedigjayaan almarhum.
Aku begitu iri, Kenny, ketika tanya-tanya itu menghadir di antara kami. Setragis apa pun kehidupan Ipong, citra sang ayah tetap ada di otaknya. Melekat dengan indah di kehidupannya. Sementara aku, tak ada sama sekali. Kosong. Bapak bahkan tak pernah tahu, seperti apa hangat dan nyamannya berada di pelukan seorang ayah. Ketika, misalnya, datang warta yang mengabarkan bahwa kakekmu sakit, hati bapak sama sekali tidak tergetar. Bukan karena bapak tak sayang dengan kakekmu. Tapi citra itu tak ada. Sepanjang hidup bapak, citra itu tak pernah bapak kenal.
Meskipun Ipong tumbuh di antara kemashuran almarhum bapaknya. Tapi, kami tumbuh dengan kondisi serba kekurangan. Ibunya tak cukup digjaya untuk membesarkan Ipong dan kelima saudaranya. Tak ada kekayaan berlebih yang ditinggalkan bapak Ipong. Hanya kemashuran itu. Sebagai bekas seorang anggota DPRD, bapak Ipong terlalu jujur untuk meninggalkan apa-apa kepada keluarganya. Sialnya, kemashuran yang ditinggalkannya itu tidak cukup untuk membuat keluarga Ipong hidup dengan gembira.
Untungnya, Ipong dan bapak, bisa tumbuh dengan gembira. Kami berusaha menjadi dewasa dengan cara kami sendiri. Ketika remaja-remaja seusia bapak yang lain masih merengek minta dibelikan baju bergambar Batman, Ipong dan bapak sudah berusaha memeras otak, bagaimana mendapatkan uang untuk membeli sebungkus rokok kegemaran. Duh, yang terakhir ini memang sebuah pembelajaran yang jelek. Tapi harus bapak ceritakan. Di usia SMP, bapak sudah mengenal rokok dengan baik. Juga alkohol. Tapi ada kebaikan di dalamnya. Setiap kali bapak dan Ipong ingin merokok, bapak harus mencari cara bagaimana mendapatkan uang.
Lalu bekerjalah bapak ala kadarnya. Kadang ikut tetangga yang punya usaha prasmanan, menjadi pelayan ketika ada tanggapan. Tak jarang pula ikut angkut-angkut dagangan pakaian bekas tetangga yang lain yang berjualan di pasar-pasar. Bersama Ipong, tiap pekan bapakberkeliling Malang sambil memanggul segepok dagangan sandal spon di antara pundak-pundak ringkih kami. Menjadi sales dengan datang ke toko-toko sandal. Hasil yang tak seberapa, kami buat makan dan membeli bungkus-bungkus rokok dengan gembira. Jika hasilnya berlebih, kami sisihkan untuk membeli sebotol dua Topi Miring. Sebuah merek minuman alkohol yang paling beken karena murahnya dan rasanya yang seperti perpaduan api, parfum murahan, dan kencing kuda yang sudah basi.
Sungguh menyenangkan.
Bersama dia, kami juga berlagak bak lelaki-lelaki dewasa yang ingin mengobrak-abrik kebiasaan lelaki remaja seusia kami. Jika remaja seusia mengingini permainan Nintendo, kami lebih memilih berdebat kusir soal lukisan, puisi, cerpen, atau musik. Jika remaja seusia mengumbar obrolan soal wanita, kami lebih memilih berdeklamasi di pinggir kali, sembari diiringi gitar kapok yang dipetik dengan brutalnya. Di antara jam-jam pelajaran yang menjemukan, kami lebih memilih kabur ke hutan-hutan daerah Singosari, sembari menenggak Topi Miring dan merancau apa pun tentang impian, kenistaan, keadilan, bahkan pengkhianatan. Jika pulang dalam keadaan teler, kami tidak berani langsung masuk rumah. Kami harus membersihkan dulu, sisa-sisa kebrutalan kami. Membasuh tubuh di kali, atau mengisi mulut dengan aneka makanan penebar bau yang bisa menyamarkan sisa-sisa bau alkohol dari kerongkongan kami.
Kami tumbuh dengan kesadaran, bahwa lingkungan kami berbeda dengan remaja kebanyakan. Tanpa kehadiran sosok seorang bapak, kami harus membiasakan diri untuk tidak mengeluh. Mencoba untuk selalu bisa mengatasi setiap persoalan yang kami hadapi. Tak jarang ketika sekolah liburan panjang, kami bergegas mengemas satu dua potong pakaian, menyandang gitar, untuk berikutnya melancong ke kota-kota tetangga barang satu dua malam. Kami juga kerap menghabiskan libur di puncak-puncak gunung dan tempat wisata alam di sekitar Malang.
Ada satu peristiwa jenaka, Anakku, ketika satu kali bapak dan Ipong ingin menghabiskan liburan di Yogyakarta. Ketika itu kami masih sama-sama duduk di bangku kelas dua SMA. Berbekal gitar pinjaman dan pengharapan untuk melihat keelokan Yogya, bapak berangkat naik kereta api Matramaja. Rp11 ribu ongkos dari Malang ke Yogyakarta melewati Surabaya. Dan ketika itu bapak ingat, sisa uang bapak setelah beli tiket cuma Rp21 ribu. Satu pecahan Rp5 ribu bapak kantongi di saku. Sisanya lagi, Rp16 ribu, bapak selipkan di antara kaus kaki yang bapak kenakan. Di kantong Ipong, uang sudah tandas sejak berangkat dari Malang.
Jaman ketika itu, masih ramai dengan isu-isu kebrutalan gank-gank anak muda. Jadi, agar sisa uang bisa selamat sampai pulang, bapak selipkan uang itu di kaus kaki sebelah kanan bapak. Turun di Stasiun Lempuyangan, Yogya, berjalanlah kami bak koboi yang datang dari hutan. Duh begitu pedenya. Seolah-olah, kami adalah seniman keren berbekal gitar untuk menaklukkan Yogyakarta. Nah, ketika pecahan Rp5 ribu akhirnya tandas oleh nasi-nasi gudeg yang lezat itu. Bapak terpaksa membuka kaus kaki bapak untuk mengeluarkan uang simpanan. Diancok, uang itu menghilang. Tanpa sepeser pun uang, akhirnya gitar menjadi andalan.
Kami mencoba ngamen di kaki-kaki lima di antero Yogyakarta. Sialnya lagi, ternyata kemampuan musik kami tak selihai yang kami bayangkan. Ditambah dengan rasa kampungan yang masih menyisa, akhirnya, dari mulut yang keluar hanya gerundelan bernada fals. Tapi perut minta terus diisi. Hingga mau tak mau kami memaksakan diri untuk menjual gerundelan bernada fals kami.
Empat hari kemudian, kami kembali ke Malang. Masih menumpang keretaapi Matramaja, kali ini, kami cukup bayar Rp6 ribu per kepala kepada kondektur di atas kereta. Sudah pasti uang itu masuk kantongnya sendiri. Tapi tak apa, bahkan kami merasa gembira ketika sepanjang dari Yogyakarta ke Surabaya, kami terpaksa berdiri saking penuhnya kereta.
Bapak dan Ipong adalah sahabat tak terpisahkan sepanjang kami tumbuh remaja. Dialah orang pertama yang bapak mintai pendapat soal ibumu. Ketika kutanyakan padanya, apakah percintaanku dengan ibumu adalah sebuah lelucon kanak-kanak yang akan lewat begitu saja seiring bertambah tuanya usia kami? Ipong tidak menjawab apa-apa. Kebisuannya sebetulnya adalah jawaban itu sendiri. Kebisuannya, adalah sebuah cara untuk mengajari bapak, bahwa jawaban sesungguhnya ada di kepala bapak. Dan dia, merasa tak berhak ikut campur dalam urusan pribadi bapak.
Ketika kuperkenalkan ibumu kepada Ipong, ada kegembiraan yang terjalin antara kita semua. Ini penting, Nak! Jika kelak ada seorang wanita yang hinggap di kehidupanmu, hal pertama yang harus kau perhatikan adalah: apakah kehadirannya memberi kegembiraan kepada orang-orang di sekelilingmu, terutama pada sahabat-sahabatmu?! Jika tidak, jika hanya menciptakan ketidakharmonisan, tinggalkan dia! Cari wanita lain! Karena wanita yang demikian, tidak akan membuat hidupmu berarti apa-apa.
Bapak selalu berusaha melibatkan ibumu tanpa harus terlibat lebih jauh dalam kehidupan remaja kami. Ipong menerimanya dengan gembira. Ketika lukisan-lukisannya yang telah jadi dipertontonkan kepada kami, akulah orang pertama yang mengomentarinya. Ibumu diam, namun membersitkan ketidakcocokannya. Ipong merespon, dan berusaha memperbaikinya. Dan kami, terus saja bergembira ria. Hingga pada akhirnya, ibumu pulang ke Singapura. Bapak harus meninggalkan Singosari. Sementara Ipong terus berjuang dengan anak-anak kecilnya didikannya, yang semakin hari semakin membengkak dalam jumlah.
Satu kalimat yang tak pernah dan ingin sekali bapak katakan pada Ipong, Kenny. ”Aku begitu menyayangi sahabatku itu, Nak!”
Foto di atas, Rusli/Ipong ketika sibuk mengajar drum band anak-anak taman kanak-kanak di Desa Sumberawan, Singosari . Foto saya ambil 3 Juni 2008