Tiba-tiba kesedihan menerkam saya, sepagi ini. Sehabis menyelesaikan membaca kalimat terakhir Catatan Pinggir Goenawan Mohamad pada lembar terakhir Tempo edisi 15-21 Desember, berjudul Pelacur, kesedihan itu berseri. Tentang pelacur: episode pertama emosi saya terbabit-babit ketika pada Minggu (21/12/2008), saat saya mengedit berita seorang pelacur hamil yang masih memperdagangkan kelaminnya untuk Posmetro Batam.
Yuli, dengan janin berusia empat bulan di perutnya tidak tahu siapa lelaki yang nantinya akan dipanggil “bapak” oleh calon anak. Puluhan lelaki silih berganti datang ke warung kumuh yang berdiri di sudut galangan kapal Tanjunguncang, untuk meniduri Yuli. Puluhan lelaki itu, salah satunya tentu saja bapak biologis sang jabang bayi di rahim Yuli. Dan pada Minggu dinihari yang berangin kencang itu, para polisi Batuaji menangkapi Yuli dan wanita-wanita senasib dengan alasan yang nyaris masuk akal: mengupayakan pemberantasan penjualan manusia.
Dan lihatlah! Gambar Ken, anak semata wayang saya dengan pipi gemuk merekah merah, menyembul dari layar monitor tempat saya menulis artikel ini. Semakin menggarami kegeraman yang tercipta dari dua episode sebelumnya: Pelacur GM, dan kisah seorang Yuli.
Ketika kita dibombardir berita sejenis semacam Yuli, kisah janda 27 tahun asal Bandung ini seolah menjadi hal yang sangat biasa. Televisi-televisi lebih gemar berita infotainmen; koran-koran lebih mengingini berita korupsi; otak para pedagang lebih memperhatikan nilai tukar rupiah; para politikus lebih memikir harus merangkai kata terbaik untuk iklan kampanye mereka; pemuka agama sibuk mencari bahan ceramah paling menggugah; dan wartawan (di Batam) berebut kursi untuk kepengurusan organisasi. Sementara Yuli, dengan perut yang kian membesar, selalu mencari jawaban, menduga-duga; siapa lelaki yang pantas menjadi bapak janin di rahimnya.
Sehari sebelum menerima berita dan mengedit berita tentang Yuli, saya tersesat dalam belantara keramaian Orchard Road Singapura. Gentayangan di antara aroma-aroma parfum kelas kapital, mencari kado Natal untuk anak semata wayang. Astaghfirullahhaladzim, saya mendapati pembantu-pembantu Indonesia di sudut-sudut jalanan Orchard, bersama segerombolan lelaki India yang nyaris semuanya memasang wajah birahi: mencari celah lengah untuk meniduri sang wanita.
Lalu kisah berikutnya yang terjadi: muncullah kisah-kisah tentang kepulangan pembantu dengan perut membuncit. Menghindari malu, dan memilih berlabuh di Batam. Banyak di antara mereka kemudian memilih menjual kelamin. Memperdagangkan satu-satunya yang bisa mereka jual. Untuk menyambung hidup, menyerah dalam keputusasaan.
Tiga tahun silam, masih teringat lekat ketika saya berada di sebuah kamar kumuh Lokalisasi Pelita bersama seorang PSK. Berteman seuplik penerangan bohlam, kipas angin yang berderik-derik, serta tilam lusuh yang penuh ceceran sperma, tiga tahun silam saya menggelar wawancara dengan seorang PSK yang hamil delapan bulan. Tiga tahun berikutnya, kisah itu terulang lagi pada Yuli. Bahkan ketika Lokalisasi Pelita sudah meng-arang oleh sebuah kebakaran hebat pada pertengahan 2008 silam. Seperti sebuah lingkaran setan tak berujung-pangkal; emosi itu kian hari kian redup. Oleh tipu-tipu yang mengatasnamakan moral.
Saya membayangkan Yuli, Nur Hidayah (tokoh di tulisan GM), juga Ken di antara lingkaran setan itu. Saya membayangkan wajah pembantu-pembantu Indonesia di Singapura yang terkibuli oleh kalimat-kalimat indah dari mulut lelaki yang mereka bayangkan sebagai Shahrur Khan di film-film India. Saya membayangkan suara nyinyir kritikus-kritikus media yang menganggap kisah Yuli (yang prostitusi) tak layak dimediamassakan; koran-koran kuning tak layak diperhatikan. Saya membayangkan tawa para politikus yang berhasil menemukan kata paling mutakhir untuk iklan kampanye mereka. Saya membayangkan wajah-wajah berseri para wartawan yang gembira menuliskan dalam berita mereka, kata mutakhir milik politikus itu. Dan saya akan selalu menunggu, tiga tahun dari sekarang – atau lebih cepat – akan kembali muncul kisah-kisah semisal Yuli, juga kisah Nur Hidayah.
Selamat! Untuk semua yang telah membinasakan kisah seperti Yuli, untuk kemudian memasukkan dalam tong sampah kelumrahan.
Foto Yuli diambil oleh Arrazi Aditya