: Bola Karet Bapak
Adakah hal yang lebih menyenangkan yang bisa dilakukan seorang bocah kampung ketimbang membikin sebuah gol dalam permainan bola? Ketika membocah, bapak adalah satu di antara lima jago bola di kampung bapak: Desa Pagentan, Singosari. Jagoan pertama adalah rekan senior bapak, Agus Fajri. Jagoan kedua dan ketiga, Ath’o Afianto dan sepupunya, Aris Munandar; keempat Khoiron, dan terakhir bapak.
Jika kelima orang ini main bersama, terlebih dahulu kami harus membagi diri, mendistribusikan kekuatan yang seimbang pada dua tim. Jika Agus dan Ath’o di satu tim yang sama, bapak dan Aris atau Khoiron harus berada di tim lawan.
Begitulah kami mewarnai tiap sore dari masa bocah dan remaja kami: berasyik masyuk lewat permainan bola di Lapangan Sepakbola Tumapel. Orang-orang yang usianya lebih tua lebih suka menyebut “lapangan Tumapel” sebagai “lapangan Pagentan”, nama yang sesuai dengan nama kelurahan di mana pusat kedigjayaan kecamatan Singosari kini berada.
Agus terkenal dengan gocekan, dan larinya yang cepat dan lincah. Juga kelicikannya menjegal lawan tanpa kentara. Dia bisa menjatuhkan dengan keras lawan dari belakang, dengan sejumput trik licik: kaki lawan ia jegal, sementara kedua tangannya mendorong tubuh lawan dengan sekelebat. Dan Agus, selalu gembira ditempatkan sebagai penyerang atau sayap kanan.
Ath’o, si bongsor yang selalu mengalah. Tapi tendangannya luar biasa keras dan terarah. Sulit untuk melewati Ath’o jika ia berposisi sebagai bek tengah. Aris, permainannya mirip-mirip dengan Agus. Hanya saja dia terlalu emosional. Dialah kawan kecil bapak yang paling sering terlibat perkelahian. Tercegal sedikit saja, dia bisa marah dan memukul rekannya. Tapi harus diakui, talenta bolanya luar biasa. Fisiknya mengesankan. Semengesankan nasibnya yang selalu sial hingga ia membesar.
Aris, lelaki cerdas yang juga kawan satu kelas bapak ketika kami sama sekolah di Sekolah Dasar Islam Almaarif 02, Singosari. Sayang, kami sekelas hanya empat tahun. Kelas lima dan enam, dia harus pindah ke kota lain, mengikuti bapaknya yang menikah dengan perempuan lain. Aris senasib dengan bapak, dan Tuhan menciptakan kami dengan karakter yang nyaris serupa.
Aris, seolah-olah berteman dengan bayang-bayang kesialan yang mengekorinya sepanjang ia ada. Sewaktu kami sekelas, ia selalu mendapat ranking bagus meskipun tabiatnya brutal dan tak pernah belajar. Dalam satu hal ini, bapak tak pernah bisa mengalahkannya. Dia selalu membuat guru menangis dan rekan-rekannya lari tunggang langgang oleh kenakalannya; namun tetap kehadirannya dirindukan. Tuhan seolah memberikan semua kelebihan pada diri bocah Aris.
Tapi, ketika pada usia SMA dia kembali ke Singosari, sebuah kesalahan fatal ia buat. Selingkar kecil tato yang ia buat di lehernya, pada kelanjutan hidupnya telah menjadi penyebab rusaknya seluruh hari-hari yang ia jalani. Sekolahnya berantakan, keluarganya ogah menerima. Kawan-kawannya menjauh; dan kemudian ia akrab dengan dunia kriminal. Kesalahan tentu saja bukan semata pada Aris dengan tatonya. Melainkan persepsi teman-guru sekolah, serta lingkungan di sekitar Aris yang memandang tato itu buruk. Tato itu neraka.
Terakhir, bapak dengar kabar dari sahabat dekat kami berdua, Andika, ia masuk penjara Jakarta gara-gara pencurian motor.
Aris yang selalu melindungi bapak di kala kami membocah, selalu ada di hati bapak. Entah kenapa, kebrutalannya saat bocah dan remaja, tak pernah mempan di hadapan bapak. Bapak tahu, dia membenci kelemahan atas ketidakberdayaan pada bapak. Setiap kali kami berantem, dia tak pernah bisa memuncaki emosinya. Dia lunglai oleh ketidakberdayaan itu. Dia tak bisa berbuat apa-apa atas semua kelemahan dia sendiri. Dia tak pernah bisa menyentuh bapak. Bapak tak tahu sebabnya. Mungkin karena bapak dan Aris adalah bocah senasib: dua bocah yang besar tanpa kehadiran seorang ayah. Aris ketika itu mungkin tahu, bocah-bocah yang membesar hanya oleh kasih sayang seorang ibu, tak pernah bisa digertak oleh kenakalan sebentuk apa pun.
Sementara Khoiron, kemampuan bolanya sebetulnya biasa saja. Tapi fisik dan postur tubuhnya oke. Larinya bisa diandalkan. Tapi sayang, masa remajanya tak terlalu panjang dihabiskan bersama kami di lapangan bola. Semenjak bocah, Khoiron harus membantu kakaknya jualan pangsit mie di pinggir lapangan. Jika petang hadir, ia hanya bisa memandangi kami yang tengah main bola dari jauh sembari mendirikan tenda pangsitnya. Sejak saat itu, Khoiron yang juga sepupu bapak, tak pernah bisa lagi dengan leluasa menendang bola seperti kami.
Bagaimana dengan bapak sendiri? Jauh masa setelah bapak dewasa, saat bapak bermain bola untuk menjaga kebugaran di Batam, mantan pemain nasional Indonesia yang melatih kami mengatakan, bapak sebenarnya punya dasar permainan bola yang mencukupi. Dasar yang dibentuk dari masa bocah. Persoalannya, tubuh bapak yang tak pernah beranjak dari bobot 45 kilo, terlalu ringkih untuk bisa bermain bola. Nafas bapak terlalu pendek. Dan bermain sepakbola, fisik adalah hal utama yang harus diperhatikan. Dan kelemahan ini, ada sejak bapak kanak-kanak. Tubuh bapak tak pernah bisa tegap berwibawa. Duh…
Tapi, tubuh bocah bapak yang rapuh, tak pernah menjadi persoalan saat kami asyik bermain bola. Kawan-kawan main bapak seolah menyadari, meski bertubuh rapuh, tapi ada sesuatu hal yang tak pernah bisa membuat bapak menyerah. Mereka tak pernah berani mengesampingkan faktor rapuh itu, jika ingin memenangkan pertandingan. Kelicikan Agus bapak balas dengan kelicikan yang sama. Kemampuan bertahan Ath’o bapak rekayasa sedemikian rupa hingga ia hanya bisa berlari mengekori bapak. Khoiron terlalu enggan berpikir jika melawan bapak. Hanya Aris yang seolah-olah tahu segala macam trik dan kelicikan bapak dan tak pernah bisa bapak taklukkan. Bocah ini memang luar biasa pintar, sekaligus brutal.
Kelak ketika kami sama-sama remaja, di antara malam-malam penuh alkohol dan dentingan gitar tanpa nada, bapak dan Aris kerap membicarakan masa kecil ini. Jika sudah demikian, kami bisa tertawa dan bernostalgia semalam-malaman. Sembari mengelus tato di lehernya yang selalu ia sesali, Aris mencoba mengulik sedikit demi sedikit kehebatan masa silamnya. Masa yang penuh canda dan talenta luar biasa. Masa yang ia sia-siakan gara-gara sebuah kesalahan kecil. Kesalahan yang pada akhirnya membuat ia tak bisa menjadi apa-apa.
Sepakbola selalu ada di hati bapak. Begitu juga dengan Agus, Ath’o, Khoiron, dan terutama si bengal Aris. Masa itu tentu saja tak akan pernah datang lagi. Masa di mana bapak merengek-rengek pada nenekmu Zumronah untuk dibelikan bola karet. Permintaan yang ketika itu terasa begitu mahal dan hanya bisa bapak dapatkan setelah hari raya Idul Fitri. Bola karet impian bapak yang sanggup terbeli dari mengumpulkan angpau-angpau dari saudara-saudara di Hari Raya. Masa di mana sebuah kemewahan adalah menendang bola kulit milik sekolah di mana bapak belajar. Bola kulit yang tak pernah bapak bisa miliki hingga bapak mendewasa. Masa penuh keprihatinan sekaligus kegembiraan. Masa yang jelas tidak pernah terjadi padamu, Kenny!
Tapi kau, Ken Danish, kelak ketika sudah berani bepergian sendiri, datanglah di waktu petang ke lapangan Tumapel! Ceritakan apa-apa yang kau lihat ketika itu kepada bapak; apakah masih ada bocah-bocah yang bertahan bermain bola di antara debu dan rumput liar lapangan itu? Apakah masih ada generasi Aris-Aris lainnya di sana?
Ini penting bagi bapak Nak! Bagi kamu juga! Bahwa bakat yang diberikan Tuhan, tak pernah selamanya menjadi faktor penentu kesuksesan seseorang. Seperti halnya Aris yang tak pernah bisa berbuat apa-apa dan selalu menyesali kecerobohannya. Aris yang penuh talenta itu, mungkin jika membaca tulisan ini akan sepakat dengan bapak: hal terpenting dalam hidup adalah waspada! Waspada! Seperti sebuah iklan layanan masyarakat di televisi, wasladalah… waspadalah…