Di Kovan, salah satu distrik pemukiman kelas menengah-bawah warga Singapura, laki-laki itu bersiul-siul gembira. Tubuhnya sedang semampai, kulit Tionghoanya memerah oleh sinar matahari pagi, di awal hari 23 Oktober silam. Otot-ototnya indah menjalari sekujur tubuh. Topi coklat yang lusuh, dengan sekenanya menutup rambut di kepala yang sudah mulai memanjang. Jari-jemari di tangan kanannya lincah memainkan rokok lintingan sendiri. Terpenting, mulutnya menyungging senyum pada saya, ketika tubuh saya sudah setengah masuk bus kota yang akan membawa saya ke Hougang, salah satu distrik pemukiman lain di Singapura.
Duduk di anak-tangga di bawah petirisan sebuah bangunan toko yang belum buka, siulan laki-laki itu panjang dan membentuk irama gembira. Saya seperti akrab dengan irama siulan itu, tapi hingga tulisan ini saya buat, saya gagal menebak-nebak apa judul lagu gembira itu. Mungkin penggalan siulan yang tertangkap telinga saya terlalu pendek, atau otak ini terlalu bodoh untuk mengingat sesuatu. Tapi, sudahlah! Yang penting pagi itu, saya mendapat “hadiah” yang cukup langka: sebuah senyum dan nyanyian gembira dari orang Singapura.
Ya, senyum adalah “hadiah” langka di negeri seuplik tetangga kita tersebut. Nyaris lima tahun menyetubuhi Negeri Singa, bahkan saya tak tahu nama tetangga yang tinggal tepat di depan apartemen kami tinggal. Jika kebetulan ketemu di lift dengan mereka, hanya anggukan tanpa kesan yang kami lakukan. Jika kita bersenggolan dengan sesama penumpang bus atau MRT, hanya maaf yang terucap dari mereka. Tanpa senyuman akrab. Tanpa keintiman! Bahkan ketika kebiasaan saya senyum dengan semua orang yang saya temui masih saya lanjutkan di negeri ini, saya kerap khawatir senyum saya diartikan sebagai sebuah ketidak-sopanan. Karenanya, senyuman saya tak pernah terbalas.
Tanpa keintiman! Mungkin inilah yang membuat para koruptor yang kini bermukim di Singapura berusaha sedaya upaya untuk bisa kembali pulang ke Tanah Air. Melobi sana-sini untuk mencari celah hukum agar kasusnya bisa diselesaikan. Saya membayangkan bagaimana tersiksanya Anggoro Widjojo yang statusnya dinyatakan buron oleh KPK, sepanjang hari hanya bisa duduk diam di apartemen mewahnya di – mungkin – di Kawasan Bukit Timah (Stttt! Ini kawasan elit favorit koruptor Indonesia lho). Tanpa bisa nongkrong ngopi sambil kongkow-kongkow lagi di warung-warung favoritnya di Jakarta dan Surabaya, tempat asal Anggoro.
Saya juga kerap membayangkan buronan lainnya, Maria Pauline, pembobol Bank BNI, hanya bisa menghabiskan hari-harinya di depan televisi. Tanpa dikelilingi banyak sanak saudara dan rekan dekat yang menemani. Mau keluar rumah pun enggan karena tak kenal tetangga kiri-kanan. Ingin jalan di Orchird Road takut dimata-matai teliksandi. Lalu, apa enaknya uang segudang jika keintiman tak terpenuhi? Seperti penyair dengan puisi-puisi “lapar” mereka, padahal yang ia tahu cuma buku-buku teori dan seuplik ruang di kamar kerjanya saja. Omong kosong!
Kembali ke “hadiah” langka yang saya dapat di pagi 23 Oktober lalu itu. Ketika itu jarum jam kira-kira di angka delapan pagi. Langka, karena memang saya baru pertama kali melihat seorang Singapura sebahagia di hari sepagi itu. Jika saja bus yang saya tumpangi tidak segera berangkat, saya mungkin akan sekedar menyamperi dia. Sekedar berbagi rokok Indonesia dengan dia sembari mengobrol apa adanya. Oh…, nikmat benar! Berkepul-kepul dengan asap rokok di pagi yang cerah, sembari mengobrol dengan lelaki yang terlihat bahagia.
Meski segalanya serba tertib, teratur, aman-tentram, sejahtera, penjabatnya tak korup, serta polisinya yang tak pernah “menakut-nakuti” warganya, kata “bahagia” sungguh sangat-sangat sulit ditemui di jalan-jalan di Singapura. Di Asia, Singapura menempati urutan ke-49 negara terbahagia. Untuk urusan ini, Indonesia patut berbangga. Meski rakyatnya kerap dikibuli pejabat-pejabat pamong praja dan bapak-ibu wakil rakyat yang katanya terhormat, tapi Indonesia berhak menduduki posisi ke-16. Jauh lebih bahagia dibanding Singapura.
Saya tentu tidak bisa menjelaskan secara detil kenapa mereka tak bisa sebahagia kita. Tapi, sepengamatan saya, keintiman adalah hal utama yang hilang dari negeri yang pejabat tingginya tercatat bergaji tertinggi di dunia itu. Antar-tetangga tidak saling kenal, antar-keluarga sudah putus silaturahi. Antar-teman kerja hanya ada hubungan profesional. Setiap orang sepertinya selalu diburu waktu untuk menghasilkan uang, untuk menjamin kelayakan hidup.
Di negeri sehebat Singapura ini, saya justru menemukan bahagia pada lelaki bertubuh semampai yang hanya sanggup menghisap rokok lintingan. Saya juga asyik mendengar canda saru dan nakal pedagang-pedagang pasar loak di Thief Market, Singapura. Uang, sekali lagi terbukti tak mampu membeli sebuah kebahagiaan. Lebih-lebih jika uang yang didapat dari hasil mengkibuli rakyat miskin seperti di Indonesia.
Ayo, dukung KPK!!!