Jika ingin menyelami sifat, kebiasaan, serta kebusukan rekan atau kenalan Anda, bertandanglah ke rumah mereka dan longoklah toiletnya! Perhatikan apakah bulu sikat gigi si pemilik rumah sudah aus banget tapi tak diganti-ganti; atau tempat sabun yang belepotan busa. Mungkin juga dinding kamar mandi rekan Anda sudah menghijau oleh lumut tak terjamah.
Ataukah sebaliknya, lantai bersih, jambang licin mengkilap, dan semua peralatan pembersih diri tertata rapi. Anda akan bisa meraba-raba sifat dan prilaku asli seseorang dari toilet rumah mereka. Karena, seseorang yang memperlakukan dirinya dengan baik, orang yang bertanggungjawab pada diri sendiri – juga kepada orang lain – tentu tak akan membiarkan toiletnya seperti kapal pecah. Dan di Singapura, nyaris semua toilet umum yang pernah saya nikmati semuanya bersih, mengkilap, dan wangi.
Kecuali satu: toilet di ruang (dalam) tunggu penumpang Pelabuhan Harbour Front!!!
Ya, toilet yang saya sebut terakhir ini memang luar biasa jorok jika dibanding lima toilet di seantero bangunan Harbour Front. Toilet terbaik di empat lantai Harbour Front menurut saya ada di lantai tiga, dekat konter pembelian tiket kapal Feri Batam-Singapura. Toilet yang didesain tanpa pintu itu benar-benar dibuat dengan pertimbangan kesehatan. Membuang daun pintu dan menggantinya dengan desain lorong masuk yang membelok, pengguna toilet tak perlu takut diintip, dan terpenting tak lagi harus mencemarkan tangan dari bakteri-bakteri yang biasa menempel saat kita mengongkek pegangan pintu. Dilengkapi toilet khusus penderita cacat, Anda yang terbiasa membersihkan pantat dengan cebok pun disediakan toilet khusus dengan air cebokan.
Lantai di toilet tingkat tiga itu selalu dijaga agar tetap bersih dan bebas genangan air. Tentu saja tak ada retak atau benda-benda membahayakan selayaknya toilet umum di Batam yang tak jarang dana pembangunannya dikorupsi hingga menghasilkan toilet berkualitas buruk yang penuh jebakan bahaya. Tisu selalu tersedia, begitu juga mesin pengering tangan yang selalu berfungsi dengan sempurna. Empat toilet lainnya, kondisinya nyaris serupa: bersih, terawat, dan sangat memanusiakan penggunanya. Kecuali satu: toilet di ruang (dalam) tunggu penumpang Pelabuhan Harbour Front!!!
Ironisnya, toilet terburuk di Harbour Front sebagian besar dipergunakan oleh orang Indonesia. Ya, karena letaknya di ruang tunggu pemberangkatan yang hanya bisa diakses pemegang tiket feri, toilet itu nyaris dipergunakan orang Indonesia. Anda yang sempat ke Singapura, cobalah membandingkan toilet lain di Harbour Front dengan toilet satu ini. Di toilet ruang tunggu ini, aroma “Indonesia” terasa sekali: tisu berserakan, jambang tidak dibilas dengan sempurna, air kencing lari ke mana-mana, air ludah terserak, lantai tergenang, gulungan tisu tersobek tak karuan, bahkan (maaf) saya kerap melihat sisa tinja yang masih mengambang di jambangan. Hii.., jijay bajay…
Bukannya tidak ada cleaning servis yang membersihkan jika kondisi toilet tersebut sangat jorok. Setiap kali saya menunggu feri yang akan membawa saya pulang ke Batam, saya memperhatikan, beberapa puluh menit sekali selalu ada petugas pembersih yang datang ke sana. Begitu bersih, sesaat kemudian toilet yang malang itu kembali kotor. Pemakainya lah yang terlalu egois dan tak bertanggungjawab saat menggunakan toilet hingga menyisakan kotoran yang kemudian harus “dinikmati” orang lain.
Apakah fakta ini membuktikan bahwa orang kita kurang bertanggungjawab? Jawabannya tentu ada di kepala masing-masing Pembaca. Anda yang terbiasa seenaknya menggunakan toilet, mungkin bisa segera mengubah kebiasaan itu jika tidak ingin sifat asli Anda terbongkar. Anda yang kerap menyunat sebagian dana pembangunan toilet tentu bisa berkaca, bahwa perbuatan itu sama joroknya dengan pemandangan tinja mengambang di jambangan. Toilet bisa menjadi tempat belajar yang menarik sekaligus “ruang pribadi” yang bisa dipakai merenung mencari inspirasi. Toilet bisa menelanjangi kebaikan sekaligus keburukan Anda. Dan di Singapura? Saya bertanya-tanya, kenapa masih ada sebuah toilet yang begitu menjijikkan? Sialnya, itu banyak dipakai “orang kita”.