: Review Ricoh GR Digital III.
Tujuh tahun silam, dan sekarang (2016) saya baru nulis soal kamera “enak-gila” ini, Ricoh GR Digital (GRd) III? Pasti akan banyak yang bilang, “What the fuck, Bro!”, “Baru bangun tidur ya?”, “Ke mana saja selama ini, Jhelll….?” Orang Malang biasa menyapa seseorang dengan sebutan “jhellll….”
Saya ndak ke mana-mana. Karena saya bukan cari duit dari mereview kamera seperti pereview di internet-internet itu, ya, jawab saya, “semau-mau saya lah mau nulis soal kamera”. Saya ini pedagang kamera “musiman”. Maksudnya, kalau hati ini “musimnya” lagi ingin mencoba kamera itu, ya dikulak, dinikmati senikmat-nikmatnya dulu sembari dijual. Dan kalau kamera itu menggoreskan kesan yang baik, akan saya bagikan pengalaman saya itu di blog ini. Saya juga pedagang yang cupet modal, jadi ndak bisa beli kamera-kamera yang baru muncul.
Tapi jangan khawatir, selera saya tentang fotografi serupa dengan kekaguman saya pada sutradara Guy Ritchie!
By the way, dari iklan internet di Singapura awal Mei 2016 kemarin, saya baru dapat kamera mungil ini dengan harga wajar. Tergolong tinggi untuk ukuran kamera point & shot (bahasa kampungnya poket) 10 megapiksel bertekhnologi tahun 2009. Bahkan harga sekendnya saat ini, melebihi kamera-kamera DSLR semisal Nikon D90 sekelasnya. Di pasaran internasional, harga kamera ini bahkan masih stabil di atas angka US$400. Padahal, untuk poket dengan lensa fix yang hanya bisa motret 28mm (ekuvalen di full-frame) saja, ini kamera termasuk tekhnologi jadul banget lho!
Ketika saya hendak beli, saya coba tawar untuk menurunkan beberapa dolar saja, ndak digubris. Si pembeli keukeuh dengan harga yang dia pasang. Karena rasa penasaran atas kamera ini begitu besar, akhirnya saya penuhi “asking price” yang diminta si pembeli. Berapa? Rahasia pedagang dong! Hehehe…
Sebelumnya, saya sudah “incip-incip” adik si Ricoh GRd III, yakni Ricoh GR V (biasa ditulis Ricoh GR saja) yang punya sensor APS-C (23.7 x 15.7mm) itu. Tak perlu dibahas panjang lebar, jika situs review paling oke, DPReview, memberi penghargaan “DPReview Gold” untuk Si Ricoh GR, tentu kamera ini istimewa. Situs ini ndak main-main ngasih penilaian, dan saya percaya dengan angka-angka yang mereka sodorkan.
Saya benar-benar penasaran dengan GRd III, seusai tak sengaja membaca pengalaman seorang penghobi foto asal Jepang di blognya. Sayang, setelah saya cari-cari lagi blognya, saya gagal menemukannya kembali. Tapi yang jelas, seingat saya, dia menulis “kenikmatan” berlebihan yang ia bisa dapatkan dari GRd III ketimbang memakai seri terbaru seperti GRd IV, bahkan yang terbaru GR sekalipun. “Kenikmatan” yang setara saat dia memotret dengan kamera film.
“Kenikmatan” seperti apa? Itulah yang membuat saya penasaran.
Kalau Anda butuh spesifikasi dan sejenisnya di sini, berhenti membaca tulisan saya ini. Karena saya tak akan menulisnya di sini. Sudah begitu banyak, blog-blog atau situs review membahas spesifikasi Ricoh GRd III. Membahas kekurangan-kelebihan. Saya, hanya ingin berbagi “kenikmatan” yang saya rasakan saat memakai kamera ini.
Ricoh digital dan kamera analog, memang tidak bisa dipisahkan. Terlepas dari sejarah Ricoh analog yang melegenda itu, transformasi pabrikan kamera satu ini dalam mempertahankan “selera film” ke digital, saya anggap paling berhasil ketimbang kamera-kamera merek lainnya. Ketika semua pabrikan kamera berlomba-lomba menghasilkan foto yang kinclong, tajam kayak silet, auto fokus super cepat (entah untuk apa autofokus super cepat seperti milik mirroles Sony A6300? Saya pikir lebih banyak mubadzirnya, karena autofokus secepat ini biasanya dipakai fotografer profesional, yang justru masih memilih DSLR); pabrikan Ricoh dengan seri GR-nya justru memilih “nyante” dengan menawarkan dagangan “terbaiknya” berupa hasil foto “rasa film”. Dan saya curiga, Ricoh GRd III, hingga detik ini harganya masih melangit, karena masih banyak disuka “orang-orang film”.
Bukankah HARGA adalah review terbaik untuk menentukan bagus tidaknya sebuah kamera?!
Sejak keluar Leica D-lux 4, saya adalah pengguna aktif kamer poket. Meski masih kerap memakai DSLR, tapi kamera poket lah yang lebih banyak ada di tas, mengingat aktifitas “cepat-cepat” yang kerap saya lakukan. Lagipula, saya belum lagi membutuhkan DSLR.
Saya bersyukur, saya bisa menikmati aneka jenis kamera, ketika beraktifitas dagang. Untuk poket Canon dan Nikon, saya anggap “lewat” lah, karena yang ditawarkan keduanya tidak terlalu memberi kesan mendalam pada saya. Bahkan yang seri premium sekalipun. Sony? Saya sempat sebentar menikmati Sony RX100, mencoba-coba seri RX10 dan RX1 di pameran-pameran elektronik di Singapura, namun seperti dagangan kamera Sony lainnya yang menawarkan hal-hal heboh seperti kecepatan autofokus, ketajaman, full-frame, dls. Semua itu tidak terlalu memberi kesan mendalam pada saya. Mungkin karena saya tipikal penghobi foto yang tidak membutuhkan apa yang ditawarkan Sony.
Saya bisa mendapatkannya hasil seperti yang Sony tawarkan dari kamera apa pun, yang harganya setara. Pendek kata, ndak ada yang istimewa, terutama jika dilihat dari harganya. Tapi, saya benar-benar jatuh hati pada poket keluaran Panasonic, Leica, Olympus, serta yang sedang kita bicarakan, Ricoh dengan beberapa varian GR digitalnya, termasuk GRd III.
Beberapa waktu lalu, ketika saya membeli Ricoh GR (seri yang APS-C), saya berencana memakai kamera ini untuk kegiatan sehari-hari, terutama untuk kegiatan Fotografi Jalanan yang memang saya sukai. Saya terkesan dengan review-review kamera ini, terutam saat kamera ini bekerja di mode black & white (B & W). Bagi saya, hasil dari kamera harus sesuai selera, karena saya tidak/jarang/enggan mengubah terlalu berlebihan di proses editing. Bagi saya, kalau motret B&W, ya settingannya harus langsung dari kamera. Tidak lewat Photoshop atau sebangsanya. Ini penting bagi saya, mengingat segala macam keputusan seperti komposisi, nilai cerita yang akan ditampilkan, pesan; keputusannya hanya beberapa detik ketika shutter saya pencet. Saya bukan tipikal penghobi foto yang karena hasil fotonya jelek, terus dihitamputihkan biar kelihatan nyeni atau bagus.
Dan memang, hasil yang diberikan Ricoh GR benar-benar ajib. Kamera ini tajam, cerdas, indah, kontrasnya sempurna, tonal warnanya premium; pendek kata ekselen deh, pantas DPReview memberi penghargaan emas. TAPI, kok sama bagusnya sama Leica D-Lux 6 yang selama ini menemani saya jalan ke mana-mana? Ricoh GR memang memberikan apa yang tidak dipunya Leica: yaitu tadi, “rasa film” yang kental. Tapi untuk B & W, apa yang diberikan Ricoh GR bisa saya dapatkan di D-Lux 6. Terlebih Dlux-6 punya kelebihan berupa focal lenght lensa yang lebih fleksibel, 24 hingga 90 milimeter, dengan bukaan terbesar hingga F/1.4. So, akhirnya saya memilih lebih lama mempertahankan D-Lux 6, dan melepas Ricoh GR.
Kesimpulan saya ketika itu, “tidak ada yang terlalu istimewa dengan Ricoh GR kecuali sensor APS-C dan “rasa film” kelas premiumnya saja. Ricoh, di seri ini, seperti sedikit tergoda mengikuti “dagangan” kamera-kamera lainnya, yang menawarkan hasil yang kinclong bin ekselen. “Kurang nyeni”, begitulah kalimat yang paling pas untuk menggambarkan Ricoh GR.
Ini berbeda dengan Ricoh GRd III. Mungkin karena tekhnologi saat itu yang belum semutakhir sekarang, hingga “rasa film” yang ditawarkan lebih nendang. Foto-foto yang dihasilkan kasar, namun tidak kehilangan unsur keseimbangan. Kontras tapi secara keseluruhan masih bisa mempesona. Noise? Jelas! Hasil, yang saya yakin akan disukai pecinta foto-foto “hardcore” yang tidak mempedulikan apa itu foto tajam, dan ekselen. Anda tidak akan mendapatkan foto jalanan, apalagi jika disetting B & W yang sempurna dari Ricoh GR digital III. Tapi, hal itu akan terobati dengan hasil-hasil tak terduga, yang kadang justru membuat kita ingin terus memotret dengan kamera ini.
Ibarat makanan di meja makan, di antara makanan-makanan lezat seperti pizza, burger, atau kaviar, dan anggur Prancis; Ricoh GRd III seperti seonggok pisang goreng hangat di atas piring yang asapnya masih mengepul, untuk memanggil penikmatnya. Hanya orang-orang berselera tertentu yang tahu bagaimana menikmati pisang goreng hangat? Ya, duduk sore di beranda rumah sembari ditemani kopi, sebungkus Djie Sam Soe, serta setumpuk buku karya Romo Mangunwijayan. Tapi jangan lupa, singkirkan dulu HP atau gadget canggih Anda, sebelum bisa sempurna menikmati pisang goreng hangat sore itu!
Selamat menikmati beberapa foto yang saya jepret dengan Ricoh GRd III.
NOTE: tulisan ini saya buat dengan sadar, tidak mabok, tidak saya lebih-lebihkan, apalagi niatan agar dagangan saya laku.