Sepasang kamus Indonesia-Inggris susunan John M.Echols dan Hassan Shadily menjadi buku paling menyita meja Profesor DR Tham Kok Fun. Wajah imut dokter spesialis kandungan di Gleneagles Hospital, Singapura ini,terlihat semakin tenggelam di antara ratusan cinderamata, map-map berisi laporan kesehatan puluhan pasiennya, alat pengukur tekanan darah, dan layar datar komputer.
“Kandungan istrimu bagus. Janinnya juga tak ada masalah,” katanya dalam bahasa Inggris kepada saya ketika saya menyertai istri memeriksa kandungan. Akhir pekan di akhir bulan Juni lalu, menjadi pertemuan terakhir kami sebelum akhirnya bayi yang kami nantikan lahir pada 10 Juli silam.
Tapi bukan kabar gembira itu yang saat itu menarik perhatian saya. Melainkan sepasang kamus dan ratusan kartu ucapan selamat yang tersusun rapi di papan selebar kira-kira dua meter persegi yang dipasang di belakang meja kerja Profesor Tham. Ruang kerjanya yang berada di lantai IV gedung Gleneagles Hospital yang berukuran “hanya” sekitar 3×3 meter persegi, juga disesaki bermacam-macam barang “beraroma” Indonesia semisal wayang kulit. Saya perhatikan, sebagian besar kartu ucapan, ditulis menggunakan bahasa Indonesia. “Anda bisa berbahasa Indonesia?” tanya saya waktu itu. Dia menjawab dengan bahasa Indonesia yang kurang lancar, “Pasien-pasien saya sebagian besar orang Indonesia. Jadi saya harus belajar bahasa Indonesia.”
Percakapan singkat tadi sudah cukup menjawab rasa penasaran saya selama ini. Beberapa kali saya mengantar istri periksa kandungan, telinga saya selalu mendengar obrolan-obrolan berbahasa Indonesia saat menunggu giliran periksa. Bahkan di antaranya ada yang menggunakan bahasa Jawa. Saat itu saya berpikir, mungkin beberapa orang berduit asal Indonesia yang jauh-jauh datang ke Singapura, hanya untuk memeriksakan kandungan. Hanya untuk menggelar prosesi persalinan. Tapi anggapan saya tak seratus persen benar.
Belajar bahasa yang diungkapkan Profesor Tham adalah sedikit dari kelebihan dokter di Singapura. Melayani pasien dengan ramah, cekatan, penuh kehati-hatian luar biasa, dan disiplin, menjadi ritual-ritual selanjutnya yang saya temui saat menemani istri bersalin. Mulai dari dokter-dokternya, hingga perawat maupun cleaing servicenya. Harga yang pantas untuk menebus sebuah kata “mahal”. Bahkan, tidak hanya dokter semacam Profesor Tham yang menguasai bahasa Indonesia, mulai dari resepsionis hingga perawat, ketika saya ajak berbahasa Indonesia, mereka sanggup menanggapi dengan baik. Sebuah servis yang jarang ditemui di rumahsakit-rumahsakit di Batam.
Untuk ukuran kantong kebanyakan orang Indonesia, bersalin di Gleneagles mungkin mahal. Seorang lelaki asal Jakarta ketika bersama saya membayar ongkos bersalin, mengeluarkan sekitar 6.000 dolar Singapura untuk sebuah persalinan normal. Namun angka tersebut sangat relatif, tergantung kelas dan bagaimana kondisi si bayi dan ibunya. Tapi tidak untuk warga negara Singapura.
Istri saya yang kebetulan WN Singapura, “hanya” mengeluarkan sekitar 2.000 dolar untuk semua biaya persalinan. Enaknya, pemerintah Singapura “menghadiahi” bayi mungil saya dengan tabungan 3.000 dolar. Dihitung-hitung, bukannya keluar uang, malah untung. Untuk bayi kedua dan ketiga pemerintah Singapura bahkan menghadiahi uang sebesar 6.000 dolar.
Maklum, keengganan warga Singapura memiliki anak menjadi kekhawatiran tersendiri pemerintahnya. Data dari Departemen Kependudukan dan Kepemudaan Singapura, hingga bulan Juli ini, jumlah kelahiran tercatat hanya 19 ribu bayi. Padahal di tahun 2007 ini, pemerintah menargetkan kelahiran sebanyak 60 ribu bayi. Target yang tampaknya sulit dicapai.
Untuk itu, pemerintah Singapura melalui Departemen Kependudukan dan Kepemudaan, merancang program-program menarik agar pasangan-pasangan muda Singapura segera memiliki anak. Selain gelontoran bonus, pemerintah Singapura juga memangkas berbagai macam pajak dari keluarga yang punya momongan. Mensubsidi biaya bersalin, asuransi gratis, sekolah murah, dan terpenting, tidak mempersulit birokrasi kependudukan. Alasan-alasan inilah yang akhirnya merelakan si kecil berwarga negara Singapura.
Soal birokrasi kependudukan, warga Kepulauan Riau patut iri. Sebagai perbandingan, mengurus akte di Batam masih dirasa berbelit karena terlebih dahulu harus melalui RT, RW, kelurahan, hingga kecamatan. Belum pungutan-pungutan administrasi yang meski telah digratiskan, dalam praktiknya masih saja berlanjut.
Ini kemudahan yang lain. Ketika akan mengurus paspor anak saya, saya membayangkan akan sangat sulit dan memakan banyak waktu. Mendatangi kantor imigrasi, antri, hingga harus berhadapan dengan calo-calo paspor. Tapi ternyata bayangan itu sirna. Setiap warga negara Singapura, hanya butuh jaringan internet untuk mengurus paspor. Segala macam formulir administrasi dan kelengkapannya, bisa diklik dan diisi lewat www.ica.gov.sg.Di situs milik Imigrasi Singapura itu, sudah disediakan semua formulir dan syarat-syarat mengurus paspor. Bahkan untuk pas foto, bisa dikirim via internet.
Ketika saya mengisi kolom demi kolom data anak saya di formulir pembuatan paspor, secara otomatis muncul nomor registrasi aktenya. Ini menandakan, ketika registrasi akte sehari sebelumnya, segala informasi tentang seorang bayi berstatus WN Singapura, secara otomatis sudah diterima pihak imigrasi.
Untuk pembuatan paspor dengan masa berlaku lima tahun, pemerintah Singapura hanya menarik biaya sebesar 60 dolar. Harga yang hampir sama untuk pembuatan paspor di Batam yang melalui jalur konvensional. Begitu semua kelengkapan pembuatan paspor terpenuhi, sehari kemudian, paspor sudah bisa diambil di kantor imigrasi. Begitu praktis dan menyenangkan. Bagaimana di Batam? Entah kapan bisa semudah itu.***