Siang di akhir pekan kedua bulan Agustus lalu, langit di sekitar perairan Pulau Korek diselimuti mendung tebal. Meskipun demikian, raut wajah Johan tak bisa menyembunyikan kegembiraannya ketika memperlihatkan dua nos yang berhasil ditangkapnya. Itulah hasil tangkapan sepanjang hampir dua jam bersampan di sepanjang perairan berair tenang di Pulau Korek, Galang Baru, Kotamadya Batam. Nos – sejenis sotong yang tubuhnya lebih lunak – tangkapan Johan itu, kemudian dikumpulkan dengan nos-nos lain yang berhasil ditangkapnya, pagi sebelumnya. “Sekilo harganya duabelas ribu,” kata bocah berusia 14 tahun itu.
Mengail nos menjadi kegiatan sehari-hari Johan dan juga puluhan bocah usia sekolah lainnya di Pulau Korek. Untuk menangkap hewan kelas cumi-cumi itu, mereka harus mengayuh sampan kecil di sepanjang perairan yang mengelilingi pulau seluas sekitar lima hektar tersebut. Berputar ke sana-kemari, sembari melempar mata kail yang dibentuk seperti udang-udangan. Jika sedang untung, Johan mengaku sehari bisa mengumpulkan hingga 2,5 kilogram nos. Tapi jika lagi sial, setengah kilo pun tak berhasil dibawanya pulang.
Memang, perairan di pulau kecil yang berjarak sekitar dua jam perjalanan darat dan laut dari Kota Batam itu, termasuk perairan yang kaya dengan hasil laut. Bocah-bocah Pulau Korek, selain sehari-hari disibukkan dengan menangkap nos, mereka juga kerap berburu kerang, tapis, gonggong, dan tritip. Keempat jenis hewan laut ini bisa dicari di sela-sela karang atau sepanjang pantai ketika air laut surut. Jika air meninggi, mancing dan mencari nos adalah kegiatan utama mereka.
Ironisnya, kekayaan melimpah yang terkandung di perairan Pulau Korek, langsung maupun tidak langsung membuat bocah-bocah itu enggan sekolah. Waris Hidayat, guru agama yang ditugaskan Pemerintah Kota Batam mengajar pendidikan agama warga Pulau Korek mengungkapkan, dari puluhan bocah usia sekolah di Korek, saat ini yang tercatat sebagai siswa hanya ada enam orang. Itupun semuanya berstatus sekolah dasar. “Anak-anak banyak yang tidak mau sekolah. Pikiran orangtua mereka sama saja, kenapa harus sekolah jika ujung-ujungnya jadi nelayan, kenapa harus sekolah jika cari uang mudah,” ungkap Waris. “Saya berkali-kali memberi pengertian tentang pentingnya sekolah, tapi banyak juga warga yang menganggap sinis,” ia menambahkan.
Seman, ketua RT setempat merinci, jumlah kepala keluarga di seluruh Pulau Korek tercatat sebanyak 28 kepala keluarga. Hampir seluruh penduduk Pulau Korek, baik itu lelaki maupun wanita, berprofesi sebagai nelayan. Meski rata-rata setiap keluarga mempunya dua hingga 13 anak, namun itu tadi, warganya masih menganggap pendidikan tidak penting. Selain kemudahan yang ditawarkan alam sekitar Pulau Korek, sarana dan prasarana kegiatan belajar mengajar pun tidak ada.
Sekolah dasar paling dekat dari Pulau Korek, terletak di Pulau Sembur yang berjarak sekitar 20 menit perjalanan menggunakan pompong atau sampan bermotor. SMP? Setali tiga uang. Sekolah SMP terdekat ada di Galang, sekitar satu jam perjalanan laut dan darat. Ongkos umum sekali jalan menumpang pompong dari Pulau Korek menuju Sembur berkisar sekitar Rp8.000.
Untuk ongkos ini, beberapa waktu yang lalu Pemerintah Kota Batam memang telah menyumbangkan sebuah pompong khusus untuk mengangkut anak-anak Pulau Korek yang bersekolah ke luar pulau. Muhammad Hatta, lelaki setempat yang dipercaya mengurus dan mengemudikan pompong sekolah itu, menarik ongkos Rp3.000 per orang, setiap kali antar-jemput sekolah. ”Ongkos itu untuk bantu-bantu uang minyak saja,” kata Hatta saat ditemui di satu-satunya plantar di pulau tersebut. Meski demikian, tetap saja hal ini tak membuat anak-anak lebih bergairah bersekolah.
Waris mengungkapkan, dirinya pernah mengusulkan kepada sekolah terdekat untuk dibuka kelas jauh. Tapi lagi-lagi masalah keengganan bersekolah menjadi kendala. “Tidak mencukupi. Sekolah mensyaratkan minimal 30 siswa. Tapi yang bersedia sekolah di sini, sedikit sekali,” katanya.
Alhasil, Waris punya kerjaan tambahan. Selain mengajar baca-tulis Al Quran dan ilmu-ilmu agama, tiap hari lelaki asal Palembang itu juga harus menularkan pengetahuannya umumnya, seperti baca tulis huruf alfabet dan dasar-dasar berhitung. “Pelajaran umum saya sisipkan di sela-sela mengajar mengaji,” bebernya.
Televisi, menjadi alternatif lain sumber pengetahuan dan belajaran. Terlepas dari banyaknya pengaruh negatif yang diberikan televisi, namun gaya hidup modern, seperti pemakaian telepon selular, yang gencar disiarkan di televisi-televisi – baik televisi swasta Nasional, maupun televisi dari Singapura dan Malaysia yang bisa ditangkap siarannya di pulau itu – mampu mengiming-iming penduduk Pulau Korek untuk menirunya. Alhasil, ketika mereka berbondong-bondong membeli ponsel, mau tak mau mereka juga harus belajar membaca. Meski, sebatas untuk mengirim dan menerima short message service (SMS). Untungnya, hampir semua warga di rumah-rumah kayu berplantar memiliki televisi yang dihidupkan dengan bantuan mesin diesel.*