Ruang tunggu Pelabuhan Harbour Front, Minggu (18/3) siang. Saya memaki-maki kebodohan saya sendiri, manakala gagal mengejar feri ke Batamcenter yang jam 12-an. Tadi saat hendak berangkat dari Hougang, saya bimbang antara naik taksi atau MRT. Jika naik kereta, hitung-hitungannya sudah pasti: sekitar 45 menit perjalanan, dan bisa mengejar kapal.
Tapi, ketika itu saya justru memilih taksi. Dengan pertimbangan akan sampai lebih cepat dan bisa menumpang kapal yang lebih cepat. Sial, yang justru lama adalah mencari taksi. Di Singapura, sulit sekali mencari taksi jam antara 8 pagi hingga 11 siang. Kehilangan waktu hampir setengah jam untuk menunggu, sudah kepalang basah jika saya beralih naik MRT. Terpaksalah menunggu hingga taksi menghampiri.
Sial berikutnya muncul di pelabuhan. Minggu itu penumpang menyemut, dan jadwal penyeberangan berikutnya ke Batamcenter baru tersedia dua jam kemudian. Ketimbang dua jam menunggu di sana, saya lebih memilih lewat Sekupang. Pertimbangan saya, dari Pelabuhan Sekupang menuju tempat kerja paling hanya setengah jam naik ojek. Itu jauh lebih cepat ketimbang harus menunggu hingga dua jam. Belum lagi nanti satu jam lagi untuk jarak tempuh kapal. Hari Minggu buat orang berprofesi sebagai pewarta, memang masih harus tetap kerja.
Untuk urusan taksi, saya sangat mencintai taksi di Batam yang begitu gampang didapat dan ongkosnya bisa “diecer”.
Hari Minggu, penyebrangan Batam-Singapura atau sebaliknya memang selalu ramai. Begitu turun dan masuk ruang tunggu, puluhan kursi tunggu sudah terisi. Sebagian bahkan duduk-duduk di lantai atau sekedar antri di depan pintu keluar. Menunggu dipersilahkan masuk ke kapal yang mereka tumpangi. Barang bawaan saya waktu itu cukup banyak. Selain tas punggung berisi satu set kamera yang kerap selalu menemani saya ke mana-mana, saya juga membawa satu tas besar baju bekas milik ponakan yang rencananya saya bagikan kepada siapa yang memerlukan di Batam. Dan satu-satunya deretan bangku yang tersisa, terselip, tersembunyi di balik tembok penyangga gedung. Saya langsung buru-buru menempatinya. Saya akan cukup lama menunggu, mengingat kapal saya masih sekitar satu jam lagi berangkat. Jadi saya membutuhkan kursi tunggu.
Tepat di bangku samping saya, sepasang suami-istri asal Indonesia yang saya heran, tak habis-habisnya ngemil makanan meski tubuh mereka begitu melar. Sementara deret bangku depan saya, duduk tiga wanita. Tepat di bangku depan saya, wanita berbaju merah dengan make-up ciamik ala Syahrini: bulu mata palsu nan lentik, hitam, dan tebal. Make-up kulit mukanya agak terlalu putih, tidak matching dengan kulit lehernya yang berwarna lebih gelap. Rambutnya diikat sederhana ke belakang. Sepatunya hak tinggi, kira-kira 12 senti. Dan kenapa saya tiba-tiba ingat Syahrini, artis yang tidak malu-malu menunjukkan kebodohannya itu, karena bibir wanita di depan saya ini benar-benar mirip si penyanyi: mungil dan dicat merah menyala. Sempat saya lirik ketika tadi ia berdiri sebentar, celana jins biru dongker yang dipakainya merek Levi’s. Jari-jari lentik yang kukunya dicutex dengan warna merah juga, dari tadi sibuk memainkan dua HP pintarnya.
Wanita yang duduk tepat di samping kanan “Syahrini” tadi, punya gaya yang sangat berbeda. Kulitnya lebih bersih sebetulnya, lebih putih. Tubuhnya juga lebih segar, mungkin karena ia masih berusia sekitar 20-an. Tapi, rambutnya yang ikal dipotong ala kadarnya bergaya lelaki. Tanpa make-up setitik pun yang menghias wajahnya. Cuma pakai celana pendek hitam dan kaus sewarna, kakinya hanya beralas sendal jepit. Namun saya senang melihat tangannya yang berisi dan kokoh namun tidak kebesaran. Mungkin karena ia terlalu banyak melakukan pekerjaan rumahtangga. Saya duga dia pembantu rumahtangga di Singapura. Tapi ketika saya bertanya padanya, dia menjawab begini, “Saya asistennya bos”.
Bos yang dimaksud adalah si “Syahrini” tadi.
Yang sedikit terasa aneh adalah ketika si asisten itu terus saja memegang lengan rekannya yang duduk tepat di samping kanannya. Wanita berkaus hijau, juga berambut ala lelaki yang wajahnya hancur babak-belur. Mata kirinya melingkar warna biru darah beku dan membengkak. Mulutnya sedikit bonyok. Pipi dan pelipisnya juga bengkak-bengkak. Saat lengan kausnya tersibak, saya menyaksikan lengan kirinya penuh luka, mungkin bekas pukulan atau tendangan. Wanita ini, yang juga TKI, kalau saya bisa menyebutkan, kondisinya hancur sehancur-hancurnya.
Tiba-tiba saja adegan itu dengan cepat terjadi. Wanita hancur itu memukul punggung seorang pria yang duduk di depannya. Keributan kecil antara keduanya sempat terjadi. Namun pria itu kemudian memilih diam dan pindah tempat duduk, saat si asisten bos tadi menjelaskan kondisi perempuan berwajah hancur tadi yang sedikit depresi. Gila. Si “Syahrini”, mungkin karena malu, tiba-tiba bangkit pergi entah ke mana dan lama tak kembali. Brengsek benar ibu itu, pikir saya, yang membiarkan cuma asistennya mengendalikan wanita muda gila itu.
Saya tanya, hendak dibawa ke mana perempuan berwajah hancur itu? “Mau dibawa pulang ke Tegal lewat Semarang Mas. Lewat Batam. Baru sebulan dia kerja di sini, DIKEMBALIKAN majikannya sudah kondisi seperti ini,” jelas asisten bos tadi. Obrolan saya tidak lancar, mengingat si asisten tersebut dibuat sibuk oleh ulah aneh-aneh rekan di sampingnya. Selain memukul pria tadi, wanita itu tiba-tiba nangis, kemudian mengambil sandal jepit dan diciuminya sandal itu. Sebentar kemudian ngomong tak tentu arah, berontak dari dekapan si rekan, dan sekejap kemudian kembali nangis. Rekannya mencoba menenangkan dengan menaruh kepala wanita itu di pangkuannya. Jangkrik, si “Syahrini”, bos TKI itu, lama tak nongol-nongol! Mungkin mencret di toilet dia. Dia lebih gila sebetulnya – lebih tepatnya kejam – mengirim orang desa ke kota semegapolis Singapura, dan sebulan kemudian dipulangkan dalam keadaan gila.
Saya bertanya kembali, apakah semudah itu majikannya MENGEMBALIKAN wanita itu dalam keadaan seperti itu? Seperti mengembalikan barang rusak yang baru saja dibeli di toko ketika masih bergaransi? “Anda tidak lapor polisi? Atau Konsulat RI di Singapura?” tanya saya. Si asisten cuma bisa meringis tanpa bisa menjawab. Dan itu sudah cukup memberi jawaban saya usaha apa yang telah diperbuat si bos dengan perusahaan jasa TKI. Tidak melakukan apa-apa. Yang cuma mereka lakukan hanya membawa pulang “barang rusak” dan kemudian urusan selesai.
Jikapun mereka sudah lapor polisi, tentu wanita berwajah hancur itu tak pulang dulu siang itu. Tentu butuh proses peradilan untuk menyeret si majikan ke penjara. Dan itu perlu waktu lama. Setidaknya sampai luka-lukanya sembuh.
Saya tiba-tiba terbayang, betapa hancurnya keluarga wanita gila tadi, saat menerima anggota keluarganya dalam kondisi seperti itu. Harapan untuk mendapatkan nafkah, justru berbuah petaka.
Luka-luka di wajah dan sekujur tubuhnya masih baru. Biru-biru lebambnya masih sangat jelas. Itu juga yang membuktikan tidak ada apa pun usaha untuk menuntut keadilan. Inilah yang memang sering terjadi. TKI layaknya barang yang diperjual-belikan. Yang jika tidak cocok bisa dikembalikan dengan semena-mena. Padahal ada unsur kriminal di situ. Jika si Syahrini pintar – sepintar penampilannya – dan mau menuntutkan hak TKI-nya, dia harusnya lapor polisi Singapura. Agar majikan ditangkap, dipenjarakan. Agar si TKI dapat kompensasi layak. Agar tidak pulang dalam keadaan rusak, lebih sedih lagi kehilangan ingatan. Saya percaya, polisi Singapura pasti dengan adil akan memperlakukan wanita gila itu, juga majikannya.
Bukan justru dipulangkan dan semua masalah dianggap beres. Majikan yang telah menyiksa wanita Tegal itu jelas salah dan layak dipenjara! Namun yang lebih biadab adalah bos-bos TKI yang mengirim para TKI tanpa spesifikasi yang ketat. Yang hanya mempedulikan uang yang didapat alih-alih nasib TKI yang mereka kirim. Yang mengirim wanita-wanita desa tanpa ketrampilan memadai untuk menghadapi “kejamnya” kota megapolitan seperti Singapura. Saya yang “orang kota” saja, yang sudah tujuh tahun tinggal di Singapura, masih sering canggung dengan megapolitannya Singapura. Apalagi wanita-wanita dari desa yang datang hanya bermodal rayuan para bos TKI itu saja?
Jika saya majikan yang sudah membayar mahal, mungkin juga akan marah ketika mendapatkan pembantu yang bahkan, mengoperasikan mesin cuci saja tidak bisa.
Suara pengeras suara pelabuhan kemudian terdengar. Memanggil para penumpang yang akan berangkat ke Sekupang, termasuk saya. Saya tinggalkan dua perempuan TKI tadi. Sementara si “Syahrini” tak juga muncul-muncul. Dan sepanjang perjalanan di kapal, benak saya masih terisi oleh bayang-bayang, bagaimana hancurnya keluarga TKI asal Tegal itu, ketika menerima anggota keluarganya pulang dalam keadaan gila. Saya tiba-tiba menangis.
Sebulan saja, Anda bisa jadi gila tinggal di Singapura jika tidak punya bekal untuk menghadapinya!
(sultan yohana)
*) versi cetaknya berjudul “Wanita Berwajah Hancur”
Foto meminjam karya keramik Mariola M. Pierz